Happiness


Kakinya melangkah cepat memasuki bandara yang tampak ramai hari ini. Ada Jendra di belakang yang masih setia mengekori sang kekasih. Agaknya Rendika begitu terburu-buru menemui sahabat SMP yang katanya mau berangkat ke Amerika hari ini.

Cemburu? Oh tentu saja iya.

Hanya saja, Jendra mencoba memaklumi. Rendika dan Rafan sudah lebih dulu bertemu dibanding dengan dirinya. Rafan juga salah satu teman yang selalu ada di samping Rendika kala pria itu melewati masa sulit SMP-nya. Cemburu boleh, tapi jangan sampai membuat Rendika kesal.

Toh, hati Rendika sekarang hanya untuknya. Walaupun ada sedikit ragu di hati Jendra.

“Rafan!” Rendika berteriak kala netranya menatap Rafan berada tepat di samping pria paruh baya yang Jendra yakini adalah ayah pria itu.

Rendika bergerak mendekat, lalu memeluk Rafan. Melupakan Jendra yang kini lebih memilih diam di tempat. Iya, Jendra sedang bersusah payah mengendalikan rasa cemburunya.

Hanya sebuah pelukan, mereka tidak akan jatuh cinta. Berkali-kali Jendra mengucapkan satu mantra itu di dalam hati. Berharap emosinya berhasil diredam.

“Rendika, kenapa gak kabarin gue kalau Lo mau ke sini?” Rafan bertanya saat pelukan itu masih terjalin. Tangannya terulur membalas pelukan Rendika, lalu bergerak lembut mengelus punggung Rendika.

Bugh!

Satu pukulan melayang tepat setelah pelukan mereka terlepas. Mata Rendika memicing. “Kenapa Lo gak kasih gue kabar? Lo berangkat sekarang, tapi Lo gak ada kasih tau gue? Gue kesel banget sama Lo! Kalau aja Raka gak bilang hari ini Lo pergi, mungkin gue gak akan tau kalau Lo udah gak ada di Indonesia.” Omel Rendika.

Hal itu mampu membuat tawa Rafan keluar. “Kenapa sih? Marah banget kayanya?” Rendika tidak menjawab. “Gue sengaja gak kasih tau Lo, karena gue gak mau liat Lo sebelum gue pergi. Takutnya gue malah mohon sama Papah buat tetep stay.” Rafan menengok ke arah Papahnya yang diam-diam menyunggingkan senyum melihat interaksi sang anak dengan kawan lamanya.

Pria itu kemudian mendekat pada Rendika, “Lo tau sendiri, gue masih sayang sama Lo Rendika.” Bisiknya tepat di telinga Rendika.

Semua yang Rafan lakukan, jelas dilihat oleh Jendra. Agak kesal, tapi tidak apa-apa. Setelah ini Rendika tidak akan bertemu Rafan lagi, Jendra akan memastikan hal itu.

“Ngapain bisik-bisik? Kalian ngomongin Papah?” Pria paruh baya itu bicara, sukses mendapat respon tawa dari kedua orang yang ditegurnya. “Oh iya, Rendika apa kabar? Om gak liat kamu main ke rumah Rafan, kamu sibuk?” Tanya pria itu pada Rendika.

“Lumayan om, hehe.” Balas Rendika canggung. Tidak bertemu begitu lama dengan ayah Rafan, membuat ada kecanggungan yang muncul. Padahal dulunya Rendika sangat dekat dengan ayah Rafan.

Mata pria paruh baya itu menatap ke arah Jendra yang kini berjalan mendekat. “Oh, dia siapa? Teman kamu?” Tanya pria itu, bukan pada Rendika, melainkan pada Rafan.

Rafan menggeleng. “Bukan Pah, dia bukan temen Rafan. Tapi dia tunangan Rendika.”

“Loh, Rendika punya tunangan? Padahal om sempet mikir mau jodohin kamu sama Rafan. Om telat ya?”

-

Siang ini matahari bersinar sangat terang. Hanya saja, angin yang berhembus juga tak kalah bersaing. Panas yang dihasilkan oleh sang matahari, berhasil diredam oleh sang angin. Hamparan hijau di depan mereka cukup membuat dua pria itu betah diam tanpa banyak bicara. Asik menikmati waktu di sana.

Perbatasan, adalah tempat favorit keduanya.

Sedari tadi, mereka tidak banyak bicara. Hanya diam. Tapi mereka tidak merasa terusik sama sekali dengan keheningan itu.

Tiba-tiba saja, kejadian beberapa jam lalu berputar kembali di otak Rendika. Di mana mobil Pajero milik Jendra yang mendadak kehabisan bensin membuatnya rela berjalan kaki bersama sang pacar menuju pom bensin demi membeli bahan bakar untuk mobil itu.

Rendika sempat merutuk, tapi keterdiaman Jendra membuatnya ikut diam. Aneh, ada yang salah?

“Lo bilang mau beliin gue yupi.” Akhirnya Rendika buka suara. Keterdiaman Jendra menganggu pikirannya.

Ada jeda 5 detik sebelum pria di sampingnya merespon dengan nada ketus. “Kenapa gak minta sama Rafan?” Kedua alis Rendika sontak terangkat. “Kenapa gak sekalian jadian sama Rafan? Papahnya juga berharap Lo jadi pasangan Rafan.”

Sudut bibir Rendika tertarik mendengar setiap kata yang keluar dari bibir tunangannya. Jadi, Jendra cemburu? Kenapa Rendika tidak sadar? Oh! Apa ini adalah salah satu penyebab kenapa Jendra terus diam sejak tadi?

“Lo cemburu?”

“Jangan terlalu percaya diri.”

Kupu-kupu serasa berterbangan di perut Rendika. Mendapati Jendra yang cemburuan seperti ini agaknya membuat Rendika 'sedikit' bahagia? Tidak, tidak! Rendika hanya senang, itu artinya Jendra sangat mencintainya.

“Papahnya Rafan cuma bercanda, Lo gak usah cemburu. Lagian sekarang gue masih ada di samping Lo kan?” Rendika berucap, selembut mungkin. Walaupun dia bahagia melihat Jendra cemburu, tapi Rendika juga tau, bagaimana tidak enaknya saat kita berada di fase cemburu.

Jendra mendengus, lalu turun dari atas kap mobil. Pria itu maju tiga langkah ke depan, tanpa berbalik, dia kembali bicara. “Gue gak suka jadi pencemburu kaya gini, gue udah susah payah buat nahan diri, tapi rasanya itu gak berhasil.” Jendra berucap, mampu membuat sebuah senyum terbit di wajah Rendika.

Pria itu ikut turun, lalu memeluk Jendra dari belakang. Melupakan fakta bahwa sekarang mereka berada tepat di samping jalan raya, tentunya pasti ada saja beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka. “Gue gak melarang Lo buat cemburu, Jendra.” Ucapnya, menempelkan kepala di bahu bidang sang kekasih.

Jendra menghela nafas, inginnya sih berbalik lalu membalas pelukan Rendika. Tapi sedikit emosi itu masih tersisa. “Gue mau Lo bahagia, tapi gue gak bisa nahan kecemburuan gue lebih lama. It's wrong that I'm jealous?

No. Lo gak salah. Lo berhak cemburu. Because you're my fiancé, Jendra.” Balas Rendika.

Jendra berbalik. “You're mine too.”

Rendika tersenyum. “Yes, I'm yours.”

Lalu keduanya berpelukan. Dapat Rendika dengar degup jantung Jendra begitu cepat. Entah kenapa hal itu justru membuat Rendika tersenyum. Mungkin mendengar degup jantung Jendra adalah favoritnya mulai sekarang? Sedangkan Jendra, agaknya dia sudah mulai tenang. Rendika miliknya, hanya miliknya seorang. Pria itu sendiri yang mengatakannya.

“Rendika?”

“Hm?”

I said I will buy yupi for you. Want to try your yupi?” Tanya Jendra membuat pelukan itu terlepas.

Ada raut bingung di sana. “Seinget gue, Lo gak berhenti di minimarket. Di mobil juga gue gak ada liat yupi.”

Jendra mendekat. Pria itu memberikan kecupan kilat di bibir Rendika. “This your yupi, Rendika.” Ucapnya sambil menekan bibir tipis itu.

Jelas saja pipi Rendika memerah, Jendra sangat hebat membuatnya salah tingkah. “Dasar!”

Jendra tertawa, “mau ciuman sama gue?”

Mata Rendika membulat sempurna. “Lo gila? Kita ada di samping jalan, bodoh! Lo mau dikira berbuat mesum di pinggir jalan?”

“Kenapa enggak? Kan berbuat mesumnya sama tunangan sendiri.”

Setelah mengatakan hal itu, Jendra dengan cepat menarik tengkuk Rendika. Ciuman itu mulai terjalin. Jelas Rendika terkejut, tapi pria itu tetap mengalungkan tangan di leher Jendra. Keduanya bergerak ke kanan kiri guna memperdalam ciuman. Rendika meremas rambut Jendra sebagai pelampiasan.

Ciuman mereka, terlihat sangat lembut. Baik jendra maupun Rendika, keduanya tidak mau terbawa nafsu. Mereka hanya ingin menunjukkan betapa sayangnya mereka terhadap satu sama lain. Bahkan mereka melupakan fakta bahwa sekarang mereka ada di samping jalan.

Pasangan bucin yang berciuman di samping jalan. Siapa yang bisa melakukannya? Jendika jawabannya.

Tangan Jendra turun, meraih pinggul Rendika. Dengan mudah pria itu mengangkat tubuh sang kekasih hingga sekarang Rendika berada dalam pelukannya, melingkarkan kedua kaki di pinggang Jendra. Agak mesum, tapi mereka tidak peduli. Ciuman itu terlepas. Jendra menghapus jejak saliva di dagu Rendika, lalu memberikan satu kecupan manis di bibir tebal sang kekasih.

Kakinya melangkah membawa tubuh Rendika mendekat ke arah mobil, lalu mendudukkannya di kursi penumpang. “I love you, i really love you fiancé.” Ucap Jendra. Seulas senyum muncul di wajah manis fiancé-nya.

I love you too, Jendra.” Balas Rendika.

Jendra kembali memulai ciuman, kali ini bukan hanya ciuman lembut, tapi ada nafsu di sana. Rendika membalas ciuman itu dengan susah payah. Tangannya meremas kaus yang Jendra kenakan saat kepalanya tak sengaja menabrak dashboard mobil. Jendra tidak perduli, dia menahan tengkuk Rendika dan menariknya agar ciuman itu semakin dalam.

Rendika mulai menikmati ciuman itu, saat Jendra menggigit bibir bawahnya, saat itulah dengan mudah Rendika membuka mulutnya, membiarkan benda tidak bertulang milik Jendra masuk mengajak lidahnya bertarung.

Tak tinggal diam, Jendra mulai memasukkan tangannya ke dalam baju sang kekasih. Lalu dengan lihai, dirinya mulai memilin puting tegang milik Rendika. Jendra menggeram saat kaki Rendika tidak sengaja menendang pusat tubuhnya.

Ciuman itu terlepas, keduanya sama-sama kacau. Ada tatapan penuh nafsu yang Jendra tunjukkan. Tapi pria itu segera buang muka dan turun dari mobil.

Rendika menyusul setelah membenarkan pakaiannya. Lalu memeluk Jendra dari belakang. Pria yang berusia lebih tua satu tahun dari Jendra itu mulai memejamkan mata, meletakkan kepala di bahu sang kekasih.

“Makasih ya? Lo udah bertahan sejauh ini buat gue.” Rendika berucap.

“Bertahan?”

“Lo gak mau nyakitin gue, makannya Lo selalu berhenti setelah kita ciuman. Gue tau Lo juga punya nafsu. Tapi kalau Lo mau, gue bisa kasih apa yang Lo mau.”

“Rendi—”

“Gak usah banyak protes. Lo bebas lakuin apapun sama gue, gue gak akan nolak karena gue sekarang sepenuhnya milik Lo Jendra.”

Jantung Jendra berdegup dengan sangat cepat. Dia bahkan membiarkan tangan Rendika yang mulai turun menuju pusat tubuhnya. Dengan sengaja, pria itu memberikan elusan di sana. Cukup membuat Jendra mendesis.

“Rendika, Lo gak lupa kita masih ada di samping jalan?”

“Kalau Lo mau gue kasih blowjob di sini pun, bakalan gue lakuin.”

Shit!”

I'm all yours Mr. Arkatama.”

“Sinting. Gue sayang banget sama Lo, Rendika.”

Jendra berbalik lalu membawa Rendika masuk ke dalam sebuah pelukan. Menenggelamkan tubuh itu dalam dekapannya. Tak lupa memberikan kecupan-kecupan manis di pucuk kepala sang kekasih.

Siapa yang mengira kisah cinta mereka akan berakhir seperti ini? Nyatanya, apapun yang terjadi, Jendra akan tetap dan selalu mencintai Rendikanya. Begitu juga sebaliknya, Rendika tidak mungkin mau kehilangan Jendranya.

Yang awalnya musuh, bisa menjadi orang paling spesial. Iya, Jendra dan Rendika sudah membuktikan itu. Setelahnya, mereka hanya perlu meningkatan rasa percaya terhadap satu sama lain. Begitu juga dengan komunikasi. Karena jika mereka tidak percaya satu sama lain, bagaimana hubungan mereka akan terjalin?

Tujuan mereka sekarang hanya satu, yaitu kebahagiaan.

Enemies to lovers only need happy ending. Jendra and Rendika, they need happiness.