kmvdoots


Duduk di antara keluarga Adhiyaksa tidak pernah masuk ke dalam list kegiatan yang akan Kaizen lakukan. Kaizen terpaksa, jika tidak karena keinginannya merilis single baru, maka dia tidak akan menginjakkan kaki di restoran yang entah apa namanya. (re: Kaizen terlalu malas memperhatikan sekitar)

Pelayan restoran itu mengantarkannya ke meja yang sudah penuh dengan makanan, diisi tiga figur yang tidak asing namun selalu Kaizen hindari. Bahkan tidak pernah menatap wajah mereka selama sisa hidupnya merupakan keinginan terbesar Kaizen.

“Kaizen sayang, kamu udah sampai?” Suara yang Kaizen akui merdu itu menyambut gendang telinganya.

Kaizen tidak menjawab, membiarkan tiga pasang wajah melemparkan senyuman yang sarat dengan kerinduan itu terlihat di jangkauan pandangnya. Lagi-lagi Kaizen tidak membalas senyuman itu.

Ia dudukkan tubuhnya di kursi lalu meraih gelas air putih yang ada di sana, menenggaknya hingga habis. “Jadi, mana makanannya?” pria itu bertanya. Tidak mau membuang waktu terlalu lama, tidak mau wajahnya dipandang lebih lama oleh mereka.

Buru-buru mereka memanggil pelayan lalu memsan makan kesukaan Kaizen tanpa perlu bertanya. Mungkin mereka sudah hafal di luar kepala. Bahkan mereka tahu soal Kaizen yang tidak menyukai tomat. Harusnya Kaizen tersentuh, tapi tidak, dia tidak akan pernah luluh akan kebaikan mereka.

Sudah cukup dia merasakan sakit hati saat di tinggalkan oleh pria bernama Adhiyaksa. Kaizen bukan Tuhan, dia tidak bisa memberikan maafnya dengan mudah. Kaizen bukan manusia kuat yang dalam sekejap bisa melupakan kenangan kelam di masa lalunya, biarkan dia terus mengingat kenangan itu, biarkan dia terus menyimpan benci pada tiga orang di hadapannya.

“Gimana kabar kamu sayang? Papah liat comeback kamu kali ini sukses besar.”

'Sukses besar' Tch, agensi aja gak pernah mau bantu comeback kali ini.”

Jawaban Kaizen sukses membuat yang lainnya terdiam. Kaizen tersenyum miring, mereka semua tau, tau soal kecurangan yang agensinya lakukan pada Kaizen. Tapi mereka tetap diam. Haikal bilang mereka peduli padanya? Jika peduli, kenapa mereka tidak mencoba membantunya?

Mungkin itu bukan cara yang bisa membuat hati Kaizen melembut, tapi setidaknya rasa benci yang sudah menggunung di hati Kaizen bisa berkurang sedikit demi sedikit.

###

“Loh, benci karena apa?”

“Itu loh Tante, banyak yang rumorin Matteo dating sama Aktris dan Aktor. Jadi Matteo benci sama mereka. Lebih ke kesel sih,” Hanin menjawab. Menyuapkan sepotong steak ke dalam mulutnya.

Selepas laporan yang Matteo berikan pada papahnya secara langsung, mereka memutuskan untuk memesan makanan. Mamah bertanya tentang kabarnya, bahkan mamah bertanya tentang apakah dia makan semua makanan yang sudah disiapkan mamahnya.

Hanya 'iya' yang bisa Matteo berikan sebagai jawaban, walaupun nyatanya dia tidak pernah menyentuh makanan buatan mamahnya sama sekali. Bukan tak suka, hanya saja Matteo terlalu malas untuk makan. Terlebih lagi biasanya dia sudah makan di lokasi syuting. Jadi saat sampai apartemen, Matteo buru-buru membersihkan diri lalu istirahat.

“Jadi agensi setuju sama usulan fake dating dari Matteo?”

“Iya Tante. Matteo kan anak kesayangan agensi. Dia minta apapun pasti diturutin.”

Anak kesayangan agensi. Memang benar adanya, Matteo itu anak kesayangan agensi. Satu hal yang membuatnya percaya diri adalah karena fakta itu, fakta bahwa apapun yang Matteo lakukan, agensi pasti selalu melindunginya, membelanya, membuat Matteo tidak takut akan apapun.

“Tante denger—”

Prangg!

Suara piring dilempar membuat ucapan mamah terpotong begitu saja, atensi mereka teralih ke ruang sebelah yang hanya dibatasi dinding kaca. Matteo dapat melihat presensi seorang laki-laki yang berdiri, mulutnya bergerak entah mengatakan hal apa tapi Matteo tahu laki-laki itu sedang marah.

“Itu dia kenapa, sih?” mamah bertanya, masih menatap kekacauan di ruang sebelah. Di mana si laki-laki yang kini marah mencoba melepaskan genggaman tangan pria paruh baya yang Matteo yakini sebagai ayahnya.

“Loh, bukannya itu Pak Adhiyaksa?”

Perkataan Hanin barusan sukses membuat atensi ketiganya teralih. Ada raut bertanya, termasuk Matteo yang kini lebih memilih mendengar penjelasan yang mungkin akan keluar dari mulut Hanin.

“Pak Adhiyaksa, pemilik agensi SNO Entertainment,” Hanin memulai penjelasannya. “Aku pernah ketemu dia beberapa hari lalu, waktu itu dia dateng ke agensi kita entah mau ngapain. Dan setau aku, dia emang deket sama CEO agensinya Matteo,” lanjutnya.

“Hogan?”

“Iya om, aku gak tau sih gimana mereka bisa deket. Tapi katanya mereka buat perjanjian gitu, ini juga cuma rumor soalnya aku denger kabar ini tanpa ada bukti apapun.”

SNO Entertainment, Matteo pernah datang satu kali atas kemauan CEOnya. Saat itu dia akan berkolaborasi dengan salah satu penyanyi di sana, membuat tayangan iklan yang berdurasi 30 detik bersama, lalu urusan mereka selesai.

Kini matanya kembali menatap ke ruangan di samping, tepat di mana keributan sebelumnya terjadi. Tersisa tiga orang yang kini sedang dalam keadaan kacau. Perempuan paruh baya itu menangis, pria paruh baya yang Matteo yakini sebagai kepala keluarga mencoba menenangkan istrinya. Sedangkan satu perempuan yang terlihat masih muda menundukkan kepala.

Ia raih gelas jus yang ada di hadapan, lalu meneguknya. Kepalanya masih memikirkan wajah laki-laki yang terlihat sangat marah, apa yang membuat emosinya terpancing seperti itu? Entah kenapa Matteo ingin mengetahui sebabnya.

###

“Gak usah cari tau, gue muak.” Nada yang penuh dengan kekesalan terlontar dari bibir Kaizen.

Bisa-bisanya pria tua itu mengancam Kaizen? Dia bilang jika Kaizen tidak menuruti ucapannya, maka Kaizen tidak akan mendapatkan jadwal perilisan single barunya. Kaizen muak, nyatanya semua yang dilakukan agensinya adalah ulah pria tua itu.

Pria yang berpura-pura menyayanginya.

“Kai, lo gak buat masalah kan?”

“Kenapa lo selalu salahin gue, sih?”

“Karena lo gak mau ceritain semuanya ke gue. Kalau gue gak tau cerita lengkapnya, gimana bisa gue ada di pihak lo.”

“Dan kenapa bisa lo ada di pihak Adhiyaksa sebelum tau gimana cerita lengkapnya.”

Hening, tidak ada balasan dari Haikal. Kaizen hampir saja memutus sambungan telepon jika Haikal tidak bersuara.

“Sorry.”

“Adhiyaksa mau jodohin gue sama anak temennya, dia bilang dia gak akan kasih gue tanggal perilisan single baru kalau gue gak nurut.”

Keluarga Adhiyaksa, sampai kapanpun Kaizen tidak akan mau menjadi bagian dari mereka. Kaizen tetaplah Kaizen Terangga. Bukan Kaizen Adhiyaksa ataupun Kaizen lainnya.

©kmvdoots

Abercio berdiri, memandang pantulan tubuhnya yang sudah memakai kostum lengkap untuk pertandingan hari ini. Abercio tidak cukup percaya diri untuk membawa pulang medali emas hari ini, pasalnya banyak skater lain yang jauh lebih baik darinya. Walaupun begitu, pria itu meyakinkan dirinya sendiri agar tetap menunjukkan yang terbaik. Setidaknya dia tidak boleh mempermalukan negaranya.

Olimpiade Figure Skating di Houston selalu diadakan setiap tahunnya, tahun lalu Abercio ikut dikategori pemula tapi tahun ini dia berhasil membuat perubahan dengan masuk kategori Junior. Mungkin tahun depan dia bisa ikut kategori Senior? Siapa yang tahu.

Hanan datang, menepuk punggungnya membuat Abercio berbalik lalu menatap wajah sahabat baiknya. Hanya Hanan satu-satunya orang yang Abercio percaya. Pria itu selalu ada di sampingnya apapun yang terjadi. Hanan tahu semua tabiat buruk Abercio tapi pria itu tidak meninggalkannya. Ada Kallea dan Savero yang juga merupakan temannya, kenapa Abercio tidak percaya pada mereka? Ketiganya baru bertemu beberapa tahun lalu, dan mereka digabungkan sebagai tim nomor dua di agensi Gareth Figure Skating.

Abercio hanya menganggap keduanya sebagai teman, tidak lebih.

“Gugup?” sahabatnya bertanya, menarik Abercio agar duduk di sampingnya.

“Gara mana?” Bukannya menjawab, Abercio justru balik bertanya.

“Dia beli makan dulu, gue laper soalnya,” Hanan menjawab disertai cengiran yang membuat Abercio mendadak kesal. “Gara cerita soal Jiro.”

Ah, perihal pria itu? Abercio baru ingat sampai sekarang dia belum membuka pesan yang Jiro kirimkan padanya di iMessage. Bukannya berniat menghindar, hanya saja Abercio tidak mau fokusnya pada olimpiade teralih karena ajakan bertemu yang Jiro tawarkan. Abercio akui dirinya memang labil, beberapa minggu yang lalu dia meminta Jiro menjauh tapi ketika pria itu kembali menghubunginya, Abercio segera membuka pintu lebar-lebar untuk penjaga gawang Manchester City itu.

Aneh bukan? Tapi Abercio merasa dia harus melakukan hal itu. Entah kenapa dia ingin berada di samping Jiro dalam jangka waktu panjang.

“Gara bilang,”

Belum sempat Hanan melanjutkan ucapannya, Coach Melissa datang menyuruhnya untuk segera keluar karena kompetisi akan dimulai. Abercio meminta maaf pada Hanan dan memintanya agar menceritakan perihal Jiro setelah olimpiade selesai. Keduanya segera berjalan keluar, melihat beberapa peserta lain berjalan ke arah yang sama dengan mereka.

Abercio mengenal wajah mereka, walaupun nyatanya dia tidak ingat dengan namanya. Mereka berlatih di tempat yang sama selama 1 minggu, Abercio tahu mereka bukan lawan yang mudah. Terlebih lagi semua yang berkompetisi di sini pasti sudah pernah mendapatkan medali, seperti dirinya. Hanya saja, Abercio tetap merasa kecil diantara yang lainnya.

Seakan mengerti dengan keresahan Abercio, Hanan merangkul pria itu dari belakang. Membisikkan 'lo pasti bisa! Abercio gue yang paling hebat', sudah cukup membuat kegelisahan Abercio meluap. Keduanya tersenyum.

Saat matanya berhasil menatap banyak penonton yang sudah memenuhi stadium, jantung Abercio berdegup kencang. Dia harus tampil di depan ribuan orang yang datang, dia meyakinkan dirinya sendiri agar tidak membuat kesalahan. Sampai tiba-tiba rasanya dunia Abercio berhenti berputar.

Langkah kakinya terhenti di tengah-tengah tangga saat melihat perawakan tidak asing berdiri di salah satu bangku penonton. Menatapnya, sama seperti yang Abercio lakukan. Pria itu memang memakai masker tapi Abercio tahu betul mata milik siapa yang kini sedang fokus menatap ke arahnya.

Itu Jiro.

Penjaga gawang Manchester City yang dikabarkan berangkat ke Qatar untuk menonton pertandingan kawannya.

Itu Jiro.

Pria yang Abercio tinggalkan karena keresahan dirinya sendiri, pria yang tidak pernah menyerah dengan dirinya, pria yang selalu mengerti keadaannya, pria yang selalu memberikan kata penyemangat untuknya, dan pria yang berstatus sebagai kakak Hazel, penggemarnya.

Pria itu ada di sana, membuka maskernya lalu tersenyum dengan manis. Ada Gara dan Zidan yang ikut melambai ke arahnya. Sudut bibir Abercio terangkat, tersenyum bahagia melihat presensi yang tidak dilihatnya beberapa minggu ini, melihat senyum yang dia rindukan setiap hari.

Abercio tidak tahu apa arti semua ini? Apa arti jantungnya yang berdegup dengan kencang saat Jiro membalas senyumnya dan berkata 'semangat'. Abercio tidak tahu kenapa dia merasa banyak kupu-kupu di perutnya. Abercio tidak tahu kenapa pipinya memanas dan Hanan yang meledeknya.

Yang Abercio tahu dirinya bahagia melihat Jiro ada di sini. Menonton pertandingannya dan memberikan semangat yang Abercio butuhkan.

Tapi senyum Abercio luntur kala tubuhnya kehilangan keseimbangan. Pikirannya kosong saat tubuhnya terlempar ke bawah, Abercio hanya bisa mendengar teriakan Hanan. Setelah itu dunia tiba-tiba terasa gelap, Abercio tidak bisa mengingat apapun.

© kmvdoots

Abercio duduk setelah mengirimkan lokasinya pada Hanan. Hari ini rencananya dia bersama Kallea dan Savero akan mengadakan pesta kecil, memanggang daging diiringi musik dan tawa bukanlah ide yang buruk, terlebih lagi saat Haikal ikut serta. Hanya saja pesta itu harus ditunda dikarenakan perut mereka yang sudah kenyang.

Berawal dari keempatnya yang berniat membeli bahan barbeque berujung Abercio melihat banyak donat tersusun rapi, membuat dirinya tergoda untuk membeli. Niatnya hanya ingin membeli satu tapi nyatanya dia berhenti makan setelah 3 potong donat habis masuk ke dalam mulutnya. Kallea juga sama, perempuan itu bahkan memesan 4 potong donat dan memakannya sampai habis. Jika Haikal tidak melarangnya untuk memesan lagi, mungkin Kallea akan makan 1 potong lagi.

Sudut bibirnya tertarik ke atas mengingat dia pernah menghabiskan waktu bersama Jiro di Manchester, kenangan saat dirinya memakan donat bersama Jiro kembali berputar di otak. Sebenarnya Abercio tidak berniat menjauhi Jiro, terlebih lagi dirinya tahu Jiro merupakan pria yang baik. Hanya saja, dirinya merasa hal ini salah. Fans Jiro tidak suka dengan berita kedekatan mereka. Abercio tahu tidak semua fans Jiro membencinya, hanya saja Abercio rasa dirinya tidak bisa egois.

Abercio hanya tidak mau Jiro kehilangan fans hanya karena dirinya.

“Abercio.”

Lamunannya buyar saat ada yang memanggil namanya. Pria itu menengok, mencari dari mana sumber suara itu berasal. Matanya membulat kala mendapati wajah tidak asing berdiri di depannya.

“Kamu masih inget sama Tante, kan?” Abercio tersenyum dan mengangguk. “Tadi Tante ragu mau manggil, takut salah orang. Ternyata ini bener kamu.” Wanita paruh baya itu maju lalu menggenggam tangan Abercio, membawanya kembali duduk di tempat semula Abercio berada.

“Tante ngapain di sini? Sendirian?”

“Tante lagi belanja bulanan. Enggak sendirian kok, Tante ke sini sama Jiro.”

Deg.

Tubuhnya menegang saat nama itu keluar dari mulut wanita paruh baya yang Abercio kenali sebagai orang tua Jiro. “Jiro?”

“Iya.” Wanita itu mengangguk dengan semangat. Tangannya menunjuk ke suatu tempat. “Itu dia ada di sana.”

Abercio dapat melihat postur tegap Jiro berjalan ke arah di mana mereka berada. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang, kenapa pula mereka bertemu di sini? Terlebih lagi saat Abercio membuat jarak dengan pria yang berstatus sebagai penjaga gawang Manchester City itu.

Saat Jiro berada tepat di hadapannya, mata mereka terkunci satu sama lain. Kejadian saat mereka saling menatap di pesta beberapa hari lalu kembali terulang di sini. Abercio tahu Jiro mungkin menganggapnya egois tapi Abercio pikir dirinya tidak salah. Abercio hanya tidak mau memperburuk suasana, terlebih lagi dia lelah mendapatkan hate speech dari banyak orang. Memfitnahnya seolah dirinya adalah orang yang haus perhatian.

Abercio tidak pernah mau dekat dengan atlet internasional manapun, tidak mau dianggap panjat sosial, Abercio tidak pernah bermimpi bisa memiliki teman seorang penjaga gawang Manchester City, dia tidak pernah bermimpi akunnya bisa penuh dengan pemain Manchester City, Abercio tidak menginginkan itu semua. Menjadi atlet Figure Skating, it sudah lebih dari cukup untuknya.

Nice to meet you here, Abercio. How are you?” Jiro mengajukan pertanyaan seolah tidak ada masalah diantara mereka. Pria itu duduk di samping mamahnya, menatap Abercio yang duduk berada di depannya.

I'm fine, how about you?” Abercio menjawab. Berusaha dengan keras agar suara yang keluar dari mulutnya tidak bergetar.

I'm not fine.” Jawaban yang berhasil membuat tubuh Abercio menegang, raut bingung terlihat jelas di wajah wanita paruh baya yang sedari tadi diam melihat interaksi mereka. Jiro terkekeh, kemudian kembali bicara. “I don't have friends who can accompany me here, so I feel lonely,” lanjutnya.

“Kenapa gak minta Abercio temenin jalan?” Mamahnya mengeluarkan sebuah pertanyaan.

He's busy, Mom.”

“I forget, you're a Figure Skating athlete. Anyway what are you doing here*, Abercio? Kamu keliatan sendirian.”

“Aku tadi ke sini bareng sama temen Tante, tapi mereka udah duluan pulang,” Abercio menjawab. Tersenyum kepada wanita paruh baya yang untungnya sangat ramah pada dirinya.

“Mau pulang bareng sama kita?”

Abercio buru-buru menggeleng. “Gak usah Tante, aku udah minta dijemput sama temen. Mungkin sebentar lagi dia dateng.”

Tepat saat Abercio menyelesaikan ucapannya, Hanan datang dan berdiri tepat di hadapannya. Pria itu bingung mendapati kawannya tidak sendirian. Hanan menelan kembali pertanyaannya saat melihat Jiro ada di sana, pria itu menyapa dua orang lain yang ada di sana.

Mereka sedikit berbincang-bincang sebelum akhirnya Abercio berpamitan. “Tante kayaknya aku harus cepetan pulang deh,” Abercio bicara, sedikit tidak enak karena mereka sedang asik berbicara.

Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk. “Nanti Tante kabarin kamu lagi lewat Jiro, Tante harus sering ketemu sama kamu.”

Dan Abercio tidak bisa menolak keinginan wanita itu.

Abercio tahu Hanan menyadari ada yang tidak beres diantara dirinya dan Jiro, dirinya terlalu malas bercerita karena Abercio yakin Hanan pasti tidak senang dengan keputusannya untuk menjauhi Jiro. Maka ketika Hanan mengajukan pertanyaan, Abercio hanya bisa memberikan jawaban bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Mungkin dia bisa menceritakan soal ini nanti. Yang pasti dia tidak mau menceritakannya secara langsung.

Saat dirinya hampir masuk ke dalam mobil Hanan, saat itu juga ada yang menahan tangannya. Abercio hampir saja mengumpat jika tidak melihat Jiro-lah pelakunya. Pria itu tersenyum pada Hanan dan membawa Abercio menjauh dari mobil.

“Abercio, don't act like this.” Pria itu mengela nafas. “Gue tau lo pasti sakit hati karena ucapan fans gue, but I can't stay away from you, Abercio.” Abercio bisa merasakan tangannya digenggam oleh Jiro. “Please give me one more chance, gue pastiin kali ini lo gak akan kena masalah karena gue lagi.”

I'm going to Houston in 1 week.” Abercio dapat melihat pria di hadapannya terkejut. “Dan gue terlalu sibuk luangin sedikit waktu buat ketemu sama lo,” lanjutnya. Mencoba melepas genggaman tangan Jiro.

Keduanya sama-sama terdiam, genggaman tangan mereka sudah terlepas. Dapat Abercio lihat Jiro menundukkan kepalanya. Abercio tahu pria itu pasti kecewa terlebih lagi dengan fakta bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bertemu. Abercio akui ini semua terjadi karena ulahnya tapi apa boleh buat? Abercio tidak tahu berapa lama dia tinggal di Houston, yang pasti tidak akan sesingkat saat dirinya berada di Manchester.

Kepala Jiro terangkat, setelah itu kejadiannya terlalu cepat. Jiro menarik Abercio masuk ke dalam pelukannya, memelukanya dengan erat seolah ini adalah pelukan terakhir mereka, seolah dunia akan berhenti mempertemukan keduanya. Dapat Abercio rasakan nafas Jiro di lehernya.

I hurry back to Indonesia because I want to meet you.” Abercio tahu itu.

I imagined I can spend a lot time with you here.” Abercio juga membayangkan hal yang sama.

I plan to watch the opening ceremony world cup with you.” Kali ini Abercio tidak tahu soal rencana itu.

Jiro melepaskan pelukan mereka, Abercio masih bisa merasakan tangan Jiro berada di bahunya. Mata mereka kembali bertemu dan Abercio akui dirinya tidak pernah tidak terpesona saat melihat mata indah Jiro. Pria itu tersenyum, ibu jarinya bergerak membelai pipi Abercio.

But I know, I can't make it happen.” Dan Abercio tidak pernah merasa sangat bersalah seperti ini. Dia tidak pernah tahu keputusannya bisa membuat hati orang lain tersakiti. Mungkin jika waktu bisa diputar, dia tidak akan melakukan hal yang sama.

© kmvdoots

Gemerlap lampu warna-warni menyambut Cio kala dirinya memijakkan kaki di rumah Jiro. Hazel tadi menjemputnya di depan, menunggu Cio datang lalu menggandeng tangannya. Cio sudah melarang Hazel untuk menjemputnya tapi perempuan yang berstatus sebagai adik Jiro itu terus keras kepala. Kini keduanya berjalan masuk dengan Hazel yang masih belum berhenti bicara pada Cio, perempuan itu menceritakan soal Jiro yang terlalu malas bangun dari kasur hingga mamahnya yang kesulitan memilih baju untuk dipakai malam ini.

Pesta yang digelar malam ini tidak terlalu formal, ada beberapa orang yang Cio yakini merupakan rekan bisnis keluarga Jiro. Mereka memakai baju yang sangat formal, yaitu jas dan celana kerja yang sangat rapi. Hazel sudah memberitahu Abercio bahwa dirinya tidak usah memakai pakaian formal, ini bukan pesta orang tuanya dan Hazel mengundang Cio sebagai salah satu kawan baik Jiro.

Hazel membawanya sampai berada tepat di hadapan empat orang berbaju formal yang sedang bicara dengan senyum lebar di wajah. Ketika dua orang yang lain pergi, atensi dua lainnya segera teralih pada Hazel dan Cio.

Mom, kenalin. Ini Kak Abercio, temennya kak Jiro yang pernah aku ceritain ke Mamah.”

Saat perempuan paruh baya itu menatap Cio, saat itu juga Cio buru-buru tersenyum. Menerima uluran tangan perempuan yang Cio yakini merupakan orang tua Jiro.

“Halo Abercio, Hazel sering banget ceritain kamu ke Tante.”

“Dia ini fans berat kamu Abercio,” pria paruh baya yang ada di samping mamah Jiro menambahi.

“Iya Om, Tante, aku sering banget liat Hazel kasih support ke aku. Entah lewat sosial media atau secara langsung dan aku beruntung banget punya fans seperti Hazel.”

“Kamu gak merasa terganggu kan, sama keberadaan Hazel? Soalnya dia ini terlalu berlebihan, Tante takut kamu enggak nyaman.”

“Mamah apaan deh, tadi Kak Abercio udah bilang sendiri kalau dia beruntung punya fans kayak aku,” Hazel segera buka suara. Tidak suka dengan pertanyaan mamahnya.

“Ya lagian kamu tuh exited banget kalo ada sesuatu yang berhubungan sama Abercio.”

“Itu namanya real fans, Pah.”

Ketiganya tertawa mendengar jawaban Hazel. Setelah berbicara beberapa topik, Hazel memutuskan membawa Cio ke tempat lain karena dia merasa sudah cukup mengenalkan Cio pada kedua orang tuanya.

Saat Cio masuk ruangan lain, dia merasakan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Musik berdentum dengan keras, beberapa minuman beralkohol berjejer rapih di samping deretan kue dan makanan lainnya. Banyak orang berlalu lalang bahkan Cio bisa melihat kerumunan orang yang sedang berada di samping kolam renang. Mereka kompak mengangkat tubuh salah satu orang dan melemparkannya ke dalam air, sorakan dan tepuk tangan terdengar setelah itu.

“Ini tempat khusus buat temen-temennya kak Jiro,” Hazel menjelaskan, masih menuntun Cio berjalan melewati beberapa pasang mata yang kini menatap ke arah mereka. “Sebenernya aku gak boleh gabung ke sini tapi karena aku mau nemenin Kak Abercio, mamah sama papah akhirnya kasih aku izin.”

Mata Cio mengedar, dia dapat melihat ada Gara yang sedang duduk bersama beberapa orang. Menuang minuman ke botol kawannya lalu meminumnya bersamaan. “Kamu sengaja ajak Kakak supaya bisa masuk ke sini?” Abercio bertanya pada Hazel. Dia sudah berhenti memindai ruangan dan mengalihkan tatapan pada Hazel.

“Enggak kok, Kak! Aku sengaja bawa Kakak ke sini supaya Kakak bisa ketemu kak Jiro dan baikan. Jujur aku gak suka liat kak Jiro galau terus.”

Abercio mengangguk mengerti. Kemudian telunjuk Hazel menunjuk ke suatu tempat, dia mengatakan bahwa Jiro ada di sana. Saat Cio menemukan postur tegap Jiro, saat itu pula pria yang berstatus sebagai penjaga gawang itu membalikkan badan. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat. Dengan cepat Cio mengalihkan pandangan, sudah dibilang Jiro tidak akan suka dengan kehadirannya di tempat ini. Harusnya Cio tidak pernah menapakkan kaki di sini, tidak berdiri bersama Hazel, dan tidak menunjukkan wajahnya di depan Jiro.

Di sisi lain, Jiro yang awalnya sedang berbincang dengan beberapa kawan lamanya terkejut saat melihat Cio duduk bersama Hazel. Mereka sempat berpandangan selama beberapa detik sebelum Cio dengan cepat melihat ke arah lain.

Pria itu tetap terlihat menawan dengan cardigan Navy blue yang dipakainya malam ini. Kaki Jiro bergerak maju, hingga kini dirinya berada tepat di belakang Cio yang sedang berbicara dengan Hazel. Dua orang itu masih belum menyadari keberadaannya. Dari dekat Jiro dapat melihat LV necklace yang terpasang di leher mulus Cio. Senyumnya melebar mengingat saat di mana mereka membeli kalung itu bersama di Manchester.

Jiro dapat mengingat dengan jelas bagaimana bahagianya Cio saat melihat kalung itu. Tidak ada yang spesial tapi Cio mengatakan pernah melihat kalung itu di sosial media dan dia tidak sempat membelinya karena terlalu sibuk. Saat Jiro hendak membayar kalung itu, Cio melarang. Pria itu berkata dia ingin membeli kalung impiannya menggunakan uang sendiri. Sekarang Jiro menyesal. Harusnya dia memaksa untuk membayarnya, setidaknya dia akan merasa senang ketika melihat Cio datang ke rumahnya menggunakan kalung yang dia beli.

“Kak Jiro!” Hazel yang nampaknya sudah menyadari keberadaan Jiro segera memanggil. Membuat Cio membalikkan badan, dapat Jiro lihat pria itu terkejut. Mungkin Cio tidak mengira dirinya akan datang menghampiri setelah kecanggungan yang mereka hadapi di room chat beberapa hari yang lalu.

Well Jiro akui mereka harusnya tidak mempermasalahkan masalah yang belum jelas bisa mereka jadikan masalah. Lagipula, untuk apa mereka marah? Maksudnya, untuk apa Cio marah saat Jiro tidak memberitahunya jika dia sudah ada di Indonesia? Untuk apa pula Jiro marah saat melihat Cio jalan bersama model yang bernama Karel? Bukannya mereka hanya berteman? Apa boleh teman marah saat teman lainnya tidak memberi kabar? Apa boleh teman marah saat temannya pergi bersama teman yang lain?

Walaupun Jiro mengakui dirinya salah dan tidak berhak marah, nyatanya dia tidak bisa menahan emosinya. Terlebih lagi saat Cio datang dan memintanya membalas pesan yang sengaja Jiro abaikan. Tidak ada alasan yang pasti kenapa dia pura-pura tidak melihat banyak notifikasi dari Cio, hanya saja tolong berikan waktu hingga emosinya mereda, hingga rasa cemburu di dadanya hilang, hingga dirinya sadar dan menerima hubungan mereka yang masih belum berkembang.

Thanks for coming to my party, Abercio,” Jiro bicara. Memecah keheningan yang menimpa mereka. Tangannya terulur, dan Cio dengan cepat menerima.

Pria itu tersenyum sebelum membalas ucapan jiro. “Sama-sama.”

Hening kembali melanda mereka. Dua-duanya hanya bertukar pandangan tanpa mau mengucapkan sepatah kata apapun. Hazel rasanya ingin marah, bukan ini yang dia mau, dan kenapa pula dua orang di hadapannya berubah menjadi orang bisu saat bertemu? Hazel tahu hubungan mereka baik, Hazel dapat melihat ada rasa yang mereka pendam untuk satu sama lain. Apa susahnya meminta maaf dan menjalani hidup seperti biasa?

Berjalan-jalan ke pantai bersama, duduk bersama, mengobrol bersama, satu mobil dan tertawa, menghabiskan waktu hingga lupa pada dunia. Kenapa pula dua orang ini tidak bergerak membuat perubahan di hubungan mereka? Hanya sekedar meminta maaf, apakah susah?

Perempuan itu sengaja terbatuk agar atensi dua orang di depannya teralih kepadanya. “Kayaknya aku harus susulin mamah deh. Dia bolehin aku masuk ke sini cuma buat anterin Kak Abercio aja, kalau Kak Abercio udah ketemu Kak Jiro aku harus balik sama mamah.” Ucapannya sukses membuat Cio kini terkejut, terbukti dengan matanya yang sudah membulat sempurna.

“Tapi kamu janji mau temenin Kakak, Zel.” Semuanya tahu itu adalah bentuk protes yang Cio berikan pada adik Jiro.

Bukannya Hazel tidak perduli, dia juga merasa kasihan dan ingin menemani Cio di sini. Tapi terpaksa dia harus pergi, jika tidak, maka hubungan Cio dan Jiro tidak lekas membaik dan Hazel pusing melihat hal itu.

Hal sepele yang sengaja dibesar-besarkan, batinnya kesal.

Hazel sudah pergi setelah berdebat kecil bersama Cio. Meninggalkan dua orang yang masih diam. Duduk bersama di salah satu meja yang berada di samping kolam renang, nyatanya Cio dapat melihat seluruh atensi tertuju pada mereka. Pria itu lupa mereka pasti mengenal dirinya. Siapa pula yang tidak kenal pada atlet skating yang baru saja mendapatkan medali perak beberapa saat lalu di Manchester. Cio yakin mereka pasti bingung dengan situasi ini.

Mungkin besok ada berita bertajuk, “Atlet Figure Skating Abercio Kaisar Mahatna terlihat di pesta penyambutan Jiro, penjaga gawang club sepak bola dari Inggris, Manchester City.

Pasti beberapa orang akan bertanya-tanya, untuk apa Cio ada di pesta penyambutan Jiro? Apa mereka sedekat itu hingga Cio bisa datang ke sana? Ditambah lagi dengan beberapa postingannya dan Jiro yang sempat menjadi trending nomor satu di media sosial. Mungkin beberapa orang berspekulasi mereka akan mengadakan suatu kolaborasi, mungkin juga ada yang mengira hubungan mereka lebih dari teman, atau ada yang mengira Cio sengaja mencari kesempatan dekat Jiro agar dirinya bisa terkenal.

Well, Cio sudah pernah mengalami semua itu.

“Abercio,” sontak kepalanya menengok ke sumber suara, mendapati Jiro yang kini sudah melihat tepat ke arahnya. Seolah tidak perduli dengan beberapa pasang mata yang tertuju ke arah mereka. “Want to say something to me?” pria itu bertanya.

Akhirnya Cio menghela nafas. “Sorry,” kata pertama yang keluar dari mulut Abercio sebelum pria itu akhirnya berani mengangkat wajah dan menatap Jiro. “Mungkin lo gak suka dengan kehadiran gue di sini, makannya gue minta maaf. Gue harusnya bisa nolak Hazel dan gak nunjukkin wajah di depan lo.”

Cio menyenderkan tubuhnya di kursi, melihat sekelilingnya beberapa saat lalu kembali menatap Jiro. “Gue gak yakin tapi mungkin besok nama lo bakal ada di base gosip karena gue,” tambahnya.

“Gue suka lo ada di sini.”

Satu kalimat yang berhasil membuat Cio terkejut, degup jantungnya semakin cepat saat melihat sudut bibir Jiro terangkat. “Jangan suka mikir yang enggak-enggak, Cio. Gue gak melarang lo ada di sini. Maybe I should thank Hazel for inviting you here, because gue gak akan berani lakuin hal itu sendiri.” Cio terkejut mendengar jawaban yang tidak terpikirkan olehnya sama sekali.

Apa ini artinya hubungan mereka sudah membaik? Apa ini artinya Jiro sudah kembali seperti semula? Apa Jiro sudah tidak marah padanya lagi?

Mungkin semua jawabannya adalah 'Ya'. Terbukti dengan Jiro yang sekarang tersenyum padanya. Mungkin pria itu tidak mengatakan dengan tersurat jika hubungan mereka sudah membaik tapi Cio tahu arti senyuman itu. Hubungan mereka membaik dan tidak seharusnya dipermasalahkan lagi.

Why?” Satu kata yang keluar dari mulut Cio, ingin sekali mendengar alasan kenapa pria di hadapannya tidak berani mengundangnya sendiri.

Well, I admit I shouldn't be mad at you over all things … and I have no reason to be angry with you, Abercio. Lo bisa pergi sama siapapun dan gue gak berhak buat marah. We're friends and friends don't get mad for that reason.”

Jawaban yang sukses membuat Cio tertawa. “Oke, gue kasih lo maaf.”

Thank you, but next time you should go with me. Remember, lo janji bawa gue jalan-jalan ke tempat bagus di Jakarta.”

Keduanya kembali tertawa setelah mendengar gurauan yang Jiro layangkan. Bisa dibilang sekarang hubungan mereka sudah membaik, Cio mengakui perkataan Hazel memang benar, terlebih lagi soal Jiro yang lebih santai jika diajak bicara secara langsung. Pria yang berstatus sebagai Figure Skating itu bersyukur, nyatanya kini dia bisa kembali bersenda gurau bersama Jiro. Tidak bisa dibayangkan jika mereka belum bicara pada satu sama lain, maka mungkin saja Cio sudah berlari pulang ke rumah sekarang.

Jiro berkata bahwa dia harus pergi dan Cio ingin sekali menahan pria itu agar tetap bersamanya. Cio tahu Jiro merupakan tuan rumah, tokoh utama di pesta malam ini, dan dia harus pergi untuk menemui beberapa tamu lain yang datang untuk menyambut kedatangannya. Maka kini Cio duduk seorang diri, tidak tertarik berbaur dengan orang lain, tidak pula meladeni beberapa orang yang sengaja duduk di depannya untuk mencoba mengajaknya mengobrol.

Cio tidak tertarik dengan mereka semua.

Cio menyadari beberapa pasang mata masih tertuju ke arahnya. Terlebih lagi saat dirinya menyadari satu gerombolan perempuan berbisik dan terus menatap ke arahnya. Cio tahu mungkin dirinya sedang menjadi topik utama di sana tapi dirinya tidak mau ambil pusing.

Beberapa menit kemudian Jiro kembali datang ke meja yang Cio tempati, pria itu membawa dua gelas minuman. Cio tahu itu wine, tiba-tiba saja peringatan yang Hanan berikan kembali terputar di otaknya. Soal Cio yang tidak boleh minum minuman beralkohol apapun yang ada di sana. Tapi Cio tidak bisa menolak saat Jiro menyodorkan gelas itu tepat di depan wajahnya.

Berakhir dengan dia yang meminum wine yang Jiro bawa. Meneguknya sedikit demi sedikit. Ini bukan kali pertamanya meminum cairan merah itu dan Cio tahu betul bagaimana rasanya. Pria itu hanya sedikit khawatir, takut kelewatan dan berakhir pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.

Tomorrow you have practice?” Penjaga gawang itu meletakkan gelasnya di meja. Menatap Cio yang melakukan hal sama dengannya.

Yang ditanyai mengangguk, “ada.”

“Padahal gue ada niatan buat bawa lo jalan-jalan.”

Maybe next time?

Anggukan adalah jawaban yang Jiro berikan. “Want to meet my friend?” Jiro bertanya. “I think I should introduce you to my friends, they really want to meet you.

Berakhir dengan Cio yang mengikuti Jiro menemui temannya. Cio tahu beberapa wajah yang dia temui malam ini, mereka kerap kali terlihat di majalah, di TV, maupun di media sosial. Semua teman Jiro bukan dari kalangan biasa, mereka semua memiliki nama yang bisa mereka banggakan. Setidaknya Cio tidak merasa dirinya tak pantas datang ke sini, toh dirinya dan Jiro sama-sama seorang atlet.

Semuanya berjalan lancar. Walaupun ini kali pertama Cio bertemu dengan mereka, mereka tetap terbuka dan menerima uluran tangan Cio. Dirinya merasa diterima di sini. Sedikit kekhawatirannya mulai menghilang, terlebih lagi saat mendengar Jiro memperkenalkannya dengan bangga. Berkata bahwa mereka sudah bertemu sedari lama dan berkata bahwa Cio merupakan salah satu kawan baiknya.

Hingga ketenangan itu terusik saat tubuh Cio hilang keseimbangan, tubuhnya jatuh tepat ke kolam dan beberapa orang berteriak melihat hal itu. Terlebih lagi untuk Cio yang merasakan sendiri.

“Cio, are you okay?” Jiro bertanya.

Mata Cio memicing, menatap beberapa perempuan yang berada di belakang Jiro. Mereka adalah gerombolan yang sempat terlihat membicarakannya. Cio tidak bodoh untuk tidak mengetahui jika merekalah yang mendorongnya hingga terjatuh ke kolam. Dan saat Jiro ikut melihat ke belakang, saat itu pula dia bisa menyimpulkan siapa pelakunya. Dengan cepat pria itu melangkah lalu memarahi gerombolan perempuan yang sengaja mendorong Cio ke kolam. Sedangkan Cio menerima uluran tangan dari orang lain yang mencoba menolongnya.

© kmvdoots

Cio akui, Jiro adalah guide tour terbaik yang dia temui di Manchester. Pria itu membawanya pergi mencari tempat makan yang benar-benar enak, bukan hanya itu saja, Cio bahkan sangat menyukai suasana damai di sekitar mereka. Agaknya Cio harus berterimakasih pada Jiro, pria itu menepati janjinya untuk tidak mengecewakan Cio.

Sudut bibirnya terangkat saat melihat Jiro kembali datang membawa dua cup kopi, dia memberikan salah satunya pada Cio. Jelas Cio menerimanya dengan senang hati. Keduanya kini sudah berada di hadapan Etihad Stadium setelah lelah berjalan-jalan. Awalnya saat Jiro bertanya Cio ingin pergi ke mana, saat itu Cio bingung mau menjawab apa. Dia sudah kenyang, dia juga tidak punya tujuan tempat yang ingin didatangi maka Cio hanya menjawab terserah berujung dengan Jiro yang membawanya ke sini.

“Abercio,” yang dipanggil menengok, menatap Jiro yang sudah lebih dulu menatapnya. “Are you happy today?” Pertanyaan itu meluncur dengan mudah dari bibir Jiro.

Cio tersenyum entah untuk apa, kemudian pria itu mengangguk. “Seneng banget! Makasih ya, Jiro. Setidaknya setelah pertandingan yang cukup melelahkan, gue bisa enjoy jalan-jalan sama lo.” Jawab Cio, meminum kopi yang tadi Jiro belikan untuknya.

Cuaca mulai berubah menjadi dingin, matahari sudah hampir menghilang saat Jiro dengan mudah membuka jaketnya. Tanpa aba-aba pria itu memakaikan jaket miliknya ke tubuh kecil Cio, yang diperlakukan seperti itu jelas terkejut tapi tidak bisa memprotes karena saat dirinya ingin melepas jaket itu, Jiro menatapnya tidak suka.

“Dipake ya? Gue gak mau lo sakit setelah jalan sama gue. Your health is important, Abercio.”

Jantung Cio berdegup dengan sangat cepat, pipinya memerah. Cio salah tingkah. Hanya karena ulah sang penjaga gawang, untungnya Jiro tidak menyadari hal itu karena dia sedang sibuk menatap ke arah lain.

“Jiro,” Cio memanggil. “Makasih ya buat jaketnya.”

Jiro mengangguk lalu mengusak rambut Cio. “Sama-sama. Sekarang gimana? Udah enggak dingin kan?” Jiro memastikan.” Tangannya refleks mengambil tangan Cio, menggenggamnya lalu mengelusnya, mencoba mengecek apakah suhu tubuh Cio sudah naik setelah dirinya memberikan jaket?

Sedangkan jantung Cio semakin cepat berdetak. Rasanya begitu hangat, terlebih lagi saat jemari besar Jiro mengelus punggung tangannya dengan sangat lembut. Cio suka, suka sekali. “Suhu tubuh lo udah naik, setidaknya gue gak perlu khawatir nantinya lo sakit.” Jiro bicara setelah mengecek suhu tubuh Cio. Saat tangannya hendak melepas genggaman tangan Cio, saat itu juga Cio menahan tangannya.

Ada raut heran di muka Jiro, Cio mengusap tengkuknya canggung. “Jiro, Can you still hold my hand?” Cio meminta. Mengesampingkan rasa malu yang kini sudah menggerogoti dirinya.

Sudut bibir Jiro tertarik. “Why you want me to hold your hand? Do you like it?” Pria itu bertanya, mengangkat genggaman tangan keduanya hingga Cio bisa melihat dengan jelas bagaimana tangannya tenggelam dalam genggaman Jiro.

Yes, I like it.”

So I think I'm not wrong about Hazel. You jealous with her, right?

Deg

Cio terkejut, tidak menyangka Jiro kembali membawa topik itu. Nampaknya sang goalkeeper tidak mau kalah, dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan kemenangan. Yang lebih kecil bingung mau menjawab apa, tidak mungkin dirinya jujur, apa tanggapan Jiro? Mungkin pria itu akan kesal padanya. Siapa yang tidak kesal saat adiknya sendiri dikira sebagai pacarnya.

No—

Be honest to me, Abercio. Don't lie because I know.” Jiro memotong perkataan Cio. Pria itu tidak berniat mengancam tapi Cio memandangnya seperti sebuah ancaman. Entah kenapa … dirinya takut Jiro marah.

I'm sorry, Jiro. You're right. For the first time I saw her in your twitter, I tough she was your girlfriend and I think I should go for your life because I don't want to disturb your life again.”

Distrub my life? What do you mean, Abercio?”

“Gue merasa gue udah terlalu sering buat lo repot. Gue sering gangguin hidup lo dengan banyak keluhan yang selalu gue rasain. Tanpa sadar, lo repot karena keluhan gue,” Cio menjawab, tak berani menatap wajah Jiro.

“Alasan lo gak masuk akal, Abercio.” Detik itu juga Abercio berani mengangkat wajahnya hingga tatapan keduanya bertemu. “Lo gak pernah gangguin gue because I always call you first, I always text you first. Why you think you distrub my life? You know? My life change because of you,” Jiro menjelaskan. Dia tidak perduli jika Cio nantinya mengerti dengan apa yang dirasakannya karena Jiro memang ingin membuat Cio mengerti, membuat pria itu paham jika dia memiliki rasa yang berbeda untuk si pria yang lebih kecil.

Netra Cio membulat dengan sempurna saat menatap wajah yang tidak asing hingga keduanya sempat berkontak mata. Keenan ada di sana, bersama seorang wanita yang Cio yakini adalah kekasihnya. Cio buru-buru membalikkan badan saat Keenan mengangkat tangannya, berupaya menyapa Cio yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.

Shit! Kenapa gue harus ketemu dia di sini lagi, sih.” Jiro jelas bingung dengan perubahan sikap Cio yang terlalu tiba-tiba. “Please pergi sana, jangan ke sini, tolong banget gue gak mau ketemu sama lo Keenan.”

Jiro merasa Deja Vu saat tangan kecil Cio kembali memeluk lengan penuh tatonya, jantungnya kian berdetak dengan cepat terlebih saat Cio tidak sengaja meremas lengannya.

“Cio, what happened?” Jiro bertanya, khawatir dengan Cio yang sudah menutup wajahnya menggunakan satu tangan.

“Mantan gue ada di sini, Jiro. Kita pergi sekarang aja, ya?” Cio meminta, masih menutupi wajahnya dengan satu tangan.

You're ex? Di mana?” Mata Jiro sontak mencari di mana keberadaan mantan Cio.

I'm here.” Tiba-tiba saja ada pria yang menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Jiro. Sedangkan Cio sudah mengumpat dalam hati, bagaimana pula Keenan bisa sampai di hadapannya dengan Jiro begitu cepat? Apa masalah dia hingga selalu dipertemukan dengan Keenan. “I'm Abercio ex and I know you, Jiro Aknath Chevalier, Manchester City goalkeeper. Am I wrong?” Keenan melanjutkan ucapannya.

Jiro tersenyum lalu menyambut jabatan tangan itu. “No. You're right.”

I'm Keenan, nice to meet you Jiro,” Keenan kemudian menatap Cio yang dengan cepat menyingkirkan tangan di depan wajah. Cio buru-buru menatap hal lain, yang penting dirinya tidak menatap wajah Keenan. “And happy to see you, Cio.”

Cio hanya menunjukkan senyum paksanya, masih mengumpati nasibnya yang terlampau buruk hingga bisa bertemu dengan Keenan di Manchester. “Dia pacar lo? Kenapa gak dikenalin sama kita?” Cio bertanya karena dia memang penasaran dengan hubungan dua orang itu. Apa benar mereka berpacaran?

Keenan tersenyum dengan sangat manis, “yes she's my girlfriend. Her name is Alora. Al, dia Abercio. Mantan yang pernah aku ceritain.” Keenan memperkenalkan keduanya.

Nice to meet you, Abercio.” Alora bicara dengan senyum bahagia, Cio balik membalas. “This is your boyfriend, Abercio?” Alora bertanya saat matanya tidak sengaja menatap tangan Cio yang mengalung dengan indah di lengan penuh tato milik Jiro.

Cio dengan cepat menggeleng tapi belum sempat dia melepaskan tautan tangan keduanya, Jiro menahan tangan Cio hingga kini dia mengelus tangan itu. “Yes, I'm Abercio boyfriend.” Jiro menjawab mampu membuat kedua mata Cio membulat sempurna.

Wow you're so lucky, Abercio. Setelah putus sama gue lo kencan sama Jiro.” Keenan bicara, ada raut bahagia di sana dan entah kenapa hati Cio sakit melihat itu.

Raut wajah Cio tidak terlepas dari penglihatan Jiro, dia dapat melihat jelas ada raut tidak suka di wajah Cio. Entah Cio memang tidak suka keberadaan Keenan atau pria itu masih belum bisa melupakan Keenan, Jiro tidak bisa menyimpulkan jawabannya. Dia butuh petunjuk lain. Hingga dia dapat merasakan Cio kian mendekat, memeluk lengannya lebih kuat lalu menyenderkan kepalanya di bahu milik Jiro.

“Iya, gue gak nyangkal kalau gue emang selalu beruntung,” Cio menjawab bangga. Tidak perduli dengan malu yang mungkin akan menggerogotinya setelah kepergian Keenan.

Jiro ikut bermain. Tangannya kini sudah naik bertengger di pinggang Cio, memeluknya dengan mesra. Jangan tanya keadaan Cio, pria itu jelas terkejut.

Keenan yang melihat itu tersenyum. “Kalian emang cocok. Gimana kalau kita double date? Gue tadinya mau pergi sama Alora aja, tapi setelah gue pikir lagi ajakin kalian berdua mungkin bakal bikin date kita lebih seru.”

© kmvdoots

Euforia kemenangan menguar begitu jelas di ruangan tersebut. Hanan memeluk Abercio, di sampingnya ada Kallea yang sedang menangis bahagia ditemani Haikal, ada juga Savero yang sedang diberi banyak pujian oleh Coach Melissa. Semuanya bahagia, terlebih lagi untuk kemenangan pertama Kallea. Perempuan itu baru bergabung dua tahun dengan klub skating Gareth, pada pertandingan tahun lalu dia tidak berhasil membawa pulang medali.

Tidak jauh berbeda dengan Kallea, Savero dan Abercio juga berhasil membawa pulang medali. Abercio memang tidak mendapatkan posisi pertama tapi dia berhasil meningkatkan kemampuannya tahun ini. Tahun lalu dia hanya membawa pulang medali perunggu tapi sekarang dia membawa pulang medali perak. Abercio bahagia. Begitu juga dengan Savero yang bahagia mendapatkan perunggu.

Semuanya bahagia, terlebih lagi bagi Abercio yang mendapatkan begitu banyak pujian dari Hanan. Pria itu terlampau senang, Gara di sampingnya hanya bisa tersenyum melihat sang kekasih terlihat sangat lucu saat memuji penampilan Abercio. Pria itu bahkan menangis saking bahagianya. Abercio tahu, kemenangannya sangat berarti bagi Hanan. Pria itu selalu bangga pada setiap pencapaian yang Abercio dapat.

Senyum di wajah Abercio luntur saat matanya menatap figur yang tidak asing, Jiro ada di sana bersama dua orang perempuan yang terlihat tidak asing di mata Abercio. Entahlah, dirinya merasa pernah melihat mereka tapi Abercio lupa bagaimana detailnya. Yang pasti jantungnya berdegup dengan sangat cepat ketika tiga orang itu mempersempit jarak diantara mereka.

Hingga kini Abercio berada tepat di hadapan Jiro, menatap satu sama lain dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

“Kak Abercio! Congratulations for your winning in this competition!” Hazel tersenyum dengan lebar, menyodorkan sebuah buket bunga yang sudah disiapkannya sejak pertandingan belum mulai.

Hazel sengaja membeli bunga itu khusus untuk Abercio, Athlet kesayangannya. Dia tidak memikirkan apa hasil yang didapatkan Abercio nantinya, yang pasti dia akan tetap memberikan sebuket bunga ini pada Abercio.

Abercio menerimanya dengan senyuman yang begitu lebar. “Thank you. What's your name? Sorry kayaknya kita pernah ketemu, tapi aku lupa sama nama kamu,” Abercio bicara dengan tidak enak. Tidak biasanya dia seperti ini.

Hazel menggeleng dengan cepat. “It's okay, kak. Jangan minta maaf dan kita emang pernah ketemu. Saat itu kakak kenal nama aku tapi aku ngerti kalau sekarang kakak lupa, nama aku Hazel dan ini kakak aku, Jiro. Kakak pasti kenal, kan?” Hazel menunjuk Jiro yang sedari tadi hanya diam menatap interaksi keduanya.

Sedangkan Abercio terkejut mendengar ucapan Hazel. “Jiro ini kakak kamu, Hazel?” Abercio bertanya lagi, memastikan rungunya tidak salah mendengar ucapan Hazel barusan.

“Iya kak Cio, Jiro ini kakak aku. Kakak kandung aku,” Hazel menjawab dengan begitu yakin. “Kenapa, Kak? Kakak kaget ya? Huhu maafin aku yang gak tau tempat pas ngenalin Kak Jiro ke kakak.”

“Gak papa Hazel, kamu gak salah.” Mendadak Abercio salah tingkah, terlebih lagi saat Jiro terus menatapnya dengan raut muka datar. Salahnya sendiri yang terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Lagipula untuk apa Abercio tidak suka melihat kedekatan Jiro dengan orang lain? Benar kata Hanan, tidak ada status jelas diantara mereka, harusnya Abercio tidak melewati batas yang ada. Bodoh sekali dirinya marah hanya karena satu postingan Jiro, bodoh sekali dia marah hanya karena melihat Jiro pergi bersama adiknya sendiri.

“Abercio, how are you?” Jiro bertanya, mampu membuat lamunan Abercio buyar.

I'm fine. How about you Jiro?”

I'm fine too. I'm grateful to see you here and congratulations for your winning,” Jiro bicara.

“Tunggu-tunggu, kenapa kalian berdua kelihatan akrab?” Hazel bertanya. Kembali menyusun semua puzzle soal kedekatan keduanya yang tersebar di twitter. Hazel sebenarnya ingin bertanya pada Jiro soal rumor yang beberapa hari lalu tersebar tapi dia tidak mau Jiro marah hanya karena dirinya yang terlalu percaya rumor. Karena itulah Hazel menelan kembali semua pertanyaannya.

“Kakak belum cerita sama kamu, ya? Kakak udah kenal sama Abercio dari beberapa hari yang lalu dan semua rumor yang tersebar di internet itu bener.”

Wait! Jadi kalian pergi ke gym bareng, terus Kak Jiro nonton latihannya Kak Cio? For real?!” Abercio dan Jiro mengangguk bersamaan. Sedangkan Hazel terlihat sangat bahagia mendengar kabar ini.

“Oh jadi temen yang Kallea sama Savero maksud itu, Jiro? Iya, Abercio?” Hanan bertanya.

“I-iya,” jawab Abercio gugup, sudah terlampau tahu Hanan akan marah karena lagi-lagi Abercio tidak memberitahunya soal ini. Maka Hanan segera mengejar Abercio yang sudah lebih dahulu berlari menghindarinya.

Gara yang ada di sana mendekat ke arah Jiro lalu merangkul sahabatnya. “Pacar gue sama calon pacar lo deket banget, ya?” Gara memulai, masih menatap Hanan yang setia mengejar Abercio.

“Iya, mereka lucu banget.”

Next time kita harus double date.”

© kmvdoots

Kaos hitam, celana training, topi hitam dan memakai sebuah masker, kala Cio selesai memastikan apa yang Jiro kenakan, saat itu juga matanya mengedar mencari di mana keberadaan pria itu. Baru satu langkah dia maju, tangannya sudah ditahan. Sontak Cio berbalik dan menghela nafas lega kala melihat Jiro-lah si pelaku.

Why do you look so worried, Abercio?

Sebelum menjawab, Cio menyempatkan diri melihat kebelakang. Masih melihat pria berjaket hitam yang sebelumnya mengikuti dia. Rasa panik itu bertambah kala mereka hampir saja bertukar pandang. Buru-buru Cio mendekat ke arah Jiro lalu memeluk lengannya dengan kuat.

Deja Vu

Jiro merasakan hal ini lagi. Jantungnya kembali berdegup kencang persis seperti pertama kali mereka bertemu, tapi Cio sama sekali tidak menyadari. Rasa takutnya terlampau lebih besar.

Can you help me, Jiro?” Abercio bicara pelan, takut pria berjaket hitam dapat mendengarnya.

Why? Something happened to you?” Mendadak Jiro panik, melihat seluruh tubuh Cio dan memastikan tidak ada luka atau noda darah di bajunya.

Abercio mengangguk dengan cepat. “Cowok di belakang, yang pake jaket hitam, He keeps following me. Even when I left the cafe, he still followed me.” Abercio menjelaskan.

Jiro membulatkan matanya, “That's why you walked in a hurry when you came out of the cafe?” Cio lagi-lagi mengangguk. “Okay, how about now you get in my car? I will bring you back to your hotel.” Jiro menawarkan karena sejujurnya dia juga bingung mau membawa Abercio ke mana. Ini pertemuan yang tidak disengaja, jadi dirinya tidak sempat mempersiapkan apa-apa.

You don't feel bothered because of me?” Cio balik bertanya saat Jiro mulai menariknya menuju tempat di mana dirinya memarkiran mobil.

No. Gue gak merasa kerepotan sama sekali, Cio,” jawabnya. Pria itu membuka pintu mobil dan mempersilahkan Abercio masuk.

Abercio menurut, dia masuk disusul dengan Jiro yang membuka pintu mobil sebelah. “Cio, sebentar ya? I will buy some coffee.” Setelah Cio mengangguk Jiro segera pergi, tidak lupa mengunci pintu mobil, khawatir pria berjaket hitam itu kembali datang.

Cio ikut khawatir, matanya melihat ke kanan dan ke kiri, waspada barangkali ada hal mencurigakan di sekitarnya. Tapi Cio tidak melihat laki-laki berjaket hitam itu, sejak dirinya dibawa Jiro, saat itu juga pria berjaket hitam ikut menghilang entah ke mana. Seolah hadirnya Jiro benar-benar berhasil membuatnya takut.

Cio kembali memikirkan betapa bodoh dirinya kala sedang dihantui rasa panik, terbukti dengan sekarang dia yang sudah berada di dalam mobil Jiro, orang yang dengan jelas dia permalukan di acara variety show agensinya. Kenapa Cio baru sadar sekarang? Sebenarnya dia bersyukur bisa bertemu dengan Jiro, setidaknya pria itu bisa menolongnya dari pria berjaket hitam. Tapi setelah dipikir lagi, Cio bingung harus melakukan apa setelahnya bersama Jiro.

Maksudnya, mereka harus pergi ke mana? Tidak mungkin, kan Cio hanya minta diantarkan ke hotel? Setidaknya dia harus merasa berterimakasih dan membalas perlakuan baik yang sudah Jiro berikan.

Pintu kemudi terbuka, Jiro masuk membawa dua kopi. Memberikan yang satunya pada Cio. “Gue beliin lo cappucino. Gue gak tau lo suka cappucino atau enggak, tapi gue yakin lo gak suka americano.” Ucap pria itu mulai menyalakan mesin mobil lalu membawanya pergi dari sana.

Abercio tersenyum, menyeruput sedikit cappucino yang Jiro belikan. “Lo bener. Kalau disuruh milih americano atau cappucino, gue pasti pilih cappucino,” jawabnya yang membuat senyum bangga muncul di wajah sang kiper.

“Oh iya, gue mau minta maaf perihal cityzen yang kemarin berbuat enggak sopan sama lo, ya?” itu Jiro yang bicara. Rasa bersalahnya masih ada, terlebih lagi karena komentar yang fans-nya berikan benar-benar kasar. Dia takut Cio merasa tidak nyaman.

It's okay, Jiro.” Jantung Jiro berdegup lebih cepat kala tangan Abercio menyentuh lengannya yang dipenuhi tattoo. Entah sengaja atau tidak, tapi Cio berhasil membuat pipi sang kiper memerah. “Harusnya gue yang minta maaf, gue beneran gak tau nama lo padahal gue pernah liat pertandingan lo,” Cio menjelaskan. Mengingat kembali momen di mana dirinya dan Hanan menghabiskan banyak waktu di Manchester.

Saat itu mereka sangat bahagia, keduanya menghabiskan banyak waktu bersama, jalan bersama, Shopping bersama, menonton film bersama. Sayang sekali, Cio dan Hanan tidak bisa melakukan hal itu setiap hari, satu kali seminggu pun mereka masih tidak bisa dikarenakan kesibukan yang dimiliki satu sama lain. Hanan adalah satu-satunya kawan yang dimiliki Cio, keduanya sama-sama saling menyayangi.

“Oh iya,” Abercio teringat suatu hal. “Kenapa lo bilang 'Welcome to Manchester.' di DM? Ini bukan kali pertamanya gue ke sini, Jiro.” Dirinya membahas satu hal yang berhasil menghantui otaknya saat membaca direct massage dari Jiro.

Jiro tersenyum lalu mengangkat bahunya. “Emang ucapan 'Welcome' cuma berlaku buat mereka yang baru pertama kali datang ke Manchester? Yang balik lagi ke sini juga berhak, kan? Kata 'Welcome' digunakan buat menyambut, kan? Am I wrong?” Jiro balik bertanya.

Abercio mengangguk, menyetujui ucapan Jiro yang memang benar. Sedetik kemudian dia merasa dirinya sangat bodoh karena menanyakan hal yang tidak masuk akal, sudah jelas kata 'Welcome' itu memiliki makna luas, kenapa pula Abercio dengan bodohnya mengajukan pertanyaan seperti itu pada Jiro.

Abercio, how do I take you back to the hotel if I don't know your hotel address,” Jiro mengingatkan.

“Oh iya Sorry, gue lupa. Bentar gue cari di maps dulu, nanti gue tuntun jalannya.“Setelah itu mereka berdua sama-sama sibuk mencari di mana letak hotel Cio.

Saat keduanya sampai di hotel yang Cio tempati, saat itu juga Cio menarik Jiro keluar mobil dengan paksa. “Abercio?” Jiro jelas bingung, kenapa pula Abercio menariknya seperti itu.

“Lo mau makan, gak? Di depan sana ada restoran enak banget! Gue pernah makan di sana bareng yang lain.”

Jiro tersenyum dengan begitu manis. “I've stayed and tried the food in this hotel, Abercio.” Sontak Abercio terdiam. Lagi-lagi merasa bodoh. “Jangan bilang lo ajak gue makan sebagai bentuk terimakasih?” Jiro bertanya.

Tepat sasaran sekali, Abercio ketahuan. “Iya … gue sebenernya mau balas perbuatan baik lo. Lo udah bantuin gue pergi dari pria jaket hitam yang tadi ngikutin gue,” jawabnya.

I just want your number. Can I get it?

© kmvdoots

Selesai memposting foto makanannya ke snapgram Abercio kembali fokus memasukkan beberapa suap kue ke dalam mulut. Rasanya enak, Abercio suka. Jika dirinya tidak menerima ajakan Hanan untuk pergi ke Manchester mungkin Abercio tidak bisa menyantap kue seenak ini.

Sebenarnya ada banyak alasan mengapa Abercio selalu menolak ajakan Hanan. Pertama karena dia memang tipe orang yang suka menghabiskan waktu luangnya untuk tidur, anggaplah Abercio introvert, tapi latihan yang hampir dilakukan setiap hari membuatnya selalu merasakan lelah. Maka ketika dirinya mendapatkan waktu luang, Abercio memanfaatkannya untuk beristirahat.

Alasan kedua karena Abercio malas mengikuti hobi Hanan yang sama sekali tidak dirinya ketahui. Soal sepakbola? Abercio pernah mendengar kata itu, namun dirinya tidak tertarik. Terlalu banyak peraturan, terlalu banyak pemain, terlalu banyak pelanggaran, membuat Abercio malas mengetahui lebih jauh tentang sepakbola.

Untuk alasan yang terakhir mungkin tidak terlalu masuk akal, yaitu soal dirinya yang takut bertemu dengan sang mantan. Keenan namanya dan sekarang pria itu tinggal di Manchester, kota yang sedang Abercio pijaki. Abercio akui Manchester memang besar, kemungkinan dirinya bertemu dengan Keenan sangatlah sedikit. Masalahnya Keenan sama seperti Hanan, mereka seorang Cityzen, mereka menyukai klub bola yang sama dan kemungkinan Keenan datang ke Etihad Stadium sangatlah besar.

Abercio menghela nafas, mengedarkan pandangan, menatap pengunjung lain yang ada di restoran ini. Hanan bilang restoran yang sedang ditempatinya ini sangatlah terkenal, banyak menu makanan yang menjadi idaman khalayak ramai. Tapi ada satu hal yang membuat Abercio bingung, kenapa suasananya tidak seramai yang Abercio pikirkan?

Matanya membulat kala melihat sosok tidak asing di depan sana, Abercio dengan cepat mengalihkan pandangan saat dua netra mereka bertemu. “Shit! ini yang gue takutin,” gerutunya dengan cepat meraih ponsel di saku lalu mengirim pesan pada Hanan, mencoba meminta pertolongan.

“Hanan buruan bales astaga, gue gak mau diajak ngobrol sama Keenan,” Abercio terus mengulang kata itu. Berharap Hanan segera membalas pesannya.

Tapi nihil, Hanan tidak membalas. Rasa paniknya kian bertambah saat Keenan berdiri dan mengambil langkah mendekat. Abercio buru-buru berdiri, membawa semua barangnya pergi menuju toilet berharap Keenan berhenti mengikutinya. Tapi tampaknya takdir tidak sedang berpihak pada Abercio, Keenan masih mengikuti.

Sampai akhirnya satu ide gila muncul di otak Abercio. Pria itu dengan cepat menarik tangan seseorang yang baru saja keluar dari toilet, merangkul lengan penuh tato itu dengan kuat. Matanya masih menatap Keenan yang nampak masih mendekat.

Please jangan liat gue, pergi sana hush … hush!” mulutnya merapal.

Detik itu juga Keenan menghentikan langkah, pria itu berbalik lalu segera pergi saat ada sebuah suara yang memanggil namanya. Abercio menghela nafas lega, kemudian menatap pria yang baru saja dia gandeng tangannya. Meringis malu saat pria itu menatap penuh tanya ke arah Abercio.

Sorry for making you confused, but thank you so much, Sir,” dengan cepat Abercio pergi, tidak mau menatap wajah pria itu lagi, dia terlampau malu.

Tapi Abercio bersyukur, setidaknya dia tidak harus bertemu dengan Keenan. Abercio sungguh tidak mau berurusan dengan pria itu lagi.

© kmvdoots


Kakinya melangkah cepat memasuki bandara yang tampak ramai hari ini. Ada Jendra di belakang yang masih setia mengekori sang kekasih. Agaknya Rendika begitu terburu-buru menemui sahabat SMP yang katanya mau berangkat ke Amerika hari ini.

Cemburu? Oh tentu saja iya.

Hanya saja, Jendra mencoba memaklumi. Rendika dan Rafan sudah lebih dulu bertemu dibanding dengan dirinya. Rafan juga salah satu teman yang selalu ada di samping Rendika kala pria itu melewati masa sulit SMP-nya. Cemburu boleh, tapi jangan sampai membuat Rendika kesal.

Toh, hati Rendika sekarang hanya untuknya. Walaupun ada sedikit ragu di hati Jendra.

“Rafan!” Rendika berteriak kala netranya menatap Rafan berada tepat di samping pria paruh baya yang Jendra yakini adalah ayah pria itu.

Rendika bergerak mendekat, lalu memeluk Rafan. Melupakan Jendra yang kini lebih memilih diam di tempat. Iya, Jendra sedang bersusah payah mengendalikan rasa cemburunya.

Hanya sebuah pelukan, mereka tidak akan jatuh cinta. Berkali-kali Jendra mengucapkan satu mantra itu di dalam hati. Berharap emosinya berhasil diredam.

“Rendika, kenapa gak kabarin gue kalau Lo mau ke sini?” Rafan bertanya saat pelukan itu masih terjalin. Tangannya terulur membalas pelukan Rendika, lalu bergerak lembut mengelus punggung Rendika.

Bugh!

Satu pukulan melayang tepat setelah pelukan mereka terlepas. Mata Rendika memicing. “Kenapa Lo gak kasih gue kabar? Lo berangkat sekarang, tapi Lo gak ada kasih tau gue? Gue kesel banget sama Lo! Kalau aja Raka gak bilang hari ini Lo pergi, mungkin gue gak akan tau kalau Lo udah gak ada di Indonesia.” Omel Rendika.

Hal itu mampu membuat tawa Rafan keluar. “Kenapa sih? Marah banget kayanya?” Rendika tidak menjawab. “Gue sengaja gak kasih tau Lo, karena gue gak mau liat Lo sebelum gue pergi. Takutnya gue malah mohon sama Papah buat tetep stay.” Rafan menengok ke arah Papahnya yang diam-diam menyunggingkan senyum melihat interaksi sang anak dengan kawan lamanya.

Pria itu kemudian mendekat pada Rendika, “Lo tau sendiri, gue masih sayang sama Lo Rendika.” Bisiknya tepat di telinga Rendika.

Semua yang Rafan lakukan, jelas dilihat oleh Jendra. Agak kesal, tapi tidak apa-apa. Setelah ini Rendika tidak akan bertemu Rafan lagi, Jendra akan memastikan hal itu.

“Ngapain bisik-bisik? Kalian ngomongin Papah?” Pria paruh baya itu bicara, sukses mendapat respon tawa dari kedua orang yang ditegurnya. “Oh iya, Rendika apa kabar? Om gak liat kamu main ke rumah Rafan, kamu sibuk?” Tanya pria itu pada Rendika.

“Lumayan om, hehe.” Balas Rendika canggung. Tidak bertemu begitu lama dengan ayah Rafan, membuat ada kecanggungan yang muncul. Padahal dulunya Rendika sangat dekat dengan ayah Rafan.

Mata pria paruh baya itu menatap ke arah Jendra yang kini berjalan mendekat. “Oh, dia siapa? Teman kamu?” Tanya pria itu, bukan pada Rendika, melainkan pada Rafan.

Rafan menggeleng. “Bukan Pah, dia bukan temen Rafan. Tapi dia tunangan Rendika.”

“Loh, Rendika punya tunangan? Padahal om sempet mikir mau jodohin kamu sama Rafan. Om telat ya?”

-

Siang ini matahari bersinar sangat terang. Hanya saja, angin yang berhembus juga tak kalah bersaing. Panas yang dihasilkan oleh sang matahari, berhasil diredam oleh sang angin. Hamparan hijau di depan mereka cukup membuat dua pria itu betah diam tanpa banyak bicara. Asik menikmati waktu di sana.

Perbatasan, adalah tempat favorit keduanya.

Sedari tadi, mereka tidak banyak bicara. Hanya diam. Tapi mereka tidak merasa terusik sama sekali dengan keheningan itu.

Tiba-tiba saja, kejadian beberapa jam lalu berputar kembali di otak Rendika. Di mana mobil Pajero milik Jendra yang mendadak kehabisan bensin membuatnya rela berjalan kaki bersama sang pacar menuju pom bensin demi membeli bahan bakar untuk mobil itu.

Rendika sempat merutuk, tapi keterdiaman Jendra membuatnya ikut diam. Aneh, ada yang salah?

“Lo bilang mau beliin gue yupi.” Akhirnya Rendika buka suara. Keterdiaman Jendra menganggu pikirannya.

Ada jeda 5 detik sebelum pria di sampingnya merespon dengan nada ketus. “Kenapa gak minta sama Rafan?” Kedua alis Rendika sontak terangkat. “Kenapa gak sekalian jadian sama Rafan? Papahnya juga berharap Lo jadi pasangan Rafan.”

Sudut bibir Rendika tertarik mendengar setiap kata yang keluar dari bibir tunangannya. Jadi, Jendra cemburu? Kenapa Rendika tidak sadar? Oh! Apa ini adalah salah satu penyebab kenapa Jendra terus diam sejak tadi?

“Lo cemburu?”

“Jangan terlalu percaya diri.”

Kupu-kupu serasa berterbangan di perut Rendika. Mendapati Jendra yang cemburuan seperti ini agaknya membuat Rendika 'sedikit' bahagia? Tidak, tidak! Rendika hanya senang, itu artinya Jendra sangat mencintainya.

“Papahnya Rafan cuma bercanda, Lo gak usah cemburu. Lagian sekarang gue masih ada di samping Lo kan?” Rendika berucap, selembut mungkin. Walaupun dia bahagia melihat Jendra cemburu, tapi Rendika juga tau, bagaimana tidak enaknya saat kita berada di fase cemburu.

Jendra mendengus, lalu turun dari atas kap mobil. Pria itu maju tiga langkah ke depan, tanpa berbalik, dia kembali bicara. “Gue gak suka jadi pencemburu kaya gini, gue udah susah payah buat nahan diri, tapi rasanya itu gak berhasil.” Jendra berucap, mampu membuat sebuah senyum terbit di wajah Rendika.

Pria itu ikut turun, lalu memeluk Jendra dari belakang. Melupakan fakta bahwa sekarang mereka berada tepat di samping jalan raya, tentunya pasti ada saja beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka. “Gue gak melarang Lo buat cemburu, Jendra.” Ucapnya, menempelkan kepala di bahu bidang sang kekasih.

Jendra menghela nafas, inginnya sih berbalik lalu membalas pelukan Rendika. Tapi sedikit emosi itu masih tersisa. “Gue mau Lo bahagia, tapi gue gak bisa nahan kecemburuan gue lebih lama. It's wrong that I'm jealous?

No. Lo gak salah. Lo berhak cemburu. Because you're my fiancé, Jendra.” Balas Rendika.

Jendra berbalik. “You're mine too.”

Rendika tersenyum. “Yes, I'm yours.”

Lalu keduanya berpelukan. Dapat Rendika dengar degup jantung Jendra begitu cepat. Entah kenapa hal itu justru membuat Rendika tersenyum. Mungkin mendengar degup jantung Jendra adalah favoritnya mulai sekarang? Sedangkan Jendra, agaknya dia sudah mulai tenang. Rendika miliknya, hanya miliknya seorang. Pria itu sendiri yang mengatakannya.

“Rendika?”

“Hm?”

I said I will buy yupi for you. Want to try your yupi?” Tanya Jendra membuat pelukan itu terlepas.

Ada raut bingung di sana. “Seinget gue, Lo gak berhenti di minimarket. Di mobil juga gue gak ada liat yupi.”

Jendra mendekat. Pria itu memberikan kecupan kilat di bibir Rendika. “This your yupi, Rendika.” Ucapnya sambil menekan bibir tipis itu.

Jelas saja pipi Rendika memerah, Jendra sangat hebat membuatnya salah tingkah. “Dasar!”

Jendra tertawa, “mau ciuman sama gue?”

Mata Rendika membulat sempurna. “Lo gila? Kita ada di samping jalan, bodoh! Lo mau dikira berbuat mesum di pinggir jalan?”

“Kenapa enggak? Kan berbuat mesumnya sama tunangan sendiri.”

Setelah mengatakan hal itu, Jendra dengan cepat menarik tengkuk Rendika. Ciuman itu mulai terjalin. Jelas Rendika terkejut, tapi pria itu tetap mengalungkan tangan di leher Jendra. Keduanya bergerak ke kanan kiri guna memperdalam ciuman. Rendika meremas rambut Jendra sebagai pelampiasan.

Ciuman mereka, terlihat sangat lembut. Baik jendra maupun Rendika, keduanya tidak mau terbawa nafsu. Mereka hanya ingin menunjukkan betapa sayangnya mereka terhadap satu sama lain. Bahkan mereka melupakan fakta bahwa sekarang mereka ada di samping jalan.

Pasangan bucin yang berciuman di samping jalan. Siapa yang bisa melakukannya? Jendika jawabannya.

Tangan Jendra turun, meraih pinggul Rendika. Dengan mudah pria itu mengangkat tubuh sang kekasih hingga sekarang Rendika berada dalam pelukannya, melingkarkan kedua kaki di pinggang Jendra. Agak mesum, tapi mereka tidak peduli. Ciuman itu terlepas. Jendra menghapus jejak saliva di dagu Rendika, lalu memberikan satu kecupan manis di bibir tebal sang kekasih.

Kakinya melangkah membawa tubuh Rendika mendekat ke arah mobil, lalu mendudukkannya di kursi penumpang. “I love you, i really love you fiancé.” Ucap Jendra. Seulas senyum muncul di wajah manis fiancé-nya.

I love you too, Jendra.” Balas Rendika.

Jendra kembali memulai ciuman, kali ini bukan hanya ciuman lembut, tapi ada nafsu di sana. Rendika membalas ciuman itu dengan susah payah. Tangannya meremas kaus yang Jendra kenakan saat kepalanya tak sengaja menabrak dashboard mobil. Jendra tidak perduli, dia menahan tengkuk Rendika dan menariknya agar ciuman itu semakin dalam.

Rendika mulai menikmati ciuman itu, saat Jendra menggigit bibir bawahnya, saat itulah dengan mudah Rendika membuka mulutnya, membiarkan benda tidak bertulang milik Jendra masuk mengajak lidahnya bertarung.

Tak tinggal diam, Jendra mulai memasukkan tangannya ke dalam baju sang kekasih. Lalu dengan lihai, dirinya mulai memilin puting tegang milik Rendika. Jendra menggeram saat kaki Rendika tidak sengaja menendang pusat tubuhnya.

Ciuman itu terlepas, keduanya sama-sama kacau. Ada tatapan penuh nafsu yang Jendra tunjukkan. Tapi pria itu segera buang muka dan turun dari mobil.

Rendika menyusul setelah membenarkan pakaiannya. Lalu memeluk Jendra dari belakang. Pria yang berusia lebih tua satu tahun dari Jendra itu mulai memejamkan mata, meletakkan kepala di bahu sang kekasih.

“Makasih ya? Lo udah bertahan sejauh ini buat gue.” Rendika berucap.

“Bertahan?”

“Lo gak mau nyakitin gue, makannya Lo selalu berhenti setelah kita ciuman. Gue tau Lo juga punya nafsu. Tapi kalau Lo mau, gue bisa kasih apa yang Lo mau.”

“Rendi—”

“Gak usah banyak protes. Lo bebas lakuin apapun sama gue, gue gak akan nolak karena gue sekarang sepenuhnya milik Lo Jendra.”

Jantung Jendra berdegup dengan sangat cepat. Dia bahkan membiarkan tangan Rendika yang mulai turun menuju pusat tubuhnya. Dengan sengaja, pria itu memberikan elusan di sana. Cukup membuat Jendra mendesis.

“Rendika, Lo gak lupa kita masih ada di samping jalan?”

“Kalau Lo mau gue kasih blowjob di sini pun, bakalan gue lakuin.”

Shit!”

I'm all yours Mr. Arkatama.”

“Sinting. Gue sayang banget sama Lo, Rendika.”

Jendra berbalik lalu membawa Rendika masuk ke dalam sebuah pelukan. Menenggelamkan tubuh itu dalam dekapannya. Tak lupa memberikan kecupan-kecupan manis di pucuk kepala sang kekasih.

Siapa yang mengira kisah cinta mereka akan berakhir seperti ini? Nyatanya, apapun yang terjadi, Jendra akan tetap dan selalu mencintai Rendikanya. Begitu juga sebaliknya, Rendika tidak mungkin mau kehilangan Jendranya.

Yang awalnya musuh, bisa menjadi orang paling spesial. Iya, Jendra dan Rendika sudah membuktikan itu. Setelahnya, mereka hanya perlu meningkatan rasa percaya terhadap satu sama lain. Begitu juga dengan komunikasi. Karena jika mereka tidak percaya satu sama lain, bagaimana hubungan mereka akan terjalin?

Tujuan mereka sekarang hanya satu, yaitu kebahagiaan.

Enemies to lovers only need happy ending. Jendra and Rendika, they need happiness.


“Gue kesel banget sama Lo!” Ucap Rendika kala keduanya baru saja mendudukkan diri di kursi panjang.

Jendra terkekeh, “gue tau kok kesel Lo gak akan lama.” Paparnya.

Rendika berdecak kesal. “Kalau gak punya tujuan yang jelas, gak usah ajak gue ngedate!” Semprotnya yang kesal setengah mati. “Gila banget buat gue nunggu di tempat pencucian motor kaya gini.”

Ya memang benar, mereka sekarang berada di tempat cuci motor. Alasannya? Karena Jendra tidak tau mau mengajak Rendika pergi ke mana. Saat matanya menangkap adanya tempat pencucian motor, tanpa basa-basi Jendra segera menghentikan motornya di sana. Membiarkan motor milik Rendika dicuci bersih.

“Gak usah ngambek gitu.” Bujuknya. “Coba deh inget-inget lagi, ada gak yang ajak Lo ke tempat cuci motor kaya gini? Gak ada kan? Ini first time Lo kencan ke sini. So, Lo gak boleh komentar dan nikmati aja waktu sama gue.” Lanjutnya.

Rendika menghela nafas, tak mau membalas. Tak habis pikir dengan kelakuan Jendra yang diluar batas. Iya, Rendika tidak pernah menyangka dia harus melewati semua moment unik ini bersama tunangannya. Jika Rendika bisa, dia ingin sekali menendang perut Jendra. Melampiaskan rasa kesalnya.

Jendra tiba-tiba saja berdiri, “bentar ya gue cari minuman dulu.”

Rendika tidak menanggapi, tapi Jendra segera melangkah pergi. Bodo amat dengan apa yang akan dilakukan Jendra, mood Rendika sudah rusak. Tadi saja dia senang ketika Jendra membelikannya banyak makanan.

Tapi agaknya Rendika cukup senang hari ini, dia mengetahui satu fakta baru tentang Jendra. Pria itu ternyata tidak terlalu suka makanan pedas, pantas saja Rendika tidak pernah melihat Jendra memasak makanan pedas. Nyatanya, Jendra memanglah anak baik. Dia menghindari makanan pedas karena menuruti keinginan bunda. Bunda pernah bilang padanya agar mengurangi makan-makanan pedas karena itu tidak baik untuk tubuh.

Alhasil, Jendra selalu menghindari makanan pedas.

Rendika menajamkan penglihatannya saat ada kerumunan yang tak jauh dari tempatnya duduk, entah kenapa Rendika mendadak tertarik dan ingin tahu ada apa di sana. Pria itupun berdiri, lalu melangkah mendekat.

Sampai di sana, Rendika dapat melihat ada sekitar 17 kandang burung. Ke-17 burung itu bersuara, menunjukkan betapa bagusnya suara yang dimiliki. Rendika tersenyum, pertunjukan kecil seperti ini saja berhasil membuat mood-nya kembali bagus. Burung-burung itu tidak hanya memiliki suara yang indah, tapi warna bulunya juga sangat indah.

“Sejak kapan tunangan gue suka adu burung?” Suara bisikan yang tak asing masuk ke rungunya.

Rendika berdecak, “Lo gangguin gue terus sih. Udah sana tungguin motor kita yang lagi dicuci, jangan ke sini.”

Jendra hanya tertawa. Sebenarnya dia sudah ada niatan membawa Rendika menonton adu burung yang ada di sini, tapi dia urungkan. Jendra hanya takut Rendika tidak suka. Tapi nyatanya? Pria itu sangat suka. Harusnya Jendra membawanya sejak tadi.

“Tau gak? Burung yang menang bisa dibeli pake mobil.”

“Hah?” Rendika membalikkan badannya. “Dibeli pake mobil? Maksud Lo mobil yang ada di sini bakal dituker sama burung?”

Jendra mengangguk, “iya.” Pria itu menggenggam tangan Rendika, lalu membawanya keluar dari kerumunan. “Adu burung ini agak mirip sama judi.” Tambahnya.

“Judi?”

“Iya. Mirip sama Lo yang taruhan pas balapan. Di sini memang selalu kaya gitu. Udah biasa. Pas juri selesai pilih pemenang, beberapa orang bakalan maju buat beli burungnya pake harta yang mereka punya. Nah, yang paling sering itu ditukar sama mobil.” Jelasnya.

Rendika manggut-manggut mengerti. “Gampang banget cari duit.”

“Eits! Gak segampang itu, sayang.” Respon Jendra. “Burung juga perlu dilatih supaya bisa ngeluarin suara yang bagus. Dan ngelatih burung, bukan pekerjaan yang mudah.”

-

Jendra dan Rendika sudah kembali berada di atas motor, Jendra membawa Rendika entah ke mana. Tapi Rendika tidak banyak bicara karena dia juga menikmati angin yang sedari tadi menabrak wajahnya. Iya, Rendika hanya butuh ketenangan.

“Eh, ada Teh Nia.” Kelopak mata Rendika terbuka, ternyata Jendra sudah membawa motor mereka menepi.

Alis Rendika menukik tajam. “Teh Nia? Siapa? Lo selingkuh?” Serbunya.

Jendra terkekeh, lalu melepas helm-nya. “Jangan nethink terus, coba liat ke depan.”

Rendika mengikuti instruksi Jendra dan melihat ke depan, pemuda itu berdecak kala melihat tulisan 'Teh Nia'. “Lo nyebelin banget.”

“Makannya, jangan gampang cemburu.” Balas Jendra, lalu pemuda itu turun dari motor. “Mau pesen gak?”

“Emang enak?”

“Enak. Gue pesenin ya?” Akhirnya Jendra pergi, memesan dua gelas Teh Nia yang mereka temui di samping jalan.

Tak lama kemudian Jendra kembali membawa dua Teh Nia di tangan. “Nih, cobain.”

Rendika menerimanya dengan senang hati lalu mulai menyedot cairan berwarna coklat yang diberi nama 'Teh Nia' itu. “Enak.” Responnya.

“Iya, emang enak. Manis banget kan?”

“Enggak kok, gak terlalu manis.”

“Serius? Pantesan Teh Nia gue lebih manis, kan gue minumnya sambil liatin wajah Lo.”

Bug

Rendika memukul Jendra. “Dasar buaya darat!”

Jendra tak merespon, pria itu hanya tertawa. Bahagia sekali dia bisa membuat pipi Rendika memerah. Sangat lucu. Suka sekali Jendra melihatnya.

“Tapi gue heran deh, kenapa ya Teh ini dinamain Teh Nia?” Tanya Rendika karena dia memang penasaran. Ini kali pertamanya Rendika mencoba Teh Nia. Sebelumnya Rendika tidak pernah melihat ada orang yang menjual Teh Nia.

Jendra mengangkat bahunya, “mungkin karena nama penjualnya itu Nia?” Jawabnya asal.

-