Teh Nia, Adu Burung dan Cuci Motor


“Gue kesel banget sama Lo!” Ucap Rendika kala keduanya baru saja mendudukkan diri di kursi panjang.

Jendra terkekeh, “gue tau kok kesel Lo gak akan lama.” Paparnya.

Rendika berdecak kesal. “Kalau gak punya tujuan yang jelas, gak usah ajak gue ngedate!” Semprotnya yang kesal setengah mati. “Gila banget buat gue nunggu di tempat pencucian motor kaya gini.”

Ya memang benar, mereka sekarang berada di tempat cuci motor. Alasannya? Karena Jendra tidak tau mau mengajak Rendika pergi ke mana. Saat matanya menangkap adanya tempat pencucian motor, tanpa basa-basi Jendra segera menghentikan motornya di sana. Membiarkan motor milik Rendika dicuci bersih.

“Gak usah ngambek gitu.” Bujuknya. “Coba deh inget-inget lagi, ada gak yang ajak Lo ke tempat cuci motor kaya gini? Gak ada kan? Ini first time Lo kencan ke sini. So, Lo gak boleh komentar dan nikmati aja waktu sama gue.” Lanjutnya.

Rendika menghela nafas, tak mau membalas. Tak habis pikir dengan kelakuan Jendra yang diluar batas. Iya, Rendika tidak pernah menyangka dia harus melewati semua moment unik ini bersama tunangannya. Jika Rendika bisa, dia ingin sekali menendang perut Jendra. Melampiaskan rasa kesalnya.

Jendra tiba-tiba saja berdiri, “bentar ya gue cari minuman dulu.”

Rendika tidak menanggapi, tapi Jendra segera melangkah pergi. Bodo amat dengan apa yang akan dilakukan Jendra, mood Rendika sudah rusak. Tadi saja dia senang ketika Jendra membelikannya banyak makanan.

Tapi agaknya Rendika cukup senang hari ini, dia mengetahui satu fakta baru tentang Jendra. Pria itu ternyata tidak terlalu suka makanan pedas, pantas saja Rendika tidak pernah melihat Jendra memasak makanan pedas. Nyatanya, Jendra memanglah anak baik. Dia menghindari makanan pedas karena menuruti keinginan bunda. Bunda pernah bilang padanya agar mengurangi makan-makanan pedas karena itu tidak baik untuk tubuh.

Alhasil, Jendra selalu menghindari makanan pedas.

Rendika menajamkan penglihatannya saat ada kerumunan yang tak jauh dari tempatnya duduk, entah kenapa Rendika mendadak tertarik dan ingin tahu ada apa di sana. Pria itupun berdiri, lalu melangkah mendekat.

Sampai di sana, Rendika dapat melihat ada sekitar 17 kandang burung. Ke-17 burung itu bersuara, menunjukkan betapa bagusnya suara yang dimiliki. Rendika tersenyum, pertunjukan kecil seperti ini saja berhasil membuat mood-nya kembali bagus. Burung-burung itu tidak hanya memiliki suara yang indah, tapi warna bulunya juga sangat indah.

“Sejak kapan tunangan gue suka adu burung?” Suara bisikan yang tak asing masuk ke rungunya.

Rendika berdecak, “Lo gangguin gue terus sih. Udah sana tungguin motor kita yang lagi dicuci, jangan ke sini.”

Jendra hanya tertawa. Sebenarnya dia sudah ada niatan membawa Rendika menonton adu burung yang ada di sini, tapi dia urungkan. Jendra hanya takut Rendika tidak suka. Tapi nyatanya? Pria itu sangat suka. Harusnya Jendra membawanya sejak tadi.

“Tau gak? Burung yang menang bisa dibeli pake mobil.”

“Hah?” Rendika membalikkan badannya. “Dibeli pake mobil? Maksud Lo mobil yang ada di sini bakal dituker sama burung?”

Jendra mengangguk, “iya.” Pria itu menggenggam tangan Rendika, lalu membawanya keluar dari kerumunan. “Adu burung ini agak mirip sama judi.” Tambahnya.

“Judi?”

“Iya. Mirip sama Lo yang taruhan pas balapan. Di sini memang selalu kaya gitu. Udah biasa. Pas juri selesai pilih pemenang, beberapa orang bakalan maju buat beli burungnya pake harta yang mereka punya. Nah, yang paling sering itu ditukar sama mobil.” Jelasnya.

Rendika manggut-manggut mengerti. “Gampang banget cari duit.”

“Eits! Gak segampang itu, sayang.” Respon Jendra. “Burung juga perlu dilatih supaya bisa ngeluarin suara yang bagus. Dan ngelatih burung, bukan pekerjaan yang mudah.”

-

Jendra dan Rendika sudah kembali berada di atas motor, Jendra membawa Rendika entah ke mana. Tapi Rendika tidak banyak bicara karena dia juga menikmati angin yang sedari tadi menabrak wajahnya. Iya, Rendika hanya butuh ketenangan.

“Eh, ada Teh Nia.” Kelopak mata Rendika terbuka, ternyata Jendra sudah membawa motor mereka menepi.

Alis Rendika menukik tajam. “Teh Nia? Siapa? Lo selingkuh?” Serbunya.

Jendra terkekeh, lalu melepas helm-nya. “Jangan nethink terus, coba liat ke depan.”

Rendika mengikuti instruksi Jendra dan melihat ke depan, pemuda itu berdecak kala melihat tulisan 'Teh Nia'. “Lo nyebelin banget.”

“Makannya, jangan gampang cemburu.” Balas Jendra, lalu pemuda itu turun dari motor. “Mau pesen gak?”

“Emang enak?”

“Enak. Gue pesenin ya?” Akhirnya Jendra pergi, memesan dua gelas Teh Nia yang mereka temui di samping jalan.

Tak lama kemudian Jendra kembali membawa dua Teh Nia di tangan. “Nih, cobain.”

Rendika menerimanya dengan senang hati lalu mulai menyedot cairan berwarna coklat yang diberi nama 'Teh Nia' itu. “Enak.” Responnya.

“Iya, emang enak. Manis banget kan?”

“Enggak kok, gak terlalu manis.”

“Serius? Pantesan Teh Nia gue lebih manis, kan gue minumnya sambil liatin wajah Lo.”

Bug

Rendika memukul Jendra. “Dasar buaya darat!”

Jendra tak merespon, pria itu hanya tertawa. Bahagia sekali dia bisa membuat pipi Rendika memerah. Sangat lucu. Suka sekali Jendra melihatnya.

“Tapi gue heran deh, kenapa ya Teh ini dinamain Teh Nia?” Tanya Rendika karena dia memang penasaran. Ini kali pertamanya Rendika mencoba Teh Nia. Sebelumnya Rendika tidak pernah melihat ada orang yang menjual Teh Nia.

Jendra mengangkat bahunya, “mungkin karena nama penjualnya itu Nia?” Jawabnya asal.

-