kmvdoots


Rendika dan Jendra berjalan memasuki lift yang akan membawa mereka ke ruangan papah. Sesuai dengan apa yang Jendra katakan tadi, kini keduanya sudah berada di perusahaan papah. Ingin membahas masalah mamah dan Rendika, tentu saja.

Sedangkan Rendika? Pria itu jelas tidak tau apa alasan Jendra membawanya tiba-tiba ke sini. Aneh rasanya, mereka berdua ke perusahaan sang papah. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah menginjakkan kaki di perusahaan papah maupun ayah.

“Lo udah pernah ke sini?” Jendra buka suara saat dirasa suasana diantara mereka terlalu hening.

Rendika mengangguk. “Tapi udah lama banget gue gak ke sini lagi. Terakhir kali gue ke sini pas kelas 1 SMA.”

Lift yang mereka naiki berhenti tepat di lantai 17, tepat di mana ruangan papahnya berada. Keduanya berjalan keluar.

“Udah hampir 2 tahun loh? Kenapa Lo gak sering ngunjungin Papah Lo sendiri?”

“Terakhir kali gue dateng ke sini, Mamah nyiram gue pake air bekas pel. Mana mau gue dateng ke sini lagi, buka luka lama.” Balas Rendika santai.

Jendra tentu saja terkejut. “Rendika … “

“Udah ya? Gak usah bahas masalah itu lagi.” Ucapnya saat kedua kakinya berhenti tepat di depan meja sekertaris sang papah.

Pria bersetelan jas itu tersenyum saat menemukan anak sang atasan berada di sana. “Tuan Rendika, sudah lama anda tidak mampir ke sini.” Sapanya ramah.

“Iya, lagi banyak tugas sekolah.” Jawab Rendika membalas jabatan tangan yang diulurkan sekertaris sang papah. “Papah ada di dalem?” Tanya Rendika setelahnya.

“Ada. Kebetulan Tuan baru saja menyelesaikan meeting-nya. Silahkan masuk Tuan.”

Pintu coklat itu dibukakan, Rendika dapat melihat papahnya sedang duduk di sofa yang berada di dalam sana. Kaki keduanya bergerak masuk lalu mendekati sang papah.

Senyum papah mengembang kala melihat anak dan calon menantunya sudah datang. “Duduk dulu.” Suruhnya. “Mau minum apa?” Tanya papah setelahnya.

“Terserah Papah aja.” Jawab Rendika santai.

Berbeda dengan Rendika yang terlihat santai, Jendra justru terlihat sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri. Entah kenapa Jendra merasa bersalah, harusnya Jendra tidak mengajak Rendika ke sini. Bukankah datang ke perusahaan papah sama saja dengan membuka luka lama Rendika?

Jendra tidak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Rendika saat sang mamah dengan mudah menyiramnya dengan air bekas pel.

Sekertaris papahnya kembali datang, setelah meletakkan satu gelas kopi dan 2 gelas jus, pria itu kembali keluar dari ruangan.

“Jadi, bisa kita mulai?” Papah bicara.

Alis Rendika bertaut bingung. “Mulai apa, Pah?”

“Oh? Jendra belum kasih tau kamu?” Tanya papah. Raut terkejut jelas terpancar dari mukanya.

Rendika menatap Jendra, seolah sedang menunggu penjelasan yang akan Jendra berikan. Jendra yang ditatap seperti itu, menghela nafas. Salahnya sendiri tidak jujur sejak awal. “Papah minta kita ke sini karena Papah mau ngasih tau alasan kenapa Mamah selalu ngekang Lo, Rendika.”

Deg

Mata Rendika membulat sempurna, dia yang awalnya menatap Jendra kini mengalihkan tatapannya pada sang papah. Papahnya yang mengerti Rendika memang tidak pernah mau memperpanjang masalah ini pun hanya bisa menghela nafas.

Rendika itu keras kepala, sama seperti mamahnya.

“Papah capek liat Mamah selalu berlaku seenaknya sama kamu.” Ucapnya. “Bukan cuma kamu yang dikekang sama Mamah, tapi Papah juga. Kamu pikir, apa alasan Papah gak pernah ambil rapot kamu? Jelas karena Mamah yang ngelarang. Papah mau ambil rapot kamu dan Papah gak malu lakuin itu.” Lanjut papahnya panjang. Berharap Rendika mau mengerti.

“Tapi, Pah … aku gak mau buat Mamah salah paham.”

Jendra menggenggam tangan Rendika. “Gak usah khawatir kaya gitu, kita bisa selesain masalahnya bareng-bareng kalau kita tau akar masalahnya apa.” Jendra mencoba menenangkan Rendika dengan cara mengelus tangan tunangannya dengan lembut.

Rendika akhirnya mengalah. Dia memang khawatir. Sejahat apapun mamah pada dirinya, Rendika tetap sayang pada mamah. Kenapa selama ini Rendika tidak mau menyelesaikan masalah ini? Karena Rendika takut mamahnya akan salah paham. Rendika takut mamahnya akan semakin benci padanya. Rendika tau, dibalik kata kasar yang selalu mamahnya lontarkan, masih ada rasa sayang yang susah payah mamahnya sembunyikan.

Rendika hanya ingin mamahnya bahagia.

“Mamah kaya gitu, karena dia gak mau kamu ngerasain hal yang sama kaya apa yang Mamah dulu rasain.” Atensi Jendra dan Rendika kini sepenuhnya tertuju pada papah. “Mamah dulunya sama kaya kamu, anak nakal, suka membangkang orang tua dan bolak-balik masuk BK. Bedanya, kamu mulai berubah saat Jendra dateng dihidup kamu. Sedangkan Mamah? Dia masih keras kepala saat Papah coba merubah dia. Mamah kamu bahkan pergaulannya lebih buruk daripada kamu, Rendika. Mamah selalu ke club setiap hari, bahkan dia udah mabuk diusianya yang masih belum legal. Iya, saking cintanya sama Mamah, Papah rela ngikutin dia malem-malem ke club.”

“Kenapa Papah gak nasehatin Mamah? Barangkali Mamah bisa berhenti kan setelah Papah nasehatin.” Rendika berucap.

“Udah berkali-kali Papah nasehatin Mamah kamu, tapi Mamah gak pernah mau dengerin Papah. Sampe akhirnya Papah capek ngejar Mamah dan mutusin buat berhenti ikutin Mamah, pas itu Papah merasa udah gak punya kesempatan lagi buat merubah Mamah jadi lebih baik. Ujungnya malam itu Mamah diculik, dan dibawa ke tempat sepi sama temennya. Bukan temen cowok, tapi temen cewek. Mereka berlima, mereka minta Mamahmu buat lepasin baju dan mereka ambil gambar Mamah pas telanjang bulat. Paginya, mereka nyebarin foto itu di sosial media. Mereka bilang Mamah itu simpenan om-om. Mamah jelas marah, dia coba nyangkal semua rumor itu, tapi usahanya tetap sia-sia. Mamahmu terpuruk, dia dikeluarin dari sekolah dan semua orang mandang dia dengan jijik. Bahkan gak ada yang mau temenan sama Mamah.” Papah menjeda ucapannya, dia meraih gelas yang berisi kopi lalu meminumnya.

“Pah … ” Tangan papahnya terangkat. Sedangkan Rendika tau, tidak mudah menceritakan kenangan buruk. Rendika tau pasti papahnya mati-matian menguatkan diri agar bisa menceritakan semuanya pada Rendika dan Jendra.

“Papah kasian sama Mamahmu, Papah coba bantuin dia dan disanalah Mamah cerita. Dia pergi ke club bukan buat seneng-seneng sama orang lain atau sama temennya, tapi karena Mamah butuh uang. Mamah dipaksa minum banyak sama temennya, supaya Mamah bisa dapetin uang buat makan. Papah jelas sedih. Tapi mau gimana lagi? Semuanya udah terjadi kan? Papah enggak bisa berbuat apa-apa. Malam itu Papah anterin Mamah pulang dan Papah ikut sedih pas liat nenek kamu—Mamahnya Mamah— tidur di kasur lantai dengan keadaan enggak baik-baik aja. Papah minta bantuan orang tua Papah buat ngasih pengobatan buat Mamahnya Mamah. Tapi mereka jelas enggak mau, mereka bilang apa gunanya bantuin perempuan murahan kaya Mamah? Papah gak bisa apa-apa karena saat itu Papah gak punya uang. Waktu itu Papah cuma bisa pake uang pemberian Papah setiap hari karena Papah gak bisa cari uang sendiri.”

Tak terasa air mata Rendika jatuh ke pipi, dia tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup sang mamah dulu. Rendika merasa, dunia ini memang terlalu kejam bagi keluarganya. Terlebih lagi untuk mamah.

Jendra yang mengerti pun segera mengusap air mata Rendika, tangannya juga memberikan elusan lembut di punggung tunangannya. Berharap Rendika bisa tenang.

“Papah … Mamah udah banyak menderita, hiks. Rendika minta maaf karena gak bisa bahagian kalian berdua.” Ucap Rendika di sela isak tangisnya.

Jendra yang tak kuasa melihat tangisan Rendika, membawa pria itu masuk ke dalam dekapan. Ketiganya sama-sama terdiam, Jendra tau papah juga susah payah menyembunyikan tangisnya. Masa lalu keduanya sangatlah berat. Tanpa dirinya sangka, ada alasan besar di balik mamah yang selalu mengekang Rendika.

“Tapi Papah bersyukur,” Rendika mendongak, hidungnya memerah setalah menangis. Bekas air mata juga masih ada di pipinya. “Saat itu Ayahnya Jendra mau bantuin Papah,” senyum papah mengembang. “Kamu tau Rendika? Ayah Jendra ngasih pekerjaan buat Mamah kamu, karena dia tau Mamah kamu kesusahan buat cari pekerjaan dengan ijazah SMP. Dia juga mau bayarin biaya Rumah Sakit nenek kamu, Mamah seneng banget saat itu. Itulah sebabnya kenapa Mamah mau kamu tunangan sama Jendra, karena dia tau keluarga Jendra itu keluarga yang baik. Yang bisa menjaga kamu.”

Rendika menatap Jendra yang menunjukkan raut terkejut, karena nyatanya Jendra juga tidak tau semua ini. Perihal ayahnya yang membantu mamah Rendika, nyatanya sang ayah tak pernah menceritakan masalah ini padanya.

“Jendra … “

“Shht,” Jendra meletakkan telunjuknya di bibir Rendika. “Jangan bilang makasih ke gue. Bilang langsung sama orang tua gue ya? Gue gak pantes dapetin ucapan makasih dari Lo.” Jendra berucap tanpa henti memberikan elusan di punggung sang kekasih. Hanya itu yang bisa Jendra lakukan agar Rendika bisa tenang.

Papah tersenyum melihat apa yang dilakukan Jendra, dia merasa beruntung sudah menjodohkan anaknya dengan pria sebaik Jendra.

“Mamah pengen kamu dapetin peringkat teratas, karena Mamah mau kamu punya masa depan cerah. Mamah mau kamu berhenti bergaul sama anak jatmika, karena Mamah gak mau kamu mengalami hal yang sama seperti apa yang Mamah kamu terima dulu. Mamah cuma mau yang terbaik buat kamu, sayang … “

-


Lingga menatap ponselnya bingung, apa maksud Aksa? Lingga bukannya mau berbohong, dia hanya ingin melihat sedikit usaha Aksa. Jika pria itu benar mencintainya, maka dia tidak akan ragu untuk berusaha 'kan? Sama seperti yang Lingga lakukan dulu. Karena itulah Lingga ingin bermain-main. Menolak pria itu, walaupun nyatanya Lingga masih sangat mencintainya.

Berpura-pura tidak mau menerima Aksa menjadi pacarnya, padahal hatinya jelas-jelas sangat mendambakan hal itu.

Hanya saja, kali ini, saat Aksa kembali mengajaknya berpacaran, Lingga sudah tidak tahan. Laki-laki itu terlampau manis, Lingga tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Maka tanpa ragu, Lingga menerima ajakan Aksa untuk berpacaran.

Saat pipinya bersemu dan bayangan bagaimana bahagianya Aksa saat membaca jawaban Lingga muncul di otaknya, Aksa justru menjawab 'Bentar kak.', Lingga jelas bingung. Apa maksud pria itu. Senyumnya mendadak luntur. Apa kali ini Aksa juga main-main? Jika iya, pria itu sudah terlampau keterlaluan.

“Selamat siang anak-anak, silahkan buka buku paket halaman 121 lalu kerjakan pilihan ganda nomor 1-50, yang sudah selesai silahkan kumpulkan buku kalian ke depan.” Ibu Sintia masuk. Rupanya bel sudah berbunyi.

Lingga buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu membuka buku paket bahasa Indonesia dan mengerjakan tugas yang gurunya berikan tadi. Perihal Aksa, entahlah Lingga juga tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Lingga tidak mau berharap, tapi dirinya juga tidak mau sakit hati. Lingga tidak tau, dia hanya mencoba menghilangkan presensi Aksa di kepalanya. Karena sekarang dia harus fokus pada pelajaran.

“Lo kenapa?” Tapi Dhava ternyata menyadari ada yang aneh dengan teman sebangkunya.

Lingga menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Gak apa-apa.” Jawabnya mencoba fokus membaca deretan pertanyaan di buku paket.

“Lingga, jangan bohong.”

“Gak tau Dhava, gue bingung banget sama Aksa.”

“Aksa? Kenapa lagi?”

“Dia kayanya gak serius sama gue.”

Selepas mengatakan hal itu, pintu kelas mereka tiba-tiba saja terbuka. Semua mata yang awalnya fokus pada buku paket, kini menatap siapa pelaku yang berani membuka pintu tepat saat kelas sudah dimulai.

“Maaf mengganggu kelasnya Bu.”

Mata Lingga membulat sempurna. Aksa ada di sana, berdiri bersama Vano sambil membawa satu buket bunga mawar merah di tangannya. Semua siswa dan siswi yang ada di kelas sontak berbisik-bisik. Tapi Lingga hanya bisa diam.

Dapat dilihat Aksa ada di sana, bicara dengan Ibu Sintia. Entah apa yang mereka bicarakan, karena sekarang fokus Lingga hanya tertuju pada bunga yang ada di tangan Aksa. Apa yang akan pria itu lakukan? Kenapa dia membawa bunga?

Saat itulah tatapan keduanya bertemu, dan Lingga rasanya ingin menangis saat Aksa datang ke arah bangkunya.

Dhava menyenggol lengan Lingga, “Lo yakin Aksa gak serius sama Lo?” Pria itu melanjutkan obrolan mereka tadi.

Tapi Lingga tak membalas dan hanya fokus pada Aksa yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. “Kak Lingga,” dada Lingga berdesir saat Aksa memanggil namanya. Pipinya juga sudah memerah seperti kepiting rebus. “Maaf ya? Gue pernah labil dan hampir aja kehilangan orang sebaik dan selucu Lo. Marahin aja gak papa, tapi gue gak mau kehilangan Lo buat yang kedua kalinya kak.” Aksa kemudian berlutut, keadaan kelas menjadi ramai karena sorakan para siswa siswi yang menonton drama picisan yang mendadak terjadi di hadapan mereka.

Lingga menutup mulutnya saat Aksa menyodorkan buket bunga mawar merah tepat di hadapannya. Pria itu menatap Lingga dengan tulus. “Kak, sebenernya gue udah tau jawaban Lo. Cuman gue pikir gak etis aja nembak cowok seindah Lo lewat chat, jadi gue mau ulangin semua itu. Kalingga, Aksara bukan cowok terkenal, bukan juga cowok idaman di sekolah. Tapi Aksara pastiin Kalingga pasti bahagia kalau sama Aksara. Nanti Aksara sayang-sayang, Aksara beliin jajan juga, Aksara juga pasti jagain Kalingga. Jadi, Kalingga Gautama mau jadi pacar Aksara Danayaksa?” Aksa bertanya, masih berlutut.

“Terima! Terima! Terima!” Seisi kelas mulai berdiri dan mendukung Lingga agar menerima Aksa. Aksa sendiri tidak menyangka respon yang lain akan positif seperti ini. Bahkan ibu Sintia yang ada di depan sana juga ikut berseru agar Lingga cepat menerima Aksa.

Lingga berdiri, lalu mengambil buket bunga yang Aksa bawa. “Kalau udah tau jawabannya, gak perlu gue ulang lagi 'kan?” Lingga menjawab. Pipinya sudah semerah tomat.

“Gak bisa gitu dong! Harus kasih jawaban. Iya gak temen-temen?!!” Dhava berteriak, yang langsung disetujui siswa lain.

Saat itulah Lingga tidak bisa menahan diri, “ishh, kenapa sih maluu!!” Ucapnya salah tingkah membuat yang lain tertawa mendengarnya.

“WADUH! SEORANG KALINGGA SALAH TINGKAH GAESS!!” Teriak salah satu teman Lingga.

Lingga semakin malu di buatnya. “Jawab! Jawab! Jawab! Jawab!” Keadaan kelas semakin ramai.

Aksa memegang tangan Lingga, lalu Lingga menatap matanya. “Gak papa, ada aku.” Ucap pria itu membuat hati Lingga seketika menghangat dan melupakan sorakan tadi.

Lingga menghela nafas, “IYA! KALINGGA MAU JADI PACAR AKSARA!!” Teriaknya dengan sangat kencang membuat siswa lain kembali bersorak bahagia.

Aksa segera berdiri, lalu membawa Lingga masuk ke dalam pelukannya. Aksa tau Lingga pasti malu.

“I love you.” Lingga yang pertama memulai, masih menelusupkan kepalanya di perpotongan leher Aksa.

Aksa tersenyum. “I love you too.”


“Kak Lingga,”

“Hm?”

Aksa terlihat ragu. Malam itu, setelah mereka menghabiskan seblak yang Aksa beli tadi, suasana diantara mereka tiba-tiba saja berubah menjadi canggung. Kenapa? Lingga maupun Aksa tidak tau alasannya. Hanya saja, ini terlihat aneh. Membuat mereka sendiri bingung dengan suasana yang berubah dengan cepat.

“Kak, Lo masih suka sama gue 'kan?” Aksa bertanya, memfokuskan seluruh pandangannya pada kakak kelas yang dirinya akui sudah berhasil merebut hati.

Lingga berdehem, gugup menghampiri. “Tiba-tiba banget nanyanya?” Jawab Lingga mencoba santai. Padahal pipinya sudah bersemu merah. Salah tingkah saat Aksa bertanya tentang hal itu.

Apakah boleh kali ini Lingga kembali berharap? Berharap pria di hadapannya ini mengungkapkan perasaannya sekarang juga. Mengajak Lingga pacaran, lalu keduanya bahagia.

Nyatanya, semarah apapun Lingga, rasa cintanya jauh lebih besar dari pada itu semua. Bisa dibilang, Aksa adalah cinta pertamanya. Anggap saja begitu. Sejak bertemu Aksa, hidup Lingga total berubah. Banyak hal baru yang Lingga rasakan setelahnya. Memperjuangkan Aksa, mencoba membuat pria itu jatuh cinta padanya, itu bukanlah hal yang mudah. Lingga bahkan rela mengesampingkan rasa malunya, hanya demi Aksa.

“Mau mastiin aja. Tiba-tiba kepo.” Aksa menjawab. Tak membuat Lingga puas.

“Menurut Lo, gue masih suka sama Lo atau enggak?” Lingga balik bertanya.

“Gue gak tau. Tapi mungkin rasa Lo buat gue udah mulai berkurang.”

“Kenapa?”

“Karena gue nyebelin, gue selalu bikin Lo sedih, gue selalu buat Lo susah, dan gue udah mainin hati Lo. Wajar kalau sekarang Lo mulai gak suka sama gue, kak.”

“Kok sok tau banget sih? Emang selama ini Lo beneran mainin hati gue?”

Aksa menggeleng dengan cepat. “Enggak. Maksud gue, bukan. Mungkin dimata Lo atau Dimata orang lain, gue keliatan mainin Lo. Tapi kak, semua ini salah hati gue yang labil. Terlalu banyak mikirin hal yang gak pasti, ngebuat gue ragu buat mulai semuanya dari awal sama Lo.” Aksa menjawab dengan jujur. Tidak mau membela diri, hanya saja dia ingin jujur pada Lingga. Berharap pria manis itu berhenti berpikir soal Aksa yang ingin mempermainkannya.

Aksa tau hati Lingga pasti sakit, pasti ada luka setiap mengingat semua ulah Aksa dulu. Karena itulah Aksa ingin menjelaskan. Agar nantinya Lingga tidak mengingat masa buruk mereka.

“Apa yang buat Lo ragu buat terima gue, Aksa?”

“Gue takut, kak.” Aksa mulai bicara, menundukkan kepala. Merasa dirinya tak pantas menunjukkan wajahnya di hadapan Lingga. “Gue lemah banget, Aksa ini pecundang.” Di sana Lingga hanya diam mendengarkan, tak mau bicara. “Harusnya gue gak usah mikir gimana tanggapan orang kalau nantinya kita barengan, toh Lo tulus sama gue, dan rasa gue buat Lo juga sama tulusnya. Tapi tetep aja, gue gak berani.” Aksa mendongakkan kepala, lalu menggenggam tangan kakak kelas manisnya. “Kak, Aksara Danayaksa minta maaf ya? Pasti Lo sakit hati banget. Tapi tolong jangan benci gue ya kak? Gue mau mulai semuanya dari awal sama Lo. Entah itu jadi sahabat, teman atau yang lainnya, gue mau hubungan kita balik kaya dulu. Mau ya kak?” Aksa melanjutkan.

Bug!

“Bodoh banget sih Lo!” Lingga bicara. “Kenapa bisa mikir kaya gitu? Tau gak? Lo orang terbodoh yang pernah gue temui di dunia ini!!” Lingga sedikit berteriak.

Pria itu bingung dengan perasaannya sekarang, bingung dengan apa mau hatinya, bingung dengan apa yang harus dikatakan selanjutnya. Lingga bingung, sangat bingung. Tapi hatinya tidak menyangkal, jika ia masih menginginkan Aksa. Menginginkan pria itu menerima hatinya dan membalas perasaannya.

Lingga mau …

Mau itu semua.

“Iya, Aksa minta maaf ya kak?”

“Minta maaf terus, ini bukan hari raya.” Balas Lingga.

Aksa tertawa lalu mencubit pipi Lingga gemas. “Kak, kenapa Lo lucu banget sih.”

“Gak usah gombal! Gue lagi marah.”

“Iya … marahanya kak Lingga juga lucu, makin suka.”

Pipi Lingga memerah, “diem deh. Dasar buaya.”

“Haha, pipinya merah.”

“Ishh! Kok tau,” Lingga cemberut, malu sekali dirinya ketauan salah tingkah.

Aksa segera membawa Lingga masuk ke dalam pelukannya. Pria itu tau, kakak kelas manisnya sedang malu. “Dengerin detak jantung gue deh kak.”

“Cepet banget?” Lingga merespon setelah menempelkan telinganya ke dada Aksa, tepat di mana jantung pria itu berada.

“Itu artinya gue sayang banget sama Lo.”

“Kalau sayang, kenapa gak diajak pacaran?” Lingga mendongak, sengaja ingin melihat raut wajah Aksa.

Aksa membalas tatapan Lingga. “Kalingga Gautama yang lucu mau jadi pacar Aksara Danayaksa gak?” Aksa bertanya. Nadanya terdengar sangat manis.

Lingga tersenyum, lalu tangannya terangkat mencubit pipi Aksa. “Gak mau. Mau PDKT dulu, hehe.”


Aksa melajukan motornya dengan cepat, sudah tidak sabar bertemu dengan Lingga. Aksa akui dirinya harus merasa malu di hadapan Lingga, bahkan dirinya tidak pantas menunjukkan wajah di hadapan Lingga. Tapi apa boleh buat? Aksa akui dirinya bodoh. Bodoh karena sempat merasakan keraguan.

Aksa merasa nyaman, apalagi ketika Lingga berada di dekatnya. Bahkan senyum Aksa selalu muncul saat melihat notif pesan dari Lingga. Seakan beberapa kalimat yang Lingga kirim bisa menjadi semangat tersendiri untuknya.

Aksa tau, sudah begitu besar dampak yang Lingga berikan kepada hatinya. Tapi Aksa masih ragu, bingung mau melanjutkan atau berhenti. Hatinya terlalu bimbang. Bisa dibilang Aksa sedang bertarung dengan pemikirannya sendiri. Dia tidak mau kehilangan Lingga, tapi dia juga tidak mau berada terlalu dekat dengan kakak kelasnya yang bernama Kalingga Gautama.

Lingga itu sangat terkenal, seluruh penjuru sekolah pasti tau siapa Lingga. Murid yang mudah bersosialisasi, murid yang sangat ramah, kesayangan guru, memiliki banyak prestasi dan tentunya tampan. Apa yang ada dipikiran orang lain saat mengetahui Lingga berkencan dengan orang yang sulit bersosialisasi seperti Aksa? Itulah yang selama ini menggangu pikirannya.

Aksa tidak mau namanya jadi buah bibir di sekolah, Aksa mau hidupnya tenang. Sama seperti sebelum dia menolong Lingga di lapangan.

Ah, mengingat kejadian itu membuat Aksa tersenyum. Motornya berhenti ketika melihat penjual seblak. Dia pun turun dan memesan dua bungkus seblak. “Pak, seblaknya dua. Yang satu jangan dikasih mie.”

Selesai dengan pesanannya Aksa duduk di salah satu kursi, untungnya hari ini tidak banyak pembeli. Hanya ada dirinya sendiri. Kembali ke kejadian di lapangan yang bisa dibilang sangat memalukan. Entah itu bagi Aksa, maupun Lingga.

Saat itu Aksa baru saja selesai mengembalikan buku paket ke perpustakaan, dia berjalan sendiri. Memilih melewati lapangan yang memang sangat ramai. Tidak seperti biasanya, kala itu Aksa melewati lapangan. Ingin melihat kegiatan di sana, pikirnya. Biasanya, Aksa lebih memilih lewat jalan lain. Pria itu tidak suka keramaian.

Saat dirinya asik melihat beberapa siswa yang sedang bermain basket, pria itu terkejut kala mendengar ada yang merengek. Di sanalah kali pertamanya dia melihat Lingga. Sejujurnya Lingga memang sangat terkenal, hanya saja Aksa tidak pernah melihat wajah pria itu. Aksa malas keluar kelas, sehingga dia tidak tau bagaimana keadaan di luar kelas. Lalu bagaimana Aksa tau pria itu adalah Lingga?

Itu karena dia tidak sengaja mendengar percakapan dua orang itu.

“Aduh Lingga, makannya hati-hati dong. Kebiasaan banget suka ceroboh gini.” Dia adalah Dhava, kekasih Vano—temannya— yang sering Aksa lihat.

Lingga mengerucutkan bibirnya, Aksa masih mengingat bagaimana ekspresi pria manis itu saat menahan bulir air mata yang akan jatuh dari matanya. “Ya mana gue tau bakalan keseleo gini.” Balasnya.

Dhava memutar bola mata malas. “Kan udah gue bilang, gak usah ikut pelajaran olahraga lagi. Lagian pak Agus juga suruh Lo diem di kelas aja kan? Kepala batu sih.”

Lingga mencebikkan bibirnya, saat itulah Aksa merasa ada yang aneh dengan dirinya. “Maaf …” cicit pria manis itu menghasilkan dengusan nafas dari Dhava.

Setelahnya Dhava berdiri, “ya udah bentar, gue mau panggil anak PMR dulu supaya bantuin luka Lo ini.” Tanpa mendengarkan kata Lingga, Dhava memilih segera berlari meninggalkan Lingga.

Lingga makin mencebikkan bibirnya, Aksa dapat melihat air mata makin menggenang di pelupuk matanya. Pria manis itu memegang pergelangan kakinya, dan meringis kala dirinya mencoba menggerakkan kakinya yang keseleo.

Aksa yang melihatnya entah kenapa sangat tidak tega. Maka dirinya pun segera mendekat, dan tanpa banyak basa-basi menggendong Lingga dan membawanya ke UKS.

“Lo siapa? Kenapa bantuin gue?” Lingga bertanya tepat di telinga Aksa. Pria itu masih mencoba melihat wajah orang yang menggendongnya saat itu.

Aksa berdehem, bingung mau menjawab apa. Karena bukan hanya Lingga yang bingung dengan sikap tiba-tiba Aksa, tapi Aksa sendiri bingung juga. Dia yang tidak biasanya peduli dengan keadaan sekitar, tiba-tiba saja menolong kakak kelasnya yang bernama Lingga.

Senyumnya mengembang, kembali ke keadaan saat ini, seblaknya sudah jadi. Aksa kembali memacu kuda besinya menuju rumah Lingga. Pasti pria itu senang Aksa membawakan seblak tanpa mie kesukaannya.

Aksa akui sulit sekali mengumpulkan keberanian untuk menjalin hubungan dengan Lingga, tapi dia tidak mau kehilangan pria itu. Jadi Aksa hanya ingin menghilangkan ketakutannya sekarang, berada di samping Lingga jelas lebih baik. Dia tidak mau uring-uringan lagi. Persetan dengan pandangan orang lain, yang ada dipikirannya sekarang hanya Lingga. Kalingga Gautama seorang.

Lingga lelah, dan pria itu lelah karena ulah Aksa. Aksa harus menebus semua kesalahannya. Jika Lingga menolaknya pun Aksa sudah siap, dia akan berjuang sama seperti yang dilakukan Lingga sebelumnya.

Ini bukan salah Lingga yang memang terkenal, bukan juga salah Aksa yang memang sulit bersosialisasi. Hanya saja, semua terjadi karena dirinya terlalu ragu untuk memulai. Hanya karena masalah sepele, Aksa tidak mau membalas perasaan Lingga. Dia akan mengucapkan banyak kata maaf sampai Lingga mau memaafkannya. Aksa tidak perduli, yang terpenting baginya sekarang hanyalah Lingga. Hanya Lingga seorang.

- Tangannya saling bertaut, Lingga menunggu. Apakah perkataan Aksa benar? Sebenarnya Lingga agak takut melihat Aksa, malu juga. Lingga memang berharap Aksa tidak datang malam ini, tapi hatinya berkata lain. Lingga sangat merindukan Aksa. Dia sudah mencoba menjauh, tapi hasilnya? Entahlah, Lingga sendiri kurang yakin.

“Lingga, ada temen kamu tuh.” Mamahnya bicara dari balik pintu kamar.

“I-iya mah, nanti Lingga turun.” Balasnya.

Jantung Lingga berdegup dengan kencang, apa itu Aksa? Atau orang lain? Lingga tidak tau harus berharap atau tidak. Dia bingung sekali. Semua ini bisa dia rasakan hanya karena Aksa. Aksa seorang.

Maka dengan berani, Lingga turun menuju ruang tamu. Hati Lingga mencelos saat Aksa benar ada di sana, sedang duduk dan mengobrol bersama sang papah. Mendadak Lingga ingin sekali berlari kembali menuju kamarnya. Malam ini Aksa terlihat sangat tampan, Lingga takut hatinya kembali goyah.

“Nah, itu Lingga udah turun.” Terlambat. Saat Lingga berniat balik ke kamarnya, sang mamah yang baru saja kembali dari dapur lebih dulu melihatnya.

Alhasil di sinilah Lingga sekarang, berdiri di hadapan Aksa.

“Ngapain kamu berdiri gitu? Duduk dong, tanyain ada perlu apa Aksa ke sini?” Ayahnya mulai bicara setelah meminum kopi yang istrinya bawakan.

“Oh, dia pacar kamu kan sayang? Yang sering kamu ceritain ke mamah?” Lingga menggigit bibir bawahnya malu, mamahnya tidak harus buka kartu seperti ini.

Dirinya akui sering melebihkan-lebihkan cerita, terlebih lagi jika berhubungan dengan Aksa. Lingga suka sekali melabeli pria itu sebagai pacarnya. Dia tidak mengira mamahnya akan mengungkit hal itu tepat di hadapan Aksa. Mau ditaruh di mana muka Lingga?

Dapat Lingga lihat pria yang disukainya itu tersenyum. “Iya, Tante. Saya pacarnya Kalingga.” Ucap Aksa sukses membuat Lingga menatap heran pria itu. Aksa melihatnya, tapi lebih memilih menatap kedua orang tua Lingga. “Om, Tante, boleh saya bawa Lingganya keluar? Mau ngobrol bentar.” Izinnya.

Sang papah sempat terkejut, tapi kemudian mengangguk. “Boleh dong, bawa aja Lingga keluar. Yang lama juga gak papa.”

Aksa segera berdiri, lalu menggandeng tangan Lingga.

“Oh iya, makasih martabaknya yang nak Aksa.” Mamah bicara sebelum keduanya benar-benar keluar dari rumah.

-

Kini dua orang dengan perasaan berbeda itu sudah duduk di kursi yang ada di depan rumah Lingga. Mereka masih diam. Aksa bingung mau memulai dari mana. Terlalu canggung.

“Kenapa? Mau ngapain?” Itu Lingga yang bicara. Dirinya tidak bisa menghadapi situasi seperti itu terlalu lama.

“A-ah, itu …” Aksa gugup sendiri, “kak, mau Seblak?” Tanyanya.

Kedua alis Lingga terangkat. “Lo bawa Seblak?”

“Ini.” Aksa menunjukkan kresek plastik yang ada di tangannya.

“Itu kan … “

“Iya, ini Seblak kesukaan Lo. Gue beli di perempatan, tempat langganan Lo, kak.”

“Kenapa? Lo mau minta maaf?” Lingga bertanya, memilih membiarkan bungkusan di tangan Aksa. Yang terpenting sekarang bukan itu.

Aksa menghela nafas panjang. “Bukan.” Ucapnya cukup membuat Lingga kesal. Pikirnya Aksa berubah. Ternyata? Tidak sama sekali. “Gue ke sini mau minjemin bahu gue ke Lo.” Bibir Lingga sontak terkatup. “Lo capek kan, kak? Sini, istirahat di bahu gue. Bonus pelukan juga boleh.” Lanjut pria itu.

“Aksa …”

“Kak, gue gak mau main-main. Serius. Tapi gue sadar kok, dan gue juga ngerti kenapa Lo ngira gue main-main. Tapi kak … gue juga suka sama Lo.” Aksa mulai bicara, menyingkirkan kresek Seblak yang ada di tangannya, digantikan dengan tangan Lingga. Iya, Aksa menggenggam tangan kakak kelas manisnya. “Kak, maafin gue ya? Gue udah sering banget nyakitin Lo, gantungin hubungan kita. Lo pasti capek, sakit juga. Mau istirahat di bahu gue?” Tawarnya.

Bug bug!

Lingga memukul dada Aksa, sebelum dirinya memeluk Aksa dengan kuat. “Dasar bodoh! Gue benci banget sama Aksara Danayaksa! Gue benci banget sama Lo! hiks” Lingga menangis.

Aksa memeluk pria manis itu dengan erat, membiarkan jaketnya basah dengan air mata Lingga. “Iya, benci aja gak papa. Gue tetep sayang sama Lo kok.” Balas Aksa mengelus punggung Lingga.

“Bodoh banget! Lo bodoh! Gue juga bod—”

“Shuuut!” Aksa meletakkan jarinya di bibir Lingga, meminta pria itu berhenti. “Jangan bilang Lo bodoh. Cuma gue yang bodoh, Lo enggak. Jadi ayo gebukin gue lagi, hukum gue. Tendang aja, usir juga gak papa. Tapi jangan heran ya kalo besok gue dateng ke sini lagi? Mau berusaha juga buat dapetin maaf dari Lo.” Aksa berucap sambil mengusap air mata Lingga.

“Gak usah sok manis gitu, bodoh! Gue udah gak suka sama Lo!”

Aksa membawa Lingga masuk kembali dalam pelukannya. “Iya tau, makannya gue mau berjuang. Supaya Lingga suka lagi sama Aksa.” Aksa berucap. Tangannya tak henti mengelus punggung Lingga.

“Gue gak akan terima gitu aja! Udah 18 kali gue di tolak sama Lo!”

“Iya, nanti Lingga tolak Aksa 25 kali ya? Supaya impas?”

Lingga menjauhkan kepalanya dari dada Aksa, lalu mendongak menatap wajah pria tampan itu. “Kalau nolaknya 25 kali, nanti kelamaan dong?” Bibirnya melengkung ke bawah, Aksa tersenyum melihat tingkah pria yang disukainya. “Gak mau lama-lama nolak Aksa, mau jadi pacar Aksa.”

“Kalingga lemah banget ya?” Ejek Aksa main-main.

“Iya, lemah banget. Apalagi kalau hubungannya sama Aksa.”

Aksa tertawa, lalu mengusak surai kakak kelasnya. “Mau makan Seblak dulu?” Tawar Aksa.

Lingga kembali cemberut. “Kok Lo gak nembak gue?” Tanyanya kesal.

“Haha, gak sabar banget kak mau jadi pacar gue.” Aksa membuka kantong kresek itu lalu memberikan satu seblaknya pada Lingga. “Kenapa? Pengen nunjukkin ke mamah kalau gue beneran pacar Lo? Oh iya, gue jadi kepo deh. Lo cerita apa aja sama mamah Lo soal gue?” Tanya Aksa.

“Ish! Aksa nyebelin harusnya gak usah ke sini!!!”

“Haha, iya Lingga lucu. Maaf ya, makan dulu deh. Nanti Aksa tembak.”

“Ih tapi gak mau mati.” Lingga mencebikkan bibirnya lucu.

“Tembaknya bukan pake peluru, tapi pake cinta. Masih nolak?”

-

cw // kiss


Tangannya masih setia memegang nampan berisi jus tomat. Terpaksa menarik sebuah kursi, duduk di depan kamar Rendika. Menunggu pria itu keluar, tentu saja sambil membujuknya lewat chat. Mau secara langsung, tapi Rendika tidak mau keluar.

Saran Raihan memang bagus, tapi Jendra tidak mau membuat Rendika tambah kesal. Jika dia membuka pintu tanpa sepengetahuan Rendika, mungkin pria itu justru tidak mau bicara dengan Jendra. Jendra memang keras kepala, tapi dia tidak mau Rendika marah lebih lama.

Ingin sekali masalah ini cepat selesai.

Ceklek.

Pintu kamar Rendika terbuka, pria itu datang. Matanya merah, sepertinya dia menangis. Jendra merasa makin bersalah. “Nih jus tomatnya,” Jendra berucap, menyerahkan nampan di tangannya ke Rendika.

Rendika mengambil gelas yang berisi jus tomat, lalu meminumnya sampai habis. “Cahaya bintang bagus banget kan? Gue mau liat.” Rendika berucap.

Berujung dengan keduanya yang kini sudah duduk berdampingan di taman yang berada di belakang rumah. Tangan Rendika tidak kosong, Endy ada di sana. Di dalam kandang kecil yang Rendika peluk.

Keduanya masih diam. Jendra bingung mau mengawali kata dengan apa, Rendika juga sibuk menatap bintang.

“Gue mau minta maaf.” Jendra mengawali. Menurunkan egonya, agar masalah ini lekas selesai. “Gue ceroboh, sampai-sampai salah akun.” Lanjutnya.

Rendika tidak menoleh, tapi dia mulai bicara. “Iya, gak papa. Gue juga minta maaf, gue duluan yang kirim fotonya.” Balas Rendika. Pria itu masih ingat, niatnya mengirim foto, agar Jendra berhenti marah. Nyatanya Jendra malah memosting fotonya di akun Twitter.

“Rendika, gue gak mau maksa. Jawab aja semau Lo. Mau publikasiin hubungan kita sekarang, atau nanti?” Jendra bertanya.

Jujur, Jendra ingin sekali mengatakan pada semua orang, jika Rendika adalah tunangannya. Tapi Jendra juga tidak mau memaksa. Entah apa yang sudah Rendika lakukan, Jendra hanya mau pria itu bahagia. Kadang Jendra memang egois, tapi sumpah demi apapun, Jendra melakukan itu hanya sebagai candaan. Karena dia memang suka melihat Rendika kesal.

“Lo mau kita go publik?” Bukannya menjawab, Rendika balik bertanya.

Kalut sekali pikirannya. Bingung. Rendika selalu mengecap Jendra keras kepala dan egois, tapi Rendika baru sadar ternyata dirinya juga sama egoisnya. Memaksa Jendra menutupi hubungan mereka.

“Ngapain nanya? Gue yakin Lo udah tau jawabannya.”

Rendika menghela nafas. “Gue mau nanya sama Lo. Selama ini, Lo anggep gue apa?”

“Tunangan gue, orang yang gue sayang dan orang yang harus gue buat bahagia.”

“Jangan bohong.”

“Gue serius, Rendika.” Jendra menjawab. “Apa semuanya masih kurang jelas?”

“Bukan kurang jelas, gue cuma terlalu shock.”

“Kenapa? Karena dulunya kita musuhan?”

Rendika mengangguk. “Raihan udah jelasin ke gue, dan gue ngerti. Orang yang musuhan kaya kita berdua, berhak pacaran. Berhak nyimpen perasaan buat satu sama lain, tanpa ada campur tangan orang lain.” Rendika meletakkan kandang Endy ke bawah, lalu menatap Jendra. “Tapi sampai sekarang, gue masih bingung sama perasaan gue sendiri.”

“Kalau bingung, gak usah dipaksa. Pelan-pelan aja, gue sabar kok.” Balas Jendra. Meraih tangan Rendika, lalu mengelusnya secara perlahan.

Tegang sekali, Jendra mau Rendika kembali tenang.

“Jendra, Lo terlalu baik. Lo yakin mau sama gue?”

Jendra mendekat, menuntun kepala Rendika agar tidur di bahunya. Rendika tidak menolak, membiarkan pucuk kepalanya mendapatkan kecupan. “Gue yakin sama hati gue.” Balas Jendra.

Rendika terdiam. Jantungnya berdegup dengan kencang. Semua yang dilakukan Jendra, selalu saja berhasil membuat Rendika salah tingkah. Tapi Rendika tidak menyangkal, jika semua perlakuan Jendra sangatlah manis.

“Rendika, gue mau jujur.” Jendra bicara, setelah mengumpulkan semua keberaniannya. “Gue suka sama Lo, Rendika. Bahkan gue udah jatuh cinta sama Lo. Gue tau, ini pasti kedengaran aneh karena sebelumnya kita musuhan. Gue juga gak tau, kenapa hati gue berubah secepat ini. Tapi gue gak mau munafik, hati gue maunya Lo. Persetan sama status kita sebelumnya, yang pasti sekarang gue udah jatuh cinta sama Lo. Gue kalah, gue mau Lo. Gue mau Lo jadi milik gue sendiri. Gue mau bilang ke semua orang kalau Lo udah tunangan sama gue. Gue mau nunjukkin ke semua orang, kalau gue beruntung bisa tunangan sama Lo. Gue pengen hubungan kita lebih dari musuh.” Jendra berlutut, tepat di hadapan Rendika. Tangannya memegang tangan Rendika, menatap matanya. “Rendika, Lo mau jadi pacar gue?” Lanjutnya. Sukses membuat degup jantung Rendika semakin cepat.

“Jendra ... “

“Gue gak main-main, gue terlanjur suka sama Lo. Gak papa kalau Lo belum siap go publik, gue ngerti. Tapi tolong ... jangan denial. Dengerin kata hati Lo. Jangan anggep gue musuh. Anggep gue orang asing yang jatuh cinta sama Lo.”

Rendika melepas tautan tangan mereka, lalu membiarkan Jendra berdiri. Berhadapan dengannya. “Lo mau jawaban jujur kan?” Jendra mengangguk. “Cium gue sekarang.”

Terkejut? Iya. Tapi tanpa banyak bicara, Jendra menarik tengkuk Rendika. Membawa bibir mereka bertemu. Lalu mulai menggerakkan bibirnya. Rendika memejamkan mata, mengalungkan tangannya di leher Jendra. Menikmati lumatan yang diberikan tunangannya.

Rendika tidak mau denial lagi, tidak mau egois lagi. Bukan hanya Jendra yang kalah, tapi Rendika juga. Dia menyerah, lelah terus-menerus menahan keinginan hatinya.

Ciuman mereka terlepas, Jendra membelai pipi Rendika yang masih memejamkan mata. Menetralkan deru nafas yang memburu. Cantik sekali, Jendra kembali jatuh cinta.

Netra mereka kembali bertemu. “Gue boleh minta lagi?” Jendra bertanya.

Rendika memejamkan matanya, lalu mengangguk. “Sekarang kita pacaran, Lo boleh minta kapanpun. Semau Lo. Gak usah izin sama gue.”

“Mulai sekarang, Lo resmi milik gue, Rendika.”

Jendra mengecup bibir Rendika, menahan tengkuk pria itu. Lalu memberikan lumatan-lumatan. Menunjukkan seberapa besar rasa cintanya pada Rendika.

Ciuman mereka semakin panas. Lidah Jendra menyusup masuk ke dalam rongga mulut Rendika. Tentu saja Rendika membiarkannya.

Pusing sekali kepalanya, ciuman Jendra begitu memabukkan.

Malam ini, keduanya berhasil mengesampingkan ego mereka.

Ciuman mereka terlepas, Jendra mengecup bibir Rendika. Lalu menyentuh benda kenyal itu menggunakan ibu jarinya.

“Bibir Lo, candu banget.” Jendra memuji, masih menatap bibir merah muda itu.

“Gue ragu, jangan-jangan Lo udah pernah ciuman sama yang lain.”

“Gak pernah sayang, Lo jadi yang pertama.” Sangkal Jendra.

tw // sudden kiss


Pikirannya sedang kalut. Ini semua karena Jendra. Kenapa pria itu suka sekali membuat mood Rendika anjlok? Nampaknya dia tidak bisa membiarkan Rendika menikmati waktunya sendiri.

Jendra itu egois, dia tidak mau dibantah. Dia ingin Rendika menuruti semua kata-katanya. Jendra mahir sekali membuat kata-kata manis. Jika saja Rendika tidak melabeli pria itu sebagai musuh, mungkin saja Rendika sudah jatuh hati pada Jendra.

Semua kata-katanya, terdengar seperti buaya.

Kakinya melangkah, entah menuju ke mana. Yang terpenting, Rendika tidak bertemu dengan Jendra. Rendika yakin, tunangannya itu pasti sedang mencari di mana keberadaan Rendika. Tentu saja dia ingin menjelaskan semua hal yang dianggapnya benar.

“Kenapa sih gue harus kejebak sama Jendra? Terlebih lagi, sekarang gue udah tunangan sama dia.” Langkahnya terhenti, lalu dia duduk di atas rumput yang berada di taman.

Ternyata Rendika sudah sampai di taman. Pria itu mengambil tempat di bawah sebuah pohon besar. Berharap Jendra tidak akan menemukan keberadaannya. Anggap saja mereka sedang bermain petak umpet.

Tunangan. Tentu saja itu kata sakral, yang tidak bisa dijadikan sebuah mainan. Label itu, cukup membebani Rendika. Mungkin bukan hanya untuk Rendika, berlaku juga untuk semua orang di luar sana.

Rendika tidak bisa bermain-main. Dia tau hubungannya dengan Jendra, bisa terjadi karena permintaan orang tua. Walaupun begitu, Rendika tidak bisa berlaku seenaknya. Sejak dia bertunangan dengan Jendra, hidupnya terasa berubah. Banyak hal yang dilarang Jendra, pria itu suka sekali mengaturnya. Bahkan beban di pundak Rendika kian bertambah karena ucapan sang mamah.

'Kamu harus buat diri kamu pantas bersanding dengan Jendra.'

Itu bukan perkara mudah.

“Theo... Ngapain Lo bawa gue ke sini?”

Suara itu berhasil mengalihkan perhatian Rendika. Dia dapat melihat Theo menarik tangan Yudi, membawanya duduk di salah satu bangku taman yang berada tepat di depan Rendika.

Mungkin dua orang itu tidak menyadari keberadaan Rendika.

“Yud, gue kangen banget sama Lo.” Ucap Theo berbisik.

Perasaan Rendika mendadak tidak enak. Ingin kabur, tapi dia takut merusak suasana. Bagaimana kalau Yudi dan Theo sadar jika Rendika ada di sini? Mungkin keadaan akan berubah jadi canggung. Tapi kalau Rendika tetap di sini.... dia tidak tau apa yang akan terjadi, tapi Rendika tidak menyangkal jika dirinya penasaran.

Tak apa 'kan jika Rendika sedikit mengintip?

Penasaran dengan hubungan dua orang itu.

Tangan Theo bergerak menangkup wajah Yudi. Entah kenapa jantung Rendika justru berdegup dengan kencang. Dengan susah payah dia menelan salivanya saat Theo mengikis jarak.

“Yud, i want to kiss your lips.” Bisik Theo mampu membuat bulu kuduk Rendika berdiri.

Yudi mengangguk, lalu Rendika dapat melihat pria itu menutup mata. Seolah pasrah dan membiarkan dirinya dicium Theo. Apa begini rasanya pacaran? Harus siap dicium kapan saja?

Saat kedua bibir itu hampir menyatu, ada sebuah tangan yang meraih wajah Rendika.

Cup.

Bola mata Rendika membulat sempurna. Dapat dia rasakan ada benda kenyal yang menempel di bibirnya. Hanya sekedar menempel, lalu segera terlepas dalam hitungan detik.

“Bodoh. Ngapain cari tempat sembunyi di sini.” Itu Jendra. Pria itu berjongkok di hadapan Rendika, membuat Rendika tak bisa melihat apa yang sedang dilakukan Theo dan Yudi.

“Jendra?” Balas Rendika berbisik.

Yang dipanggil namanya mengangguk. Lalu membawa Rendika masuk ke dalam pelukannya, menenggelamkan wajah pria itu di dadanya. Rendika tidak bisa menolak, namun dia juga tidak bisa membalas.

Masih bingung dengan apa yang barusan terjadi.

“Jendra...” Rendika berucap, masih berbisik. Sudah tidak perduli lagi dengan Theo dan Yudi yang ada di depan sana. “Kenapa Lo cium gue?” Tanya Rendika.

“Bisa kita bahas masalah ini nanti?” Jendra masih berbisik. Tidak ada niatan melepas pelukan mereka.


“Gue mau ke toilet. Lo tidur aja.” Jendra berucap saat mereka baru saja masuk ke dalam kamar.

Pikiran Rendika kosong. Ini bukan kali pertama dirinya berciuman dengan orang lain. Maksudnya, Rendika sudah sering sekali melakukan hal itu. Mempertemukan bibirnya dengan bibir orang lain, berujung dengan terjadinya lumatan panas yang bergairah. Tapi Rendika bisa melupakan itu dalam sekejap.

Tapi kenapa kali ini rasanya berbeda? Kenapa jantungnya berdetak dengan cepat? Kenapa Rendika tidak bisa melupakan rasa itu dalam sekejap. Bibir Jendra, masih terasa. Hanya menempel, tidak ada lumatan. Tapi efeknya sungguh berlebihan.

“Gue udah suruh Lo tidur.” Jendra keluar dari toilet.

Rendika menatap pria itu. “Why did you kiss me?” Tanya Rendika.

“Sorry, I can't control myself.” Jendra membalas. “Gue liat Yudi hampir ciuman sama Theo, ujungnya gue ngebayangin gimana rasa bibir Lo. Gue emang brengsek. Tapi gue bener-bener minta maaf.” Lanjutnya yang kini berdiri tepat di hadapan Rendika.

“Jendra, gue boleh minta sesuatu sama Lo?”

Satu alis Jendra terangkat. “Apa?” Tanyanya.

“Kiss me again.”

“Ren—”

“Kiss me, Jendra. Please,”

“Shit.”

Jendra segera meraih wajah Rendika, lalu mendekatkan wajahnya dengan pria itu. “Jangan nyesel. Lo sendiri yang minta.” Ucapnya sebelum menyatukan dua bibir berbeda volume itu.

Rendika memejamkan mata, tangannya meremas kaos Jendra. Dapat dia rasakan, Jendra mulai menggerakkan bibirnya. Dunia Rendika serasa melayang, kakinya terasa lemas. Padahal ini hanya sebuah ciuman. Kenapa Rendika bisa selemah ini?

Pusing.

Tautan bibir mereka terlepas. Rendika kurang puas.

“Dika, kita belum cukup umur. Jadi tolong jangan minta lebih.” Bisik Jendra.

Jendra datang membawa nampan yang berisikan 7 gelas kopi. Dia meletakkan nampan itu ditengah-tengah, lalu duduk tepat di samping Rendika. Rendika hanya memutar bola matanya malas saat Jendra menatap jail ke arahnya.

Alis Theo mengernyit. “Lo buatin gue kopi?” Tanyanya yang tentu saja dibalas anggukan oleh Jendra. “Bro, harusnya Lo nanya dulu anjir. Gue gak bisa minum kopi. Jadinya 'kan mubazir.” Lanjut Theo.

“Tadi Rendika nyuruh gue buatin kalian semua kopi, marah sama Rendika aja.” Ucapnya enteng.

“Ngapain lo nyalahin gue anjir? Kan itu salah Lo sendiri. Makannya, nanya dulu sebelum buat kopi.”

“Lo suruh gue buatin tujuh gelas kopi. Jadi, letak kesalahan gue di mana?”

“Udah udah! Ribut anjir jadinya. Kapan kita main?” Itu Hirza yang bicara.

“Kopinya biar gue yang minum, gak usah khawatir.” Tambah Jevan mengambil dua gelas kopi sekaligus.

Raihan menatap Jevan, cukup membuat Jevan gugup. Bagaimana tidak gugup? Raihan begitu tampan. SKSKSK Jevan tambah suka. “Jev, gak baik loh minum kopi banyak-banyak. Perut Lo bisa sakit.” Ucap Raihan tanpa mengalihkan pandangannya.

“Udah sini, biar gue aja yang minum kopinya.” Rendika berucap. Agak kesal, permainan mereka tidak dimulai-mulai.

Kopi yang tadinya berada di tangan Rendika dalam sekejap beralih ke Jendra. “Kalau perut Jevan bisa sakit, perut lo juga bisa sakit. Biar gue aja yang minum.”

“Haduh, dunia serasa milik berdua, gue yang gak ada pasangan cuma bisa planga-plongo.” Rutuk Hirza. Tangannya bergerak mengambil kopi yang ada pada Jendra. “Udah ye, jangan debat lagi. Kopinya gue kasihin ke satpam yang ada di depan vila. Gini aja dibuat repot. Aneh.”


Kini ketujuh orang itu sudah duduk melingkar. Samping kanan kiri Rendika, ada Jevan dan Theo, Raihan berada di samping kanan Theo, lalu disusul Jendra, Hirza dan Yudi yang berada di samping Jevan.

“Oke, gue yang jadi wasit.” Hirza bicara. Mengambil botol yang ada di tengah-tengah lalu memutarnya. Tutup botol berhenti tepat di hadapan Rendika, ada decakan yang keluar dari bibir pemuda itu. “Oke, langsung gue kasih pertanyaan.” Hirza mengambil sebuah kertas lalu membacanya.

“Jawab dalam 10 detik. Kalau lewat dari itu, Lo harus terima hukuman. Siap?” Rendika mengangguk. “Ini pertanyaannya udah gue acak ya, jadi jangan kira gue berbuat curang. Oke, langsung aja. Seratus dikali empat dibagi empat ditambah tujuh, sama dengan???”

Rendika buru-buru menghitung semua angka yang tadi disebutkan Hirza, sedangkan Hirza masih asik menghitung dari satu sampai sepuluh. “107!” Teriak Rendika. Jantungnya berdegup, berharap jawabannya benar.

“BENER!!!” Respon Hirza.

Rendika tersenyum bangga. Tak sengaja matanya menatap Jendra yang menunjukkan senyum miringnya. Cukup membuat Rendika kesal bukan main.

“Jadi, Ren. Lo mau nanya siapa?”

Mata Rendika berkeliling menatap satu persatu orang yang berada di depannya. Semua membuang muka, kecuali satu orang, yaitu Jendra. Kedua alisnya terangkat, seolah sedang mengatakan 'apa?' dengan nada menyebalkan. Cih, kenapa sih pria itu sangat menyebalkan? Batin Rendika kesal.

“Gue mau nanya sama Yudi.” Yang disebut namanya sempat terkejut. Kemudian berdehem.

“Nanya apa?”

“Kenapa Lo jadian sama Theo?”

Pertanyaan yang menjebak. Yudi bukan orang romantis yang bisa merangkai kata-kata. Perasaan Theo jadi tidak enak. Jika sudah begini, ujungnya mereka akan adu bacot lagi. Rendika, sepertinya dia sengaja melakukan ini. Lihatlah senyum remeh yang muncul di wajahnya.

Theo bersumpah akan balas dendam.

“Karena gue capek dikejar-kejar sama dia, makannya gue terima pas dia nyatain perasaanya buat yang ke 9 kali.”

Sudah dibilang, Yudi itu tidak bisa romantis. Theo hanya tersenyum, sambil melontarkan semua umpatan untuk Rendika di dalam hati.

Putaran kedua, berhenti di Raihan. Semua yang ada di sana mendesah kecewa. “Kenapa harus Raihan? Semua pertanyaan bisa dia jawab anjir.” Itu Theo yang mengeluh.

“Sini, biar gue yang pilih pertanyaannya.” Jevan mengambil kertas yang ada di tangan Hirza. Lalu menatap Raihan. “Ibukota Malaysia????”

“Kuala lumpur.”

“Anjir, kenapa Lo cari pertanyaan yang gampang. Yang lebih berbobot kek.” Hirza berucap.

“Ini 'kan materi anak IPS, gue kira Raihan gak tau jawabannya.”

“Dia mah materi anak TKR aja tau.” Yudi menanggapi.

Raihan hanya tersenyum. “Gue mau nanya sama Jevan.” Tak ayal, yang namanya dipanggil gugup. Apakah malam ini Raihan akan menyatakan perasaannya? Apakah dia sadar selama ini Jevan sudah menyimpan rasa untuk pria itu? “Siapa crush Lo?”

Kesal.

Ternyata semuanya tidak sesuai dengan apa yang dia mau. “Jangan kepo.” Jawabnya ketus tanpa mau melihat Raihan.

“Loh, tapikan harus kasih jawaban. Udah ada rulesnya sendiri.” Protes Raihan.

Jevan berdecak kesal. “Crush gue— ya elo!” Jawab Jevan sambil menunjuk Raihan. “Makannya, jangan fokus sama pelajaran terus. Sampe Lo gak sadar gue udah suka sama Lo dari lama.” Lanjutnya mengeluarkan semua kekesalan yang selama ini dia pendam.

Hening.

Alis Jevan terangkat. “Kenapa? Jawaban gue salah?” Tanyanya bingung.

Hirza berdehem. “Enggak kok, ayo lanjut.”


Sudah 11 putaran terlewati, sampai diputar ke 12 botol berhenti tepat di hadapan Theo. Pria itu bergerak kegirangan, akhirnya dia bisa balas dendam pada Rendika.

“Dua puluh lima dikali empat ditambah lima sama dengan???”

“105!!! Gampang banget anjir, soal anak SD.” Jawab Theo bangga. Sekaligus sombong sedikit.

“Wkwk, ya gak tau. Orang munculnya pertanyaan yang ini.” Jawab Hirza. “Langsung aja, Lo mau nanya sama siapa?” Tanyanya.

Mata Theo menatap Rendika, Rendika malah mengangkat alisnya. “Rendika.” Ucap Theo, pria itu bersusah payah mengendalikan raut wajahnya. Sedangkan Rendika terlihat kebingungan, menunggu pertanyaan Theo.

“Lo mau ciuman sama Jendra gak?”

Deg.

Matanya berkedip beberapa kali. “Apaan sih anjir, pertanyaan Lo gak bermutu. Ganti.”

“Gak bisa diganti. Jawab yang jujur, Rendika.” Jendra ikut berpendapat. Cukup membuat Rendika kesal.

Baru ingat, tadi dirinya sengaja mengerjai Theo dan Yudi. Mungkin Theo ingin balas dendam. “Kenapa enggak? Toh, Jendra tunangan gue.” Jawab Rendika santai. Matanya menatap apapun yang ada di ruangan ini, yang penting tidak menatap mata Jendra.

Senyum muncul di wajah Jendra, entah kenapa dirinya bahagia. “Coba deh, kalian ciuman di sini.” Itu Jevan yang bicara.

“Anjir, ngelunjak ya Lo!” Balas Rendika kesal.

“Wkwk, becanda anjing. Serius banget.” Balas Jevan.

Yang lain tertawa melihat pipi Rendika memerah seperti kepiting rebus, tak terkecuali Jendra yang menganggap Rendika lucu.


“Jev, gue mau tidur sama Lo boleh gak? Nanti Theo sama Jendra.”

Permainan sudah selesai, semuanya sudah masuk ke dalam kamar. Kecuali Rendika, Jevan dan Raihan yang mendapatkan hukuman. Mereka kalah suit, jadi ketiganya harus membersihkan ruangan yang dipakai untuk bermain.

“Ngapain Lo ngomong sama gue? Sana ngomong sama Theo. Kalau dia mau tidur sama Jendra, ya Lo boleh tidur sama gue.” Jawab Jevan.

Rendika berdecak kesal. Theo mana mau diajak kerja sama.


Hamparan bintang di langit dijadikan Rendika sebagai objek penglihatan malam ini. Dia tidak perduli dengan angin malam yang sedari tadi menabrak tubuhnya. Mungkin besok dia bisa sakit? Tapi Rendika harap tidak.

Dingin.

Tapi Rendika tidak mau masuk ke dalam kamarnya, Jendra adalah alasan utama. Entah kenapa Rendika tidak mau banyak berinteraksi dengan pria yang berstatus sebagai tunangannya itu. Sudah dibilang, dampaknya besar. Rendika tidak mau sakit hati.

“Ngapain ada di sini? Takut gue cium?”

Suara yang tidak asing, siapa lagi jika bukan Jendra. Pria itu berdiri tepat di belakang Rendika yang duduk di hadapan kolam renang. Tangannya masuk ke dalam kantong celana, lalu ikut menatap objek yang sedang dilihat Rendika.

“Bintangnya emang indah, pantesan Lo betah ada di sini.” Jendra kembali berucap. Nyatanya, bintang malam ini memang bersinar terang. Sangat cantik.

“Gue kira Lo udah tidur.” Rendika berucap. Menumpukan dagunya di kedua tangan. Masih tidak mau berbalik menatap Jendra.

Sebuah jaket tersampir di bahunya, Jendra duduk tepat di samping Rendika. “Gue gak ngelarang Lo liat bintang, tapi pake jaket. Dingin. Jangan sampe Lo sakit.” Jendra berucap.

Tentu saja hal tersebut mampu membuat jantung Rendika berdegup dengan kencang. Untung saja lampu di sekitar mereka tidak terlalu terang, jadi Jendra tidak sadar dengan pipi Rendika yang sudah memerah.

“Lo gak mau tidur karena satu kamar sama gue?”

“Enggak. Gue emang mau liat bintang 'kok.”

“Bohong banget.”

“Keliatan ya?”

“Iya.” Jendra menjawab, “udah sana tidur. Gue tidur di kamar Raihan.” Suruhnya.

Tapi Rendika menggeleng. “Lihat deh, bulannya cantik banget.”

“Iya, cantik banget.” Jawab Jendra, matanya masih asik menatap wajah Rendika. Walaupun lampu di sekitar mereka remang, tapi Jendra dapat melihat seulas senyum yang ada di wajah Rendika. “Mau pergi ke sana sama gue?”

Rendika tersenyum. “Lo kayanya suka bercanda. Tapi sayang, candaan Lo gak lucu.”

“Gue gak lagi bercanda.”

“Jendra,” Rendika memanggil. Pria itu menatap Jendra. “Jangan tidur sama Raihan, tidur sama gue aja.”

“Lo banyak mau ya?”

“Bukan banyak mau, tapi gue berubah pikiran.” Sangkal Rendika. “Gimana kalau kita tidur di sini? Sambil liat bintang?” Usul Rendika.

“Dingin, sayang. Nanti Lo bisa sakit.”

“Siapa yang kasih izin Lo buat manggil gue sayang?” Tanya Rendika.

“Gue sendiri.” Jendra berdiri. “Udah ayo masuk. Nanti kalau gue udah sukses, gue buatin rumah yang atapnya bisa dibuka. Supaya Lo bisa liat bintang setiap hari.” Tangannya terulur, menunggu Rendika menerimanya.

Rendika menerima uluran tangan itu, lalu berdiri. “So sweet banget tunangan guee.”

“Makin sayang nggak?”

“Iya, tapi sedikit. Sedikit banget. Cuma 0,01 dari 100.”

“Sedikit banget, tapi gak papa. Setidaknya ada peningkatan.”

Lalu keduanya tertawa. Menganggap obrolan mereka kelewat lucu dan tidak masuk akal.

Apapun itu, nyatanya malam ini mereka semakin menghilangkan jarak yang ada. Mengobrol, tertawa, bahkan merencanakan masa depan bersama.

nnn

Image

Image