⛸️ — 94 ; The Party.
Gemerlap lampu warna-warni menyambut Cio kala dirinya memijakkan kaki di rumah Jiro. Hazel tadi menjemputnya di depan, menunggu Cio datang lalu menggandeng tangannya. Cio sudah melarang Hazel untuk menjemputnya tapi perempuan yang berstatus sebagai adik Jiro itu terus keras kepala. Kini keduanya berjalan masuk dengan Hazel yang masih belum berhenti bicara pada Cio, perempuan itu menceritakan soal Jiro yang terlalu malas bangun dari kasur hingga mamahnya yang kesulitan memilih baju untuk dipakai malam ini.
Pesta yang digelar malam ini tidak terlalu formal, ada beberapa orang yang Cio yakini merupakan rekan bisnis keluarga Jiro. Mereka memakai baju yang sangat formal, yaitu jas dan celana kerja yang sangat rapi. Hazel sudah memberitahu Abercio bahwa dirinya tidak usah memakai pakaian formal, ini bukan pesta orang tuanya dan Hazel mengundang Cio sebagai salah satu kawan baik Jiro.
Hazel membawanya sampai berada tepat di hadapan empat orang berbaju formal yang sedang bicara dengan senyum lebar di wajah. Ketika dua orang yang lain pergi, atensi dua lainnya segera teralih pada Hazel dan Cio.
“Mom, kenalin. Ini Kak Abercio, temennya kak Jiro yang pernah aku ceritain ke Mamah.”
Saat perempuan paruh baya itu menatap Cio, saat itu juga Cio buru-buru tersenyum. Menerima uluran tangan perempuan yang Cio yakini merupakan orang tua Jiro.
“Halo Abercio, Hazel sering banget ceritain kamu ke Tante.”
“Dia ini fans berat kamu Abercio,” pria paruh baya yang ada di samping mamah Jiro menambahi.
“Iya Om, Tante, aku sering banget liat Hazel kasih support ke aku. Entah lewat sosial media atau secara langsung dan aku beruntung banget punya fans seperti Hazel.”
“Kamu gak merasa terganggu kan, sama keberadaan Hazel? Soalnya dia ini terlalu berlebihan, Tante takut kamu enggak nyaman.”
“Mamah apaan deh, tadi Kak Abercio udah bilang sendiri kalau dia beruntung punya fans kayak aku,” Hazel segera buka suara. Tidak suka dengan pertanyaan mamahnya.
“Ya lagian kamu tuh exited banget kalo ada sesuatu yang berhubungan sama Abercio.”
“Itu namanya real fans, Pah.”
Ketiganya tertawa mendengar jawaban Hazel. Setelah berbicara beberapa topik, Hazel memutuskan membawa Cio ke tempat lain karena dia merasa sudah cukup mengenalkan Cio pada kedua orang tuanya.
Saat Cio masuk ruangan lain, dia merasakan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Musik berdentum dengan keras, beberapa minuman beralkohol berjejer rapih di samping deretan kue dan makanan lainnya. Banyak orang berlalu lalang bahkan Cio bisa melihat kerumunan orang yang sedang berada di samping kolam renang. Mereka kompak mengangkat tubuh salah satu orang dan melemparkannya ke dalam air, sorakan dan tepuk tangan terdengar setelah itu.
“Ini tempat khusus buat temen-temennya kak Jiro,” Hazel menjelaskan, masih menuntun Cio berjalan melewati beberapa pasang mata yang kini menatap ke arah mereka. “Sebenernya aku gak boleh gabung ke sini tapi karena aku mau nemenin Kak Abercio, mamah sama papah akhirnya kasih aku izin.”
Mata Cio mengedar, dia dapat melihat ada Gara yang sedang duduk bersama beberapa orang. Menuang minuman ke botol kawannya lalu meminumnya bersamaan. “Kamu sengaja ajak Kakak supaya bisa masuk ke sini?” Abercio bertanya pada Hazel. Dia sudah berhenti memindai ruangan dan mengalihkan tatapan pada Hazel.
“Enggak kok, Kak! Aku sengaja bawa Kakak ke sini supaya Kakak bisa ketemu kak Jiro dan baikan. Jujur aku gak suka liat kak Jiro galau terus.”
Abercio mengangguk mengerti. Kemudian telunjuk Hazel menunjuk ke suatu tempat, dia mengatakan bahwa Jiro ada di sana. Saat Cio menemukan postur tegap Jiro, saat itu pula pria yang berstatus sebagai penjaga gawang itu membalikkan badan. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat. Dengan cepat Cio mengalihkan pandangan, sudah dibilang Jiro tidak akan suka dengan kehadirannya di tempat ini. Harusnya Cio tidak pernah menapakkan kaki di sini, tidak berdiri bersama Hazel, dan tidak menunjukkan wajahnya di depan Jiro.
Di sisi lain, Jiro yang awalnya sedang berbincang dengan beberapa kawan lamanya terkejut saat melihat Cio duduk bersama Hazel. Mereka sempat berpandangan selama beberapa detik sebelum Cio dengan cepat melihat ke arah lain.
Pria itu tetap terlihat menawan dengan cardigan Navy blue yang dipakainya malam ini. Kaki Jiro bergerak maju, hingga kini dirinya berada tepat di belakang Cio yang sedang berbicara dengan Hazel. Dua orang itu masih belum menyadari keberadaannya. Dari dekat Jiro dapat melihat LV necklace yang terpasang di leher mulus Cio. Senyumnya melebar mengingat saat di mana mereka membeli kalung itu bersama di Manchester.
Jiro dapat mengingat dengan jelas bagaimana bahagianya Cio saat melihat kalung itu. Tidak ada yang spesial tapi Cio mengatakan pernah melihat kalung itu di sosial media dan dia tidak sempat membelinya karena terlalu sibuk. Saat Jiro hendak membayar kalung itu, Cio melarang. Pria itu berkata dia ingin membeli kalung impiannya menggunakan uang sendiri. Sekarang Jiro menyesal. Harusnya dia memaksa untuk membayarnya, setidaknya dia akan merasa senang ketika melihat Cio datang ke rumahnya menggunakan kalung yang dia beli.
“Kak Jiro!” Hazel yang nampaknya sudah menyadari keberadaan Jiro segera memanggil. Membuat Cio membalikkan badan, dapat Jiro lihat pria itu terkejut. Mungkin Cio tidak mengira dirinya akan datang menghampiri setelah kecanggungan yang mereka hadapi di room chat beberapa hari yang lalu.
Well Jiro akui mereka harusnya tidak mempermasalahkan masalah yang belum jelas bisa mereka jadikan masalah. Lagipula, untuk apa mereka marah? Maksudnya, untuk apa Cio marah saat Jiro tidak memberitahunya jika dia sudah ada di Indonesia? Untuk apa pula Jiro marah saat melihat Cio jalan bersama model yang bernama Karel? Bukannya mereka hanya berteman? Apa boleh teman marah saat teman lainnya tidak memberi kabar? Apa boleh teman marah saat temannya pergi bersama teman yang lain?
Walaupun Jiro mengakui dirinya salah dan tidak berhak marah, nyatanya dia tidak bisa menahan emosinya. Terlebih lagi saat Cio datang dan memintanya membalas pesan yang sengaja Jiro abaikan. Tidak ada alasan yang pasti kenapa dia pura-pura tidak melihat banyak notifikasi dari Cio, hanya saja tolong berikan waktu hingga emosinya mereda, hingga rasa cemburu di dadanya hilang, hingga dirinya sadar dan menerima hubungan mereka yang masih belum berkembang.
“Thanks for coming to my party, Abercio,” Jiro bicara. Memecah keheningan yang menimpa mereka. Tangannya terulur, dan Cio dengan cepat menerima.
Pria itu tersenyum sebelum membalas ucapan jiro. “Sama-sama.”
Hening kembali melanda mereka. Dua-duanya hanya bertukar pandangan tanpa mau mengucapkan sepatah kata apapun. Hazel rasanya ingin marah, bukan ini yang dia mau, dan kenapa pula dua orang di hadapannya berubah menjadi orang bisu saat bertemu? Hazel tahu hubungan mereka baik, Hazel dapat melihat ada rasa yang mereka pendam untuk satu sama lain. Apa susahnya meminta maaf dan menjalani hidup seperti biasa?
Berjalan-jalan ke pantai bersama, duduk bersama, mengobrol bersama, satu mobil dan tertawa, menghabiskan waktu hingga lupa pada dunia. Kenapa pula dua orang ini tidak bergerak membuat perubahan di hubungan mereka? Hanya sekedar meminta maaf, apakah susah?
Perempuan itu sengaja terbatuk agar atensi dua orang di depannya teralih kepadanya. “Kayaknya aku harus susulin mamah deh. Dia bolehin aku masuk ke sini cuma buat anterin Kak Abercio aja, kalau Kak Abercio udah ketemu Kak Jiro aku harus balik sama mamah.” Ucapannya sukses membuat Cio kini terkejut, terbukti dengan matanya yang sudah membulat sempurna.
“Tapi kamu janji mau temenin Kakak, Zel.” Semuanya tahu itu adalah bentuk protes yang Cio berikan pada adik Jiro.
Bukannya Hazel tidak perduli, dia juga merasa kasihan dan ingin menemani Cio di sini. Tapi terpaksa dia harus pergi, jika tidak, maka hubungan Cio dan Jiro tidak lekas membaik dan Hazel pusing melihat hal itu.
Hal sepele yang sengaja dibesar-besarkan, batinnya kesal.
Hazel sudah pergi setelah berdebat kecil bersama Cio. Meninggalkan dua orang yang masih diam. Duduk bersama di salah satu meja yang berada di samping kolam renang, nyatanya Cio dapat melihat seluruh atensi tertuju pada mereka. Pria itu lupa mereka pasti mengenal dirinya. Siapa pula yang tidak kenal pada atlet skating yang baru saja mendapatkan medali perak beberapa saat lalu di Manchester. Cio yakin mereka pasti bingung dengan situasi ini.
Mungkin besok ada berita bertajuk, “Atlet Figure Skating Abercio Kaisar Mahatna terlihat di pesta penyambutan Jiro, penjaga gawang club sepak bola dari Inggris, Manchester City.“
Pasti beberapa orang akan bertanya-tanya, untuk apa Cio ada di pesta penyambutan Jiro? Apa mereka sedekat itu hingga Cio bisa datang ke sana? Ditambah lagi dengan beberapa postingannya dan Jiro yang sempat menjadi trending nomor satu di media sosial. Mungkin beberapa orang berspekulasi mereka akan mengadakan suatu kolaborasi, mungkin juga ada yang mengira hubungan mereka lebih dari teman, atau ada yang mengira Cio sengaja mencari kesempatan dekat Jiro agar dirinya bisa terkenal.
Well, Cio sudah pernah mengalami semua itu.
“Abercio,” sontak kepalanya menengok ke sumber suara, mendapati Jiro yang kini sudah melihat tepat ke arahnya. Seolah tidak perduli dengan beberapa pasang mata yang tertuju ke arah mereka. “Want to say something to me?” pria itu bertanya.
Akhirnya Cio menghela nafas. “Sorry,” kata pertama yang keluar dari mulut Abercio sebelum pria itu akhirnya berani mengangkat wajah dan menatap Jiro. “Mungkin lo gak suka dengan kehadiran gue di sini, makannya gue minta maaf. Gue harusnya bisa nolak Hazel dan gak nunjukkin wajah di depan lo.”
Cio menyenderkan tubuhnya di kursi, melihat sekelilingnya beberapa saat lalu kembali menatap Jiro. “Gue gak yakin tapi mungkin besok nama lo bakal ada di base gosip karena gue,” tambahnya.
“Gue suka lo ada di sini.”
Satu kalimat yang berhasil membuat Cio terkejut, degup jantungnya semakin cepat saat melihat sudut bibir Jiro terangkat. “Jangan suka mikir yang enggak-enggak, Cio. Gue gak melarang lo ada di sini. Maybe I should thank Hazel for inviting you here, because gue gak akan berani lakuin hal itu sendiri.” Cio terkejut mendengar jawaban yang tidak terpikirkan olehnya sama sekali.
Apa ini artinya hubungan mereka sudah membaik? Apa ini artinya Jiro sudah kembali seperti semula? Apa Jiro sudah tidak marah padanya lagi?
Mungkin semua jawabannya adalah 'Ya'. Terbukti dengan Jiro yang sekarang tersenyum padanya. Mungkin pria itu tidak mengatakan dengan tersurat jika hubungan mereka sudah membaik tapi Cio tahu arti senyuman itu. Hubungan mereka membaik dan tidak seharusnya dipermasalahkan lagi.
“Why?” Satu kata yang keluar dari mulut Cio, ingin sekali mendengar alasan kenapa pria di hadapannya tidak berani mengundangnya sendiri.
“Well, I admit I shouldn't be mad at you over all things … and I have no reason to be angry with you, Abercio. Lo bisa pergi sama siapapun dan gue gak berhak buat marah. We're friends and friends don't get mad for that reason.”
Jawaban yang sukses membuat Cio tertawa. “Oke, gue kasih lo maaf.”
“Thank you, but next time you should go with me. Remember, lo janji bawa gue jalan-jalan ke tempat bagus di Jakarta.”
Keduanya kembali tertawa setelah mendengar gurauan yang Jiro layangkan. Bisa dibilang sekarang hubungan mereka sudah membaik, Cio mengakui perkataan Hazel memang benar, terlebih lagi soal Jiro yang lebih santai jika diajak bicara secara langsung. Pria yang berstatus sebagai Figure Skating itu bersyukur, nyatanya kini dia bisa kembali bersenda gurau bersama Jiro. Tidak bisa dibayangkan jika mereka belum bicara pada satu sama lain, maka mungkin saja Cio sudah berlari pulang ke rumah sekarang.
Jiro berkata bahwa dia harus pergi dan Cio ingin sekali menahan pria itu agar tetap bersamanya. Cio tahu Jiro merupakan tuan rumah, tokoh utama di pesta malam ini, dan dia harus pergi untuk menemui beberapa tamu lain yang datang untuk menyambut kedatangannya. Maka kini Cio duduk seorang diri, tidak tertarik berbaur dengan orang lain, tidak pula meladeni beberapa orang yang sengaja duduk di depannya untuk mencoba mengajaknya mengobrol.
Cio tidak tertarik dengan mereka semua.
Cio menyadari beberapa pasang mata masih tertuju ke arahnya. Terlebih lagi saat dirinya menyadari satu gerombolan perempuan berbisik dan terus menatap ke arahnya. Cio tahu mungkin dirinya sedang menjadi topik utama di sana tapi dirinya tidak mau ambil pusing.
Beberapa menit kemudian Jiro kembali datang ke meja yang Cio tempati, pria itu membawa dua gelas minuman. Cio tahu itu wine, tiba-tiba saja peringatan yang Hanan berikan kembali terputar di otaknya. Soal Cio yang tidak boleh minum minuman beralkohol apapun yang ada di sana. Tapi Cio tidak bisa menolak saat Jiro menyodorkan gelas itu tepat di depan wajahnya.
Berakhir dengan dia yang meminum wine yang Jiro bawa. Meneguknya sedikit demi sedikit. Ini bukan kali pertamanya meminum cairan merah itu dan Cio tahu betul bagaimana rasanya. Pria itu hanya sedikit khawatir, takut kelewatan dan berakhir pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.
“Tomorrow you have practice?” Penjaga gawang itu meletakkan gelasnya di meja. Menatap Cio yang melakukan hal sama dengannya.
Yang ditanyai mengangguk, “ada.”
“Padahal gue ada niatan buat bawa lo jalan-jalan.”
“Maybe next time?“
Anggukan adalah jawaban yang Jiro berikan. “Want to meet my friend?” Jiro bertanya. “I think I should introduce you to my friends, they really want to meet you.“
Berakhir dengan Cio yang mengikuti Jiro menemui temannya. Cio tahu beberapa wajah yang dia temui malam ini, mereka kerap kali terlihat di majalah, di TV, maupun di media sosial. Semua teman Jiro bukan dari kalangan biasa, mereka semua memiliki nama yang bisa mereka banggakan. Setidaknya Cio tidak merasa dirinya tak pantas datang ke sini, toh dirinya dan Jiro sama-sama seorang atlet.
Semuanya berjalan lancar. Walaupun ini kali pertama Cio bertemu dengan mereka, mereka tetap terbuka dan menerima uluran tangan Cio. Dirinya merasa diterima di sini. Sedikit kekhawatirannya mulai menghilang, terlebih lagi saat mendengar Jiro memperkenalkannya dengan bangga. Berkata bahwa mereka sudah bertemu sedari lama dan berkata bahwa Cio merupakan salah satu kawan baiknya.
Hingga ketenangan itu terusik saat tubuh Cio hilang keseimbangan, tubuhnya jatuh tepat ke kolam dan beberapa orang berteriak melihat hal itu. Terlebih lagi untuk Cio yang merasakan sendiri.
“Cio, are you okay?” Jiro bertanya.
Mata Cio memicing, menatap beberapa perempuan yang berada di belakang Jiro. Mereka adalah gerombolan yang sempat terlihat membicarakannya. Cio tidak bodoh untuk tidak mengetahui jika merekalah yang mendorongnya hingga terjatuh ke kolam. Dan saat Jiro ikut melihat ke belakang, saat itu pula dia bisa menyimpulkan siapa pelakunya. Dengan cepat pria itu melangkah lalu memarahi gerombolan perempuan yang sengaja mendorong Cio ke kolam. Sedangkan Cio menerima uluran tangan dari orang lain yang mencoba menolongnya.
© kmvdoots