⛸️ — 105 ; can't happen.
Abercio duduk setelah mengirimkan lokasinya pada Hanan. Hari ini rencananya dia bersama Kallea dan Savero akan mengadakan pesta kecil, memanggang daging diiringi musik dan tawa bukanlah ide yang buruk, terlebih lagi saat Haikal ikut serta. Hanya saja pesta itu harus ditunda dikarenakan perut mereka yang sudah kenyang.
Berawal dari keempatnya yang berniat membeli bahan barbeque berujung Abercio melihat banyak donat tersusun rapi, membuat dirinya tergoda untuk membeli. Niatnya hanya ingin membeli satu tapi nyatanya dia berhenti makan setelah 3 potong donat habis masuk ke dalam mulutnya. Kallea juga sama, perempuan itu bahkan memesan 4 potong donat dan memakannya sampai habis. Jika Haikal tidak melarangnya untuk memesan lagi, mungkin Kallea akan makan 1 potong lagi.
Sudut bibirnya tertarik ke atas mengingat dia pernah menghabiskan waktu bersama Jiro di Manchester, kenangan saat dirinya memakan donat bersama Jiro kembali berputar di otak. Sebenarnya Abercio tidak berniat menjauhi Jiro, terlebih lagi dirinya tahu Jiro merupakan pria yang baik. Hanya saja, dirinya merasa hal ini salah. Fans Jiro tidak suka dengan berita kedekatan mereka. Abercio tahu tidak semua fans Jiro membencinya, hanya saja Abercio rasa dirinya tidak bisa egois.
Abercio hanya tidak mau Jiro kehilangan fans hanya karena dirinya.
“Abercio.”
Lamunannya buyar saat ada yang memanggil namanya. Pria itu menengok, mencari dari mana sumber suara itu berasal. Matanya membulat kala mendapati wajah tidak asing berdiri di depannya.
“Kamu masih inget sama Tante, kan?” Abercio tersenyum dan mengangguk. “Tadi Tante ragu mau manggil, takut salah orang. Ternyata ini bener kamu.” Wanita paruh baya itu maju lalu menggenggam tangan Abercio, membawanya kembali duduk di tempat semula Abercio berada.
“Tante ngapain di sini? Sendirian?”
“Tante lagi belanja bulanan. Enggak sendirian kok, Tante ke sini sama Jiro.”
Deg.
Tubuhnya menegang saat nama itu keluar dari mulut wanita paruh baya yang Abercio kenali sebagai orang tua Jiro. “Jiro?”
“Iya.” Wanita itu mengangguk dengan semangat. Tangannya menunjuk ke suatu tempat. “Itu dia ada di sana.”
Abercio dapat melihat postur tegap Jiro berjalan ke arah di mana mereka berada. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang, kenapa pula mereka bertemu di sini? Terlebih lagi saat Abercio membuat jarak dengan pria yang berstatus sebagai penjaga gawang Manchester City itu.
Saat Jiro berada tepat di hadapannya, mata mereka terkunci satu sama lain. Kejadian saat mereka saling menatap di pesta beberapa hari lalu kembali terulang di sini. Abercio tahu Jiro mungkin menganggapnya egois tapi Abercio pikir dirinya tidak salah. Abercio hanya tidak mau memperburuk suasana, terlebih lagi dia lelah mendapatkan hate speech dari banyak orang. Memfitnahnya seolah dirinya adalah orang yang haus perhatian.
Abercio tidak pernah mau dekat dengan atlet internasional manapun, tidak mau dianggap panjat sosial, Abercio tidak pernah bermimpi bisa memiliki teman seorang penjaga gawang Manchester City, dia tidak pernah bermimpi akunnya bisa penuh dengan pemain Manchester City, Abercio tidak menginginkan itu semua. Menjadi atlet Figure Skating, it sudah lebih dari cukup untuknya.
“Nice to meet you here, Abercio. How are you?” Jiro mengajukan pertanyaan seolah tidak ada masalah diantara mereka. Pria itu duduk di samping mamahnya, menatap Abercio yang duduk berada di depannya.
“I'm fine, how about you?” Abercio menjawab. Berusaha dengan keras agar suara yang keluar dari mulutnya tidak bergetar.
“I'm not fine.” Jawaban yang berhasil membuat tubuh Abercio menegang, raut bingung terlihat jelas di wajah wanita paruh baya yang sedari tadi diam melihat interaksi mereka. Jiro terkekeh, kemudian kembali bicara. “I don't have friends who can accompany me here, so I feel lonely,” lanjutnya.
“Kenapa gak minta Abercio temenin jalan?” Mamahnya mengeluarkan sebuah pertanyaan.
“He's busy, Mom.”
“I forget, you're a Figure Skating athlete. Anyway what are you doing here*, Abercio? Kamu keliatan sendirian.”
“Aku tadi ke sini bareng sama temen Tante, tapi mereka udah duluan pulang,” Abercio menjawab. Tersenyum kepada wanita paruh baya yang untungnya sangat ramah pada dirinya.
“Mau pulang bareng sama kita?”
Abercio buru-buru menggeleng. “Gak usah Tante, aku udah minta dijemput sama temen. Mungkin sebentar lagi dia dateng.”
Tepat saat Abercio menyelesaikan ucapannya, Hanan datang dan berdiri tepat di hadapannya. Pria itu bingung mendapati kawannya tidak sendirian. Hanan menelan kembali pertanyaannya saat melihat Jiro ada di sana, pria itu menyapa dua orang lain yang ada di sana.
Mereka sedikit berbincang-bincang sebelum akhirnya Abercio berpamitan. “Tante kayaknya aku harus cepetan pulang deh,” Abercio bicara, sedikit tidak enak karena mereka sedang asik berbicara.
Wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk. “Nanti Tante kabarin kamu lagi lewat Jiro, Tante harus sering ketemu sama kamu.”
Dan Abercio tidak bisa menolak keinginan wanita itu.
Abercio tahu Hanan menyadari ada yang tidak beres diantara dirinya dan Jiro, dirinya terlalu malas bercerita karena Abercio yakin Hanan pasti tidak senang dengan keputusannya untuk menjauhi Jiro. Maka ketika Hanan mengajukan pertanyaan, Abercio hanya bisa memberikan jawaban bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Mungkin dia bisa menceritakan soal ini nanti. Yang pasti dia tidak mau menceritakannya secara langsung.
Saat dirinya hampir masuk ke dalam mobil Hanan, saat itu juga ada yang menahan tangannya. Abercio hampir saja mengumpat jika tidak melihat Jiro-lah pelakunya. Pria itu tersenyum pada Hanan dan membawa Abercio menjauh dari mobil.
“Abercio, don't act like this.” Pria itu mengela nafas. “Gue tau lo pasti sakit hati karena ucapan fans gue, but I can't stay away from you, Abercio.” Abercio bisa merasakan tangannya digenggam oleh Jiro. “Please give me one more chance, gue pastiin kali ini lo gak akan kena masalah karena gue lagi.”
“I'm going to Houston in 1 week.” Abercio dapat melihat pria di hadapannya terkejut. “Dan gue terlalu sibuk luangin sedikit waktu buat ketemu sama lo,” lanjutnya. Mencoba melepas genggaman tangan Jiro.
Keduanya sama-sama terdiam, genggaman tangan mereka sudah terlepas. Dapat Abercio lihat Jiro menundukkan kepalanya. Abercio tahu pria itu pasti kecewa terlebih lagi dengan fakta bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk bertemu. Abercio akui ini semua terjadi karena ulahnya tapi apa boleh buat? Abercio tidak tahu berapa lama dia tinggal di Houston, yang pasti tidak akan sesingkat saat dirinya berada di Manchester.
Kepala Jiro terangkat, setelah itu kejadiannya terlalu cepat. Jiro menarik Abercio masuk ke dalam pelukannya, memelukanya dengan erat seolah ini adalah pelukan terakhir mereka, seolah dunia akan berhenti mempertemukan keduanya. Dapat Abercio rasakan nafas Jiro di lehernya.
“I hurry back to Indonesia because I want to meet you.” Abercio tahu itu.
“I imagined I can spend a lot time with you here.” Abercio juga membayangkan hal yang sama.
“I plan to watch the opening ceremony world cup with you.” Kali ini Abercio tidak tahu soal rencana itu.
Jiro melepaskan pelukan mereka, Abercio masih bisa merasakan tangan Jiro berada di bahunya. Mata mereka kembali bertemu dan Abercio akui dirinya tidak pernah tidak terpesona saat melihat mata indah Jiro. Pria itu tersenyum, ibu jarinya bergerak membelai pipi Abercio.
“But I know, I can't make it happen.” Dan Abercio tidak pernah merasa sangat bersalah seperti ini. Dia tidak pernah tahu keputusannya bisa membuat hati orang lain tersakiti. Mungkin jika waktu bisa diputar, dia tidak akan melakukan hal yang sama.
© kmvdoots