Tentang Mamah dan Luka Lama
Rendika dan Jendra berjalan memasuki lift yang akan membawa mereka ke ruangan papah. Sesuai dengan apa yang Jendra katakan tadi, kini keduanya sudah berada di perusahaan papah. Ingin membahas masalah mamah dan Rendika, tentu saja.
Sedangkan Rendika? Pria itu jelas tidak tau apa alasan Jendra membawanya tiba-tiba ke sini. Aneh rasanya, mereka berdua ke perusahaan sang papah. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah menginjakkan kaki di perusahaan papah maupun ayah.
“Lo udah pernah ke sini?” Jendra buka suara saat dirasa suasana diantara mereka terlalu hening.
Rendika mengangguk. “Tapi udah lama banget gue gak ke sini lagi. Terakhir kali gue ke sini pas kelas 1 SMA.”
Lift yang mereka naiki berhenti tepat di lantai 17, tepat di mana ruangan papahnya berada. Keduanya berjalan keluar.
“Udah hampir 2 tahun loh? Kenapa Lo gak sering ngunjungin Papah Lo sendiri?”
“Terakhir kali gue dateng ke sini, Mamah nyiram gue pake air bekas pel. Mana mau gue dateng ke sini lagi, buka luka lama.” Balas Rendika santai.
Jendra tentu saja terkejut. “Rendika … “
“Udah ya? Gak usah bahas masalah itu lagi.” Ucapnya saat kedua kakinya berhenti tepat di depan meja sekertaris sang papah.
Pria bersetelan jas itu tersenyum saat menemukan anak sang atasan berada di sana. “Tuan Rendika, sudah lama anda tidak mampir ke sini.” Sapanya ramah.
“Iya, lagi banyak tugas sekolah.” Jawab Rendika membalas jabatan tangan yang diulurkan sekertaris sang papah. “Papah ada di dalem?” Tanya Rendika setelahnya.
“Ada. Kebetulan Tuan baru saja menyelesaikan meeting-nya. Silahkan masuk Tuan.”
Pintu coklat itu dibukakan, Rendika dapat melihat papahnya sedang duduk di sofa yang berada di dalam sana. Kaki keduanya bergerak masuk lalu mendekati sang papah.
Senyum papah mengembang kala melihat anak dan calon menantunya sudah datang. “Duduk dulu.” Suruhnya. “Mau minum apa?” Tanya papah setelahnya.
“Terserah Papah aja.” Jawab Rendika santai.
Berbeda dengan Rendika yang terlihat santai, Jendra justru terlihat sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri. Entah kenapa Jendra merasa bersalah, harusnya Jendra tidak mengajak Rendika ke sini. Bukankah datang ke perusahaan papah sama saja dengan membuka luka lama Rendika?
Jendra tidak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Rendika saat sang mamah dengan mudah menyiramnya dengan air bekas pel.
Sekertaris papahnya kembali datang, setelah meletakkan satu gelas kopi dan 2 gelas jus, pria itu kembali keluar dari ruangan.
“Jadi, bisa kita mulai?” Papah bicara.
Alis Rendika bertaut bingung. “Mulai apa, Pah?”
“Oh? Jendra belum kasih tau kamu?” Tanya papah. Raut terkejut jelas terpancar dari mukanya.
Rendika menatap Jendra, seolah sedang menunggu penjelasan yang akan Jendra berikan. Jendra yang ditatap seperti itu, menghela nafas. Salahnya sendiri tidak jujur sejak awal. “Papah minta kita ke sini karena Papah mau ngasih tau alasan kenapa Mamah selalu ngekang Lo, Rendika.”
Deg
Mata Rendika membulat sempurna, dia yang awalnya menatap Jendra kini mengalihkan tatapannya pada sang papah. Papahnya yang mengerti Rendika memang tidak pernah mau memperpanjang masalah ini pun hanya bisa menghela nafas.
Rendika itu keras kepala, sama seperti mamahnya.
“Papah capek liat Mamah selalu berlaku seenaknya sama kamu.” Ucapnya. “Bukan cuma kamu yang dikekang sama Mamah, tapi Papah juga. Kamu pikir, apa alasan Papah gak pernah ambil rapot kamu? Jelas karena Mamah yang ngelarang. Papah mau ambil rapot kamu dan Papah gak malu lakuin itu.” Lanjut papahnya panjang. Berharap Rendika mau mengerti.
“Tapi, Pah … aku gak mau buat Mamah salah paham.”
Jendra menggenggam tangan Rendika. “Gak usah khawatir kaya gitu, kita bisa selesain masalahnya bareng-bareng kalau kita tau akar masalahnya apa.” Jendra mencoba menenangkan Rendika dengan cara mengelus tangan tunangannya dengan lembut.
Rendika akhirnya mengalah. Dia memang khawatir. Sejahat apapun mamah pada dirinya, Rendika tetap sayang pada mamah. Kenapa selama ini Rendika tidak mau menyelesaikan masalah ini? Karena Rendika takut mamahnya akan salah paham. Rendika takut mamahnya akan semakin benci padanya. Rendika tau, dibalik kata kasar yang selalu mamahnya lontarkan, masih ada rasa sayang yang susah payah mamahnya sembunyikan.
Rendika hanya ingin mamahnya bahagia.
“Mamah kaya gitu, karena dia gak mau kamu ngerasain hal yang sama kaya apa yang Mamah dulu rasain.” Atensi Jendra dan Rendika kini sepenuhnya tertuju pada papah. “Mamah dulunya sama kaya kamu, anak nakal, suka membangkang orang tua dan bolak-balik masuk BK. Bedanya, kamu mulai berubah saat Jendra dateng dihidup kamu. Sedangkan Mamah? Dia masih keras kepala saat Papah coba merubah dia. Mamah kamu bahkan pergaulannya lebih buruk daripada kamu, Rendika. Mamah selalu ke club setiap hari, bahkan dia udah mabuk diusianya yang masih belum legal. Iya, saking cintanya sama Mamah, Papah rela ngikutin dia malem-malem ke club.”
“Kenapa Papah gak nasehatin Mamah? Barangkali Mamah bisa berhenti kan setelah Papah nasehatin.” Rendika berucap.
“Udah berkali-kali Papah nasehatin Mamah kamu, tapi Mamah gak pernah mau dengerin Papah. Sampe akhirnya Papah capek ngejar Mamah dan mutusin buat berhenti ikutin Mamah, pas itu Papah merasa udah gak punya kesempatan lagi buat merubah Mamah jadi lebih baik. Ujungnya malam itu Mamah diculik, dan dibawa ke tempat sepi sama temennya. Bukan temen cowok, tapi temen cewek. Mereka berlima, mereka minta Mamahmu buat lepasin baju dan mereka ambil gambar Mamah pas telanjang bulat. Paginya, mereka nyebarin foto itu di sosial media. Mereka bilang Mamah itu simpenan om-om. Mamah jelas marah, dia coba nyangkal semua rumor itu, tapi usahanya tetap sia-sia. Mamahmu terpuruk, dia dikeluarin dari sekolah dan semua orang mandang dia dengan jijik. Bahkan gak ada yang mau temenan sama Mamah.” Papah menjeda ucapannya, dia meraih gelas yang berisi kopi lalu meminumnya.
“Pah … ” Tangan papahnya terangkat. Sedangkan Rendika tau, tidak mudah menceritakan kenangan buruk. Rendika tau pasti papahnya mati-matian menguatkan diri agar bisa menceritakan semuanya pada Rendika dan Jendra.
“Papah kasian sama Mamahmu, Papah coba bantuin dia dan disanalah Mamah cerita. Dia pergi ke club bukan buat seneng-seneng sama orang lain atau sama temennya, tapi karena Mamah butuh uang. Mamah dipaksa minum banyak sama temennya, supaya Mamah bisa dapetin uang buat makan. Papah jelas sedih. Tapi mau gimana lagi? Semuanya udah terjadi kan? Papah enggak bisa berbuat apa-apa. Malam itu Papah anterin Mamah pulang dan Papah ikut sedih pas liat nenek kamu—Mamahnya Mamah— tidur di kasur lantai dengan keadaan enggak baik-baik aja. Papah minta bantuan orang tua Papah buat ngasih pengobatan buat Mamahnya Mamah. Tapi mereka jelas enggak mau, mereka bilang apa gunanya bantuin perempuan murahan kaya Mamah? Papah gak bisa apa-apa karena saat itu Papah gak punya uang. Waktu itu Papah cuma bisa pake uang pemberian Papah setiap hari karena Papah gak bisa cari uang sendiri.”
Tak terasa air mata Rendika jatuh ke pipi, dia tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup sang mamah dulu. Rendika merasa, dunia ini memang terlalu kejam bagi keluarganya. Terlebih lagi untuk mamah.
Jendra yang mengerti pun segera mengusap air mata Rendika, tangannya juga memberikan elusan lembut di punggung tunangannya. Berharap Rendika bisa tenang.
“Papah … Mamah udah banyak menderita, hiks. Rendika minta maaf karena gak bisa bahagian kalian berdua.” Ucap Rendika di sela isak tangisnya.
Jendra yang tak kuasa melihat tangisan Rendika, membawa pria itu masuk ke dalam dekapan. Ketiganya sama-sama terdiam, Jendra tau papah juga susah payah menyembunyikan tangisnya. Masa lalu keduanya sangatlah berat. Tanpa dirinya sangka, ada alasan besar di balik mamah yang selalu mengekang Rendika.
“Tapi Papah bersyukur,” Rendika mendongak, hidungnya memerah setalah menangis. Bekas air mata juga masih ada di pipinya. “Saat itu Ayahnya Jendra mau bantuin Papah,” senyum papah mengembang. “Kamu tau Rendika? Ayah Jendra ngasih pekerjaan buat Mamah kamu, karena dia tau Mamah kamu kesusahan buat cari pekerjaan dengan ijazah SMP. Dia juga mau bayarin biaya Rumah Sakit nenek kamu, Mamah seneng banget saat itu. Itulah sebabnya kenapa Mamah mau kamu tunangan sama Jendra, karena dia tau keluarga Jendra itu keluarga yang baik. Yang bisa menjaga kamu.”
Rendika menatap Jendra yang menunjukkan raut terkejut, karena nyatanya Jendra juga tidak tau semua ini. Perihal ayahnya yang membantu mamah Rendika, nyatanya sang ayah tak pernah menceritakan masalah ini padanya.
“Jendra … “
“Shht,” Jendra meletakkan telunjuknya di bibir Rendika. “Jangan bilang makasih ke gue. Bilang langsung sama orang tua gue ya? Gue gak pantes dapetin ucapan makasih dari Lo.” Jendra berucap tanpa henti memberikan elusan di punggung sang kekasih. Hanya itu yang bisa Jendra lakukan agar Rendika bisa tenang.
Papah tersenyum melihat apa yang dilakukan Jendra, dia merasa beruntung sudah menjodohkan anaknya dengan pria sebaik Jendra.
“Mamah pengen kamu dapetin peringkat teratas, karena Mamah mau kamu punya masa depan cerah. Mamah mau kamu berhenti bergaul sama anak jatmika, karena Mamah gak mau kamu mengalami hal yang sama seperti apa yang Mamah kamu terima dulu. Mamah cuma mau yang terbaik buat kamu, sayang … “
-