Aksa dan malam itu


Aksa melajukan motornya dengan cepat, sudah tidak sabar bertemu dengan Lingga. Aksa akui dirinya harus merasa malu di hadapan Lingga, bahkan dirinya tidak pantas menunjukkan wajah di hadapan Lingga. Tapi apa boleh buat? Aksa akui dirinya bodoh. Bodoh karena sempat merasakan keraguan.

Aksa merasa nyaman, apalagi ketika Lingga berada di dekatnya. Bahkan senyum Aksa selalu muncul saat melihat notif pesan dari Lingga. Seakan beberapa kalimat yang Lingga kirim bisa menjadi semangat tersendiri untuknya.

Aksa tau, sudah begitu besar dampak yang Lingga berikan kepada hatinya. Tapi Aksa masih ragu, bingung mau melanjutkan atau berhenti. Hatinya terlalu bimbang. Bisa dibilang Aksa sedang bertarung dengan pemikirannya sendiri. Dia tidak mau kehilangan Lingga, tapi dia juga tidak mau berada terlalu dekat dengan kakak kelasnya yang bernama Kalingga Gautama.

Lingga itu sangat terkenal, seluruh penjuru sekolah pasti tau siapa Lingga. Murid yang mudah bersosialisasi, murid yang sangat ramah, kesayangan guru, memiliki banyak prestasi dan tentunya tampan. Apa yang ada dipikiran orang lain saat mengetahui Lingga berkencan dengan orang yang sulit bersosialisasi seperti Aksa? Itulah yang selama ini menggangu pikirannya.

Aksa tidak mau namanya jadi buah bibir di sekolah, Aksa mau hidupnya tenang. Sama seperti sebelum dia menolong Lingga di lapangan.

Ah, mengingat kejadian itu membuat Aksa tersenyum. Motornya berhenti ketika melihat penjual seblak. Dia pun turun dan memesan dua bungkus seblak. “Pak, seblaknya dua. Yang satu jangan dikasih mie.”

Selesai dengan pesanannya Aksa duduk di salah satu kursi, untungnya hari ini tidak banyak pembeli. Hanya ada dirinya sendiri. Kembali ke kejadian di lapangan yang bisa dibilang sangat memalukan. Entah itu bagi Aksa, maupun Lingga.

Saat itu Aksa baru saja selesai mengembalikan buku paket ke perpustakaan, dia berjalan sendiri. Memilih melewati lapangan yang memang sangat ramai. Tidak seperti biasanya, kala itu Aksa melewati lapangan. Ingin melihat kegiatan di sana, pikirnya. Biasanya, Aksa lebih memilih lewat jalan lain. Pria itu tidak suka keramaian.

Saat dirinya asik melihat beberapa siswa yang sedang bermain basket, pria itu terkejut kala mendengar ada yang merengek. Di sanalah kali pertamanya dia melihat Lingga. Sejujurnya Lingga memang sangat terkenal, hanya saja Aksa tidak pernah melihat wajah pria itu. Aksa malas keluar kelas, sehingga dia tidak tau bagaimana keadaan di luar kelas. Lalu bagaimana Aksa tau pria itu adalah Lingga?

Itu karena dia tidak sengaja mendengar percakapan dua orang itu.

“Aduh Lingga, makannya hati-hati dong. Kebiasaan banget suka ceroboh gini.” Dia adalah Dhava, kekasih Vano—temannya— yang sering Aksa lihat.

Lingga mengerucutkan bibirnya, Aksa masih mengingat bagaimana ekspresi pria manis itu saat menahan bulir air mata yang akan jatuh dari matanya. “Ya mana gue tau bakalan keseleo gini.” Balasnya.

Dhava memutar bola mata malas. “Kan udah gue bilang, gak usah ikut pelajaran olahraga lagi. Lagian pak Agus juga suruh Lo diem di kelas aja kan? Kepala batu sih.”

Lingga mencebikkan bibirnya, saat itulah Aksa merasa ada yang aneh dengan dirinya. “Maaf …” cicit pria manis itu menghasilkan dengusan nafas dari Dhava.

Setelahnya Dhava berdiri, “ya udah bentar, gue mau panggil anak PMR dulu supaya bantuin luka Lo ini.” Tanpa mendengarkan kata Lingga, Dhava memilih segera berlari meninggalkan Lingga.

Lingga makin mencebikkan bibirnya, Aksa dapat melihat air mata makin menggenang di pelupuk matanya. Pria manis itu memegang pergelangan kakinya, dan meringis kala dirinya mencoba menggerakkan kakinya yang keseleo.

Aksa yang melihatnya entah kenapa sangat tidak tega. Maka dirinya pun segera mendekat, dan tanpa banyak basa-basi menggendong Lingga dan membawanya ke UKS.

“Lo siapa? Kenapa bantuin gue?” Lingga bertanya tepat di telinga Aksa. Pria itu masih mencoba melihat wajah orang yang menggendongnya saat itu.

Aksa berdehem, bingung mau menjawab apa. Karena bukan hanya Lingga yang bingung dengan sikap tiba-tiba Aksa, tapi Aksa sendiri bingung juga. Dia yang tidak biasanya peduli dengan keadaan sekitar, tiba-tiba saja menolong kakak kelasnya yang bernama Lingga.

Senyumnya mengembang, kembali ke keadaan saat ini, seblaknya sudah jadi. Aksa kembali memacu kuda besinya menuju rumah Lingga. Pasti pria itu senang Aksa membawakan seblak tanpa mie kesukaannya.

Aksa akui sulit sekali mengumpulkan keberanian untuk menjalin hubungan dengan Lingga, tapi dia tidak mau kehilangan pria itu. Jadi Aksa hanya ingin menghilangkan ketakutannya sekarang, berada di samping Lingga jelas lebih baik. Dia tidak mau uring-uringan lagi. Persetan dengan pandangan orang lain, yang ada dipikirannya sekarang hanya Lingga. Kalingga Gautama seorang.

Lingga lelah, dan pria itu lelah karena ulah Aksa. Aksa harus menebus semua kesalahannya. Jika Lingga menolaknya pun Aksa sudah siap, dia akan berjuang sama seperti yang dilakukan Lingga sebelumnya.

Ini bukan salah Lingga yang memang terkenal, bukan juga salah Aksa yang memang sulit bersosialisasi. Hanya saja, semua terjadi karena dirinya terlalu ragu untuk memulai. Hanya karena masalah sepele, Aksa tidak mau membalas perasaan Lingga. Dia akan mengucapkan banyak kata maaf sampai Lingga mau memaafkannya. Aksa tidak perduli, yang terpenting baginya sekarang hanyalah Lingga. Hanya Lingga seorang.

- Tangannya saling bertaut, Lingga menunggu. Apakah perkataan Aksa benar? Sebenarnya Lingga agak takut melihat Aksa, malu juga. Lingga memang berharap Aksa tidak datang malam ini, tapi hatinya berkata lain. Lingga sangat merindukan Aksa. Dia sudah mencoba menjauh, tapi hasilnya? Entahlah, Lingga sendiri kurang yakin.

“Lingga, ada temen kamu tuh.” Mamahnya bicara dari balik pintu kamar.

“I-iya mah, nanti Lingga turun.” Balasnya.

Jantung Lingga berdegup dengan kencang, apa itu Aksa? Atau orang lain? Lingga tidak tau harus berharap atau tidak. Dia bingung sekali. Semua ini bisa dia rasakan hanya karena Aksa. Aksa seorang.

Maka dengan berani, Lingga turun menuju ruang tamu. Hati Lingga mencelos saat Aksa benar ada di sana, sedang duduk dan mengobrol bersama sang papah. Mendadak Lingga ingin sekali berlari kembali menuju kamarnya. Malam ini Aksa terlihat sangat tampan, Lingga takut hatinya kembali goyah.

“Nah, itu Lingga udah turun.” Terlambat. Saat Lingga berniat balik ke kamarnya, sang mamah yang baru saja kembali dari dapur lebih dulu melihatnya.

Alhasil di sinilah Lingga sekarang, berdiri di hadapan Aksa.

“Ngapain kamu berdiri gitu? Duduk dong, tanyain ada perlu apa Aksa ke sini?” Ayahnya mulai bicara setelah meminum kopi yang istrinya bawakan.

“Oh, dia pacar kamu kan sayang? Yang sering kamu ceritain ke mamah?” Lingga menggigit bibir bawahnya malu, mamahnya tidak harus buka kartu seperti ini.

Dirinya akui sering melebihkan-lebihkan cerita, terlebih lagi jika berhubungan dengan Aksa. Lingga suka sekali melabeli pria itu sebagai pacarnya. Dia tidak mengira mamahnya akan mengungkit hal itu tepat di hadapan Aksa. Mau ditaruh di mana muka Lingga?

Dapat Lingga lihat pria yang disukainya itu tersenyum. “Iya, Tante. Saya pacarnya Kalingga.” Ucap Aksa sukses membuat Lingga menatap heran pria itu. Aksa melihatnya, tapi lebih memilih menatap kedua orang tua Lingga. “Om, Tante, boleh saya bawa Lingganya keluar? Mau ngobrol bentar.” Izinnya.

Sang papah sempat terkejut, tapi kemudian mengangguk. “Boleh dong, bawa aja Lingga keluar. Yang lama juga gak papa.”

Aksa segera berdiri, lalu menggandeng tangan Lingga.

“Oh iya, makasih martabaknya yang nak Aksa.” Mamah bicara sebelum keduanya benar-benar keluar dari rumah.

-

Kini dua orang dengan perasaan berbeda itu sudah duduk di kursi yang ada di depan rumah Lingga. Mereka masih diam. Aksa bingung mau memulai dari mana. Terlalu canggung.

“Kenapa? Mau ngapain?” Itu Lingga yang bicara. Dirinya tidak bisa menghadapi situasi seperti itu terlalu lama.

“A-ah, itu …” Aksa gugup sendiri, “kak, mau Seblak?” Tanyanya.

Kedua alis Lingga terangkat. “Lo bawa Seblak?”

“Ini.” Aksa menunjukkan kresek plastik yang ada di tangannya.

“Itu kan … “

“Iya, ini Seblak kesukaan Lo. Gue beli di perempatan, tempat langganan Lo, kak.”

“Kenapa? Lo mau minta maaf?” Lingga bertanya, memilih membiarkan bungkusan di tangan Aksa. Yang terpenting sekarang bukan itu.

Aksa menghela nafas panjang. “Bukan.” Ucapnya cukup membuat Lingga kesal. Pikirnya Aksa berubah. Ternyata? Tidak sama sekali. “Gue ke sini mau minjemin bahu gue ke Lo.” Bibir Lingga sontak terkatup. “Lo capek kan, kak? Sini, istirahat di bahu gue. Bonus pelukan juga boleh.” Lanjut pria itu.

“Aksa …”

“Kak, gue gak mau main-main. Serius. Tapi gue sadar kok, dan gue juga ngerti kenapa Lo ngira gue main-main. Tapi kak … gue juga suka sama Lo.” Aksa mulai bicara, menyingkirkan kresek Seblak yang ada di tangannya, digantikan dengan tangan Lingga. Iya, Aksa menggenggam tangan kakak kelas manisnya. “Kak, maafin gue ya? Gue udah sering banget nyakitin Lo, gantungin hubungan kita. Lo pasti capek, sakit juga. Mau istirahat di bahu gue?” Tawarnya.

Bug bug!

Lingga memukul dada Aksa, sebelum dirinya memeluk Aksa dengan kuat. “Dasar bodoh! Gue benci banget sama Aksara Danayaksa! Gue benci banget sama Lo! hiks” Lingga menangis.

Aksa memeluk pria manis itu dengan erat, membiarkan jaketnya basah dengan air mata Lingga. “Iya, benci aja gak papa. Gue tetep sayang sama Lo kok.” Balas Aksa mengelus punggung Lingga.

“Bodoh banget! Lo bodoh! Gue juga bod—”

“Shuuut!” Aksa meletakkan jarinya di bibir Lingga, meminta pria itu berhenti. “Jangan bilang Lo bodoh. Cuma gue yang bodoh, Lo enggak. Jadi ayo gebukin gue lagi, hukum gue. Tendang aja, usir juga gak papa. Tapi jangan heran ya kalo besok gue dateng ke sini lagi? Mau berusaha juga buat dapetin maaf dari Lo.” Aksa berucap sambil mengusap air mata Lingga.

“Gak usah sok manis gitu, bodoh! Gue udah gak suka sama Lo!”

Aksa membawa Lingga masuk kembali dalam pelukannya. “Iya tau, makannya gue mau berjuang. Supaya Lingga suka lagi sama Aksa.” Aksa berucap. Tangannya tak henti mengelus punggung Lingga.

“Gue gak akan terima gitu aja! Udah 18 kali gue di tolak sama Lo!”

“Iya, nanti Lingga tolak Aksa 25 kali ya? Supaya impas?”

Lingga menjauhkan kepalanya dari dada Aksa, lalu mendongak menatap wajah pria tampan itu. “Kalau nolaknya 25 kali, nanti kelamaan dong?” Bibirnya melengkung ke bawah, Aksa tersenyum melihat tingkah pria yang disukainya. “Gak mau lama-lama nolak Aksa, mau jadi pacar Aksa.”

“Kalingga lemah banget ya?” Ejek Aksa main-main.

“Iya, lemah banget. Apalagi kalau hubungannya sama Aksa.”

Aksa tertawa, lalu mengusak surai kakak kelasnya. “Mau makan Seblak dulu?” Tawar Aksa.

Lingga kembali cemberut. “Kok Lo gak nembak gue?” Tanyanya kesal.

“Haha, gak sabar banget kak mau jadi pacar gue.” Aksa membuka kantong kresek itu lalu memberikan satu seblaknya pada Lingga. “Kenapa? Pengen nunjukkin ke mamah kalau gue beneran pacar Lo? Oh iya, gue jadi kepo deh. Lo cerita apa aja sama mamah Lo soal gue?” Tanya Aksa.

“Ish! Aksa nyebelin harusnya gak usah ke sini!!!”

“Haha, iya Lingga lucu. Maaf ya, makan dulu deh. Nanti Aksa tembak.”

“Ih tapi gak mau mati.” Lingga mencebikkan bibirnya lucu.

“Tembaknya bukan pake peluru, tapi pake cinta. Masih nolak?”

-