kmvdoots


“Dena ngechat gue nih.” Abim buka suara setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Jevian menatap tak suka. “Ngga usah dibales.” Suruhnya.

“Telat, udah gue bales.” Jevian seolah meminta keterangan lebih lanjut dari Abim, maka Abimpun menghela nafasnya. “Dia tanya gue lagi sama Lo atau ngga, terus mau ke mana.” Lanjut Abim.

Mobil yang mereka kendarai berbelok ke arah kanan. “Terus Lo jawab apa?” Mata Jevian masih sibuk mencari tempat parkir yang pas untuk mobilnya.

Abim mengangkat bahunya tak peduli. “Ga gue jawab apa-apa, karena gue kan emang ga tau Lo mau ajak gue ke mana.” Jawab Abim.

Jevian menghela nafas lega. “Untungnya Lo ga kasih tau. Ayo turun, kita udah sampe.” Ajaknya.

Tapi ketika Abim ingin membuka pintu mobil, Jevian segera berkata. “Jangan dulu turun, biar gue bukain pintunya.” Pria tampan itu segera berlari dan membuka pintu mobil Abim.

Abim tersenyum, apa yang dilakukan Jevian ini baginya terlihat manis. Haha, pria ini bisa saja membuatnya salah tingkah. “Makasih.” Ucap Abim ramah.

“Gue tutup mata Lo dulu ya?” Izin Jevian yang kemudian segera berdiri di belakang Abim dan memasangkan kain untuk menutupi mata Abim.

“Mau ngapain sih, Lo ga mau culik gue kan? Asal Lo tau aja, gue sabuk hitam taekwondo.” Ancam Abim, pasalnya ucapan Nayra di chat tadi masih terngiang di otak Abim.

Jevian tertawa. “Gue tau, lagian siapa yang mau culik Lo sih?” Jevian memegang kedua bahu Abim dari belakang, lalu menuntunnya jalan. “Gue udah bilang kan, gue mau kasih Lo kejutan. Ini salah satu kejutannya.” Lanjut Jevian.

Tak ayal jantung Abim berdegup dengan sangat kencang, suara Jevian begitu dekat. Bahkan Abim bisa merasakan hembusan nafas pria itu dari belakangnya. Mendadak bulu kuduk Abim berdiri, kenapa jadi seperti ini? Batin Abim salah tingkah. Maka dari itu dia memilih diam.

Mereka berdua berjalan cukup jauh, tentunya ditemani keheningan. Abim yang terlalu gugup, dan Jevian yang memang tidak mau bicara. Tujuannya agar Abim semakin penasaran.

Kemudian mereka berhenti. “Udah sampe?” Tanya Abim.

“Iya.” Balas pra tampan itu tepat di telinga Abim lagi. Sengaja sekali membuat Abim salah tingkah, sepertinya pria itu tau tubuh Abim sempat menegang tadi.

“Di hitungan ketiga, gue buka penutup mata Lo. 1....

2....

3!”

Penutup mata itu terbuka, Abim masih membiaskan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Tapi sedetik kemudian matanya membola, ada 1 meja dan 2 kursi di hadapannya. Diisi dengan beberapa makanan, minumam dan juga buah-buahan. Tak lupa, ada lilin di tengah meja itu. Bagian terpenting yang membuat suasana di sekitar sini semakin romantis.

Deburan ombak membuat Abim mengalihkan pandangannya. Di sana, Abim dapat melihat ada pantai. Ternyata Jevian menyiapkan semua ini di pantai, Abim baru sadar sedari tadi ia memijak hamparan pasir.

“Lo yang siapain semua ini?” Tanya Abim, matanya masih sibuk memandang hamparan laut yang terlihat begitu indah di malam hari.

Jevian mengangguk, tentunya Abim tidak tahu. “Bisa dibilang, emang gue yang siapin semua ini.” Balas Jevian. Kemudian menarik kursi untuk Abim duduki.

Abim menerima dengan senang hati. “Lo suka steak kan, makannya gue pesenin steak.” Ucap Jevian yang hanya dibalas ucapan terimakasih oleh Abim.

“Boleh gue makan?” Memang benar Abim tidak bisa menahan dirinya dari yang namanya makanan, terlebih lagi makanan yang sangat dia suka.

Jevian tertawa lagi, Abim sangat lucu. “Tentu boleh, gue siapin semua ini buat Lo Bim.”

Maka Abim segera menyantap makanan yang ada di depannya, matanya seketika berbinar indah. Membuat Jevian menghentikan niat makannya. “Ini enak banget Jev!!” Ucapnya bahagia. Lalu kembali menyantap makanannya.

Jevian agaknya senang mendengar pujian Abim, pria itu sangat suka makanan yang dipilih Jevian. Jevian memang tidak salah memilih makanan.

Hingga akhirnya piring mereka berdua sama-sama kosong. “Bim, ada yang mau gue omongin sama Lo.” Jevian buka suara.

Abim menatap dengan alis terangkat. “Silahkan?” Balas Abim ragu.

Tiba-tiba saja Jevian berdiri, meraih tangan Abim lalu membuatnya ikut berdiri. Pria itu berlutut tepat di hadapan Abim. Jantung Abim sudah berdegup dengan begitu kencang. Surai pria tampan itu terbang terkena hembusan angin.

Jevian meraih dua tangan Abim dan mengecup salah satunya. “Bim, gue tau selama ini Lo ga pernah suka sama gue, tapi gue beneran suka sama Lo Bim. Sejak 2 tahun lalu, sejak Lo masuk ke Universitas kita. Sejak saat itu juga mata gue selalu terfokus sama Lo.” Ucap Jevian.

Abim hanya memilih diam dan mendengarkan. “Mungkin selama ini Lo anggep gue playboy karena gue selalu jadian sama orang yang berbeda, tapi gue ga suka sama mereka. Yang ada di hati gue itu cuma Lo, cuma Abimana Jingga Alaska. Jadi.... Will you marry me, Bim?”

Deg.

Tubuh Abim menegang. Ini.... Sebuah lamaran? Padahal Abim kira, Jevian hanya menyatakan cintanya saja. “J-jev.... Gue ga bisa jawab sekarang.” Abim hendak melepaskan tangannya dari genggaman Jevian.

Tapi Jevian menahannya dan berdiri. “Gue tau, tapi coba kasih tau gue. Apa masalahnya? Apa alesan Lo tolak gue, Abim??”

“Ada banyak alasan. Pertama, soal Nayra. Dia juga suka sama Lo, gimana reaksi dia pas tau gue sama Lo? Terus yang kedua, Lo playboy Jev. Gue ga bisa percaya sama Lo.” Jawab Abim.

Jevian berdecak. “Lagi-lagi karena itu?” Ucapnya sarkas. Karena jujur, Jevian muak dengan setiap jawaban yang Abim berikan.

“Maaf, tapi gue ga bisa...” Ucap Abim final.

Jevian menghela nafas, mengendalikan emosinya. “Gue yang harusnya minta maaf, maafin gue ya? Mungkin gue terlalu cepet buat ngelakuin semua ini.” Berakhir dengan Jevian yang membawa Abim ke dalam pelukannya dan yang paling mengejutkan, Abim tidak berusaha untuk menolak sama sekali.


Berdebar, Abim sungguh merasakan hal itu. Ia memutuskan untuk menerima ajakan date dari Jevian. Sebenarnya tujuan awal Abim mendekati Jevian adalah karena Nayra, perempuan itu sudah Jevian sakiti hatinya. Tapi kenapa sekarang Nayra malah mau membuat Abim betul-betuk bersama Jevian?

Sejujurnya sedari dulu Abim menghiraukan Jevian, karena ia malah berurusan dengan playboy seperti Jevian. Abim punya pengalaman buruk soal playboy. Ia hanya tidak mau jatuh ke lubang yang sama.

Tapi perkataan Haidar kemarin membuat Abim berpikir, benar juga apa kata adiknya itu. Mana mungkin Jevian tidak serius mendekat Abim jika ia berjuang sekeras itu. Sudah banyak kata tolakan yang Abim ucapkan tepat di hadapan Jevian, tapi pria itu seolah pantang menyerah.

Yang membuat Abim kesal adalah, karena pria itu justru berpacaran dengan orang lain ketika sedang mendekati Abim. Siapa yang biasa saja dengan itu semua? Tentunya bukan Abim.

“Hey.” Sapaan ringan keluar dari mulut Jevian, pria itu tak lupa memberikan senyum manis.

“Hey, udah lama nunggu gue?” Tanya Abim.

Pria tampan itu menggeleng. “Ngga ko, gue baru aja dateng.” Jawab Jevian masih disertai senyum manis.

“Kenapa ga nunggu di dalem aja?” Tanya Abim lagi. Cuaca hari ini begitu panas, aneh rasanya Jevian mau menunggu di luar. Padahal ia bisa menunggu di dalam yang suhunya jauh lebih rendah dari pada di luar.

“Gue juga baru keluar tadi kok, pas liat Lo jalan ke sini.”

Abim hanya mengangguk mengerti. “Ya udah, ayo naik.” Ajak Jevian.

Jevian dengan cekatan membuka pintu mobil untuk Abim, tentunya Abim terkejut. Tapi pria manis itu dengan cepat masuk ke dalam mobil, karena pipinya mendadak memerah. Tanpa Abim ketahui, Jevian melihat semuanya, melihat pipi Abim yang memerah.

Pria tampan itu kemudian ikut menyusul masuk dan segera melajukan mobilnya.

Hening, tidak ada yang mau membuka suara. Abim yang masih menetralkan panas di pipinya, dan Jevian yang bingung mau bicara apa.

“Belum makan siang kan?”

Abim hanya mengangguk. “Kita mampir ke restoran dulu ya, makan dulu.” Lagi-lagi Abim mengangguk. Pemuda manis itu hanya takut jika suaranya bergetar ketika menjawab pertanyaan Jevian. Pasalnya Abim selalu saja begitu ketika salah tingkah.

Mereka sampai disalah satu restoran terkenal yang unggul karena rasa masakannya yang tidak mengecewakan. Keduanya kemudian turun, Jevian tiba-tiba saja cemberut. Tentunya hal itu membuat Abim heran. “Lo kenapa?” Tanya Abim.

“Padahal gue mau bukain pintu mobil Lo tadi, kenapa cepet banget sih turunnya.” Gumam Jevian.

Abim hanya tertawa. “Dasar bocil.” Lalu segera meninggalkan Jevian yang hendak protes.

Mereka duduk berhadapan, lalu pelayan datang menanyakan apa pesanan mereka. Abim memilih Rib Eye Steak with orange Juice, sedangkan Jevian memesan Chicken Sizzling Combo with Coca-Cola. Ditambah mereka juga memesan cheese lover pizza untuk dibawa pulang.

“Ada satu hal yang mau gue tanyain.” Abim tiba-tiba saja buka suara. “Lo sengaja buat mainin Nayra kan?” Lanjutnya.

“Gue udah bilang, gue ga ada niatan sedikitpun buat mainin Nayra. Terlebih lagi gue tau sendiri dia temen Lo.”

“Terus kenapa Lo kasih dia harapan?” Tanya Abim lagi. Karena Abim merasa kasihan dengan Nayra.

“Dia suka gue, masa gue larang? Masalah hati siapa yang tau Bim? Kita ga bisa nentuin kehendak hati kita kan?”

“Tapi cara Lo salah Jev. Kalo kaya gini, jatohnya Lo lagi mainin hati mereka.” Abim kembali bicara, ia sudah muak dengan segala alasan yang Jevian berikan.

Pria itu bilang tidak mau menyakiti hati perempuan, lantas menurutnya apa yang sudah dia lakukan itu tidak menyakiti hati perempuan?

“Terus Lo maunya gue gimana?” Tanya Jevian membuat kedua alis Abim naik. Respon yang sangat tidak terduga. “Lo mau gue berhenti kan? Oke, gue mau berhenti kaya gitu asalkan Lo mau jadi pacar gue.” Lanjut Jevian membuat kedua mata Abim membola.

“Lo gila?!!”

“Gue ga gila Abim. Selama ini gue selalu berusaha buat deketin Lo, tujuannya cuma satu. Gue cuma mau Lo jadi pacar gue. Tapi saat gue berjuang, mereka justru deketin gue dan akhirnya gue ga punya pilihan lain. Gue terpaksa terima mereka, karena gue ga mau buat mereka sakit hati.”

“Terus apa hubungannya sama gue? Kenapa syaratnya gue harus jadi pacar Lo?”

“Karena kalau tujuan gue udah kecapai, gue bakalan berhenti dan mereka ga akan berani deketin gue lagi. Soalnya gue udah pacaran sama Lo, gue udah ada yang punya.” Jelas Jevian.

Abim terdiam. “Lo sebenernya serius ga sih deketin gue?” Tanya Abim.

“Kalo gue ga serius, gue udah mundur dari lama Bim. Sejak pertama kali Lo tolak gue.” Jawab Jevian yakin.

Jawaban yang sama dengan apa yang Haidar katakan tempo hari. Apa benar Jevian serius? Abim bingung, Abim juga takut kejadian di masa lalu terulang kembali. Karena sakit hati pada masa itu, masih terasa sampai sekarang.

“Dan gue mau tanya,” Jevian bicara, membuat atensi Abim sepenuhnya kembali pada Jevian. “Kenapa Lo selalu tolak gue?”

“Karena Lo playboy.”

“Gue ga mau denger alesan itu, kasih gue alesan yang lain.”

“Gue ga bisa kasih tau semuanya ke Lo Jevian.”

“Tapi gue mau tau Bim.”

Bertepatan dengan selesainya kalimat Jevian, pelayan datang membawa makanan mereka. Jevian membatin kesal, kenapa pelayan itu datang di waktu seperti ini?

Sedangkan Abim justru merasa lega, sulit menceritakan semuanya. Apalagi kepada orang seperti Jevian. Ia tidak bisa melakukan itu dengan mudah, Jevian tidak bisa ia percaya. Butuh banyak hal agar rasa percaya didiri Abim kembali muncul.

Selesai dengan acara makan mereka yang lebih banyak diisi dengan keheningan, kini keduanya sudah kembali berada di mobil. Keadaan masih sama, hening. Tidak ada perubahan. Terlebih lagi untuk Abim, ia belum mengatakan sepatah katapun setelah keluar dari restoran. Jika Jevian bertanya pun hanya dibalas gelengan atau anggukan saja. Entahlah, Abim hanya malas menjawab.

Abim hanya menatap ke arah jendela, mengacuhkan Jevian. Sedangkan Jevian sekarang bingung, apa ia sudah kelewatan? Apa Abim sekarang justru bertambah kesal padanya? Ingin meminta maaf, tapi Jevian takut. Takut malah memperburuk keadaan.

Mata Abim tiba-tiba saja melihat tulisan 'Cat Cafe', ia mendadak menjadi tertarik. “Itu beneran cat cafe?— maksud gue, beneran ada kucing di dalem cafenya?” Tanya Abim spontan.

Alis Jevian terangkat, senyumnya kemudian mengembang. “Iya, emang di dalemnya bener ada cafe kok. Gue pernah mampir ke sana sekali, pas anterin nyokap beli cupcake.” Memang benar, nyatanya Jevian pernah ke cafe itu bersama ibunya.

“Gue suka banget sama kucing,” Abim mendadak bersemangat, menunjukkan seberapa ia suka dengan kucing. “Kita boleh mampir ke sana?” Tanyanya dengan mata berbinar.

Bisa apa Jevian jika Abim sudah bertingkah lucu? Mana mungkin ia tega menolak keinginan orang yang dia suka. Maka dengan cepat Jevian memutar setir kembali menuju cat cafe yang sebelumnya mereka lewati.

Mereka sampai tepat di hadapan cat cafe tersebut, Abim turun dengan sangat antusias. “Ayo masuk.” Ajak pria manis itu bersemangat.

Tapi dengan cepat Jevian menolak. “Lo aja yang masuk, gue kurang suka sama kucing.”

“Kurang suka atau takut?” Senyum jail muncul di wajah Abim. Suka sekali menggoda Jevian, pasalnya Abim memang baru tau pria yang diidam-idamkan banyak orang di kampus ternyata takut pada kucing.

Dengan cepat Jevian menggeleng. “Takut? Enak aja, gue ga takut ya.” Jawabnya.

“Ya udah, kalo gitu ayo masuk.”


“Buku di sebelah sini, udah selesai bapak baca?” Tanya Jimin, tangannya masih sibuk memisahkan mana kiranya buku yang sudah selesai dibaca bosnya, dan yang belum selesai dibaca.

Jungkook mengangguk. “Di sebelah situ sudah semua.” Jawab Jungkook. Kini pria yang menjabat sebagai CEO Jeon Group itu sedang asik duduk di sofa. Sambil memerhatikan sekertarisnya yang sedang bekerja.

Bukannya Jungkook tak ada niatan untuk membantu, hanya saja menatap Jimin dari sini jauh lebih menarik ketimbang membantunya. Tangannya menopang wajah, masih asik menatap keindahan sekertarisnya. Jungkook tau ini termasuk hal tidak senonoh, tapi rugi jika Jungkook melewatkan hal indah seperti ini.

Jelas sekertarisnya tidak sadar, matanya hanya fokus pada buku yang ada di hadapannya. Nyatanya ia pusing, buku di sini begitu banyak. Herannya kenapa bosnya itu bisa membaca semua buku ini? Apa kepalanya tidak meledak? Batin Jimin.

Matanya kemudian menatap judul buku yang menurutnya sangat menarik, “Bapak suka baca cerita horor juga?” Tanya Jimin, pria itu membalikkan badannya. Dan..

Deg.

Buku yang ada di tangannya langsung terjatuh begitu saja. Gugup, siapa yang tidak gugup jika dipandang seperti itu oleh Jungkook? Pria itu begitu fokus menatap Jimin sampai membuat Jimin salah tingkah. Sejak kapan pria itu menatapnya dengan tatapan setajam itu.

Jimin menggaruk tengkuknya canggung, “Pak ini semua buku bisnis. Buku mana yang mau bapak donasikan ke panti asuhan? Setau saya, di panti asuhan itu adanya anak kecil. Mana mungkin mereka mau baca buku kaya gini.” Jimin mencoba menetralkan suaranya. Kemudian kembali berbalik mengemas beberapa buku.

“Asal kamu tau, saya suka cerita horor.” Tangan Jimin mendadak berhenti bekerja. “Satu lagi, pelajaran bisnis itu harus mulai diajarkan sejak kecil. Kalau tidak, bagaimana nasib negara kita?” Lanjut Jungkook, ia bergerak mendekat ke arah Jimin.

“Kamu lihat buku ini? Buku bisnis yang materinya lengkap seperti ini harusnya dimiliki setiap anak. Kamu tau kenapa?” Jimin menggeleng, masih memerhatikan Jungkook yang berjalan kesana kemari sambil menunjukkan satu buku tebal. “Karena masa paling efektif untuk belajar itu saat dini, kalau kamu belajar pas masih kecil, materi bakal mudah kamu pahami. Tapi sebaliknya, kalau kamu belajar saat dewasa, kamu bakalan susah buat mencerna semua materi.” Jelas Jungkook, sedangkan Jimin hanya mengangguk mengerti.

Jungkook kembali menghampiri Jimin dan duduk di sampingnya untuk yang kedua kali. Ia menatap Jimin, “Kamu belum makan malem kan?” Tanya Jungkook.

Mendadak jantung Jimin berdegup dengan sangat kencang, jaraknya dengan Jungkook begitu dekat. “I-iya pak, saya belum makan.” Jawab Jimin gugup.

Pria manis itu mencoba mundur agar memberi jarak antara dirinya dan Jungkook, tapi hasilnya nihil. Saat Jimin bergerak mundur, Jungkook justru sebaliknya, bergerak maju mendekati Jimin.

“Kamu tau kan, saya suka kamu?” Ucap Jungkook dengan suara rendah.

Jimin menelan ludahnya dengan susah payah. “P-pak...” Tangan Jimin mencoba menahan dada bidang Jungkook.

“Harusnya kamu lebih hati-hati Jimin, jangan asal terima tawaran saya. Kalau begini, kamu bisa apa hm?”

Jimin menutup matanya, wajah Jungkook hanya berjarak beberapa centi dengannya. Jimin tidak berani melawan atau melakukan apapun, karena tubuhnya terasa membeku saat tangan Jungkook bergerak menahan tengkuknya.

“Boleh saya cium kamu?”

Dada Jimin berdesir, kupu-kupu rasanya berterbangan di perutnya, menimbulkan rasa geli tiada tara. Entah setan mana yang merasuki Jimin, pria manis itu malah mengangguk membolehkan. Padahal otaknya berusaha dengan sangat keras menggagalkan usaha Jungkook.

Pria bermarga Jeon itu semakin mendekatkan dirinya pada Jimin, dan Jimin hanya pasrah. Sebentar lagi, sebentar lagi kedua bibir berbeda volume itu akan bertemu. Tapi...

“KALIAN LAGI NGAPAINNNN?!!!!”

Teriakan kencang itu sukses membuat Jungkook terjatuh akibat dorongan Jimin. Dapat mereka berdua lihat, ada anak berseragam SMA berdiri di sana dengan mulut terbuka. Sepertinya dia sangat terkejut.

“Beomgyu?” Ucap Jungkook. “Ngapain kamu ke sini?” Tanyanya heran.

“Adek mau visit Abang sambil bawain makanan buatan mamah. Taunya Abang lagi berbuat mesum?!!”

Keduanya bingung mau menjawab apa. Jimin hanya buang muka, sungguh ini sangat memalukan. Bisa tolong tenggelamkan dia sekarang?


“Buku di sebelah sini, udah selesai bapak baca?” Tanya Jimin, tangannya masih sibuk memisahkan mana kiranya buku yang sudah selesai dibaca bosnya, dan yang belum selesai dibaca.

Jungkook mengangguk. “Di sebelah situ sudah semua.” Jawab Jungkook. Kini pria yang menjabat sebagai CEO Jeon Group itu sedang asik duduk di sofa. Sambil memerhatikan sekertarisnya yang sedang bekerja.

Bukannya Jungkook tak ada niatan untuk membantu, hanya saja menatap Jimin dari sini jauh lebih menarik ketimbang membantunya. Tangannya menopang wajah, masih asik menatap keindahan sekertarisnya. Jungkook tau ini termasuk hal tidak senonoh, tapi rugi jika Jungkook melewatkan hal indah seperti ini.

Jelas sekertarisnya tidak sadar, matanya hanya fokus pada buku yang ada di hadapannya. Nyatanya ia pusing, buku di sini begitu banyak. Herannya kenapa bosnya itu bisa membaca semua buku ini? Apa kepalanya tidak meledak? Batin Jimin.

Matanya kemudian menatap judul buku yang menurutnya sangat menarik, “Bapak suka baca cerita horor juga?” Tanya Jimin, pria itu membalikkan badannya. Dan..

Deg.

Buku yang ada di tangannya langsung terjatuh begitu saja. Gugup, siapa yang tidak gugup jika dipandang seperti itu oleh Jungkook? Pria itu begitu fokus menatap Jimin sampai membuat Jimin salah tingkah. Sejak kapan pria itu menatapnya dengan tatapan setajam itu.

Jimin menggaruk tengkuknya canggung, “Pak ini semua buku bisnis. Buku mana yang mau bapak donasikan ke panti asuhan? Setau saya, di panti asuhan itu adanya anak kecil. Mana mungkin mereka mau baca buku kaya gini.” Jimin mencoba menetralkan suaranya. Kemudian kembali berbalik mengemas beberapa buku.

“Asal kamu tau, saya suka cerita horor.” Tangan Jimin mendadak berhenti bekerja. “Satu lagi, pelajaran bisnis itu harus mulai diajarkan sejak kecil. Kalau tidak, bagaimana nasib negara kita?” Lanjut Jungkook, ia bergerak mendekat ke arah Jimin.

“Kamu lihat buku ini? Buku bisnis yang materinya lengkap seperti ini harusnya dimiliki setiap anak. Kamu tau kenapa?” Jimin menggeleng, masih memerhatikan Jungkook yang berjalan kesana kemari sambil menunjukkan satu buku tebal. “Karena masa paling efektif untuk belajar itu saat dini, kalau kamu belajar pas masih kecil, materi bakal mudah kamu pahami. Tapi sebaliknya, kalau kamu belajar saat dewasa, kamu bakalan susah buat mencerna semua materi.” Jelas Jungkook, sedangkan Jimin hanya mengangguk mengerti.

Jungkook kembali menghampiri Jimin dan duduk di sampingnya untuk yang kedua kali. Ia menatap Jimin, “Kamu belum makan malem kan?” Tanya Jungkook.

Mendadak jantung Jimin berdegup dengan sangat kencang, jaraknya dengan Jungkook begitu dekat. “I-iya pak, saya belum makan.” Jawab Jimin gugup.

Pria manis itu mencoba mundur agar memberi jarak antara dirinya dan Jungkook, tapi hasilnya nihil. Saat Jimin bergerak mundur, Jungkook justru sebaliknya, bergerak maju mendekati Jimin.

“Kamu tau kan, saya suka kamu?” Ucap Jungkook dengan suara rendah.

Jimin menelan ludahnya dengan susah payah. “P-pak...” Tangan Jimin mencoba menahan dada bidang Jungkook.

“Harusnya kamu lebih hati-hati Jimin, jangan asal terima tawaran saya. Kalau begini, kamu bisa apa hm?”

Jimin menutup matanya, wajah Jungkook hanya berjarak beberapa centi dengannya. Jimin tidak berani melawan atau melakukan apapun, karena tubuhnya terasa membeku saat tangan Jungkook bergerak menahan tengkuknya.

“Boleh saya cium kamu?”

Dada Jimin berdesir, kupu-kupu rasanya berterbangan di perutnya, menimbulkan rasa geli tiada tara. Entah setan mana yang merasuki Jimin, pria manis itu malah mengangguk membolehkan. Padahal otaknya berusaha dengan sangat keras menggagalkan usaha Jungkook.

Pria bermarga Jeon itu semakin mendekatkan dirinya pada Jimin, dan Jimin hanya pasrah. Sebentar lagi, sebentar lagi kedua bibir berbeda volume itu akan bertemu. Tapi...

“KALIAN LAGI NGAPAINNNN?!!!!”

Teriakan kencang itu sukses membuat Jungkook terjatuh akibat dorongan Jimin. Dapat mereka berdua lihat, ada anak berseragam SMA berdiri di sana dengan mulut terbuka. Sepertinya dia sangat terkejut.

“Beomgyu?” Ucap Jungkook. “Ngapain kamu ke sini?” Tanyanya heran.

“Adek mau visit Abang sambil bawain makanan buatan mamah. Taunya Abang lagi berbuat mesum?!!”

Keduanya bingung mau menjawab apa. Jimin hanya buang muka, sungguh ini sangat memalukan. Bisa tolong tenggelamkan dia sekarang?


Menunggu, itulah hal yang sedang Jevian lakukan sekarang. Kemarahan Abim bisa Jevian maklumi, karena siapa yang tidak marah jika dijadikan yang kedua. Sebelumnya Jevian berpacaran dengan Dena, kemudian ia mengajak Abim pacaran juga. Jelas Abim tidak mau, Jevian sudah menduga hal itu.

Yang ditunggu sejak tadi tiba, Abim keluar dari rumahnya dengan kaos belang hitam yang dipadukan dengan jeans. Pemuda itu juga menggunakan masker, tapi Jevian tidak suka dengan hal itu.

Karena masker dia tidak bisa melihat wajah manis Abim.

“Loh kok duduk di belakang?” Tanya Jevian.

Abim balas mendelik kesal. “Suka-suka gue.” Balasnya singkat hanya direspon gelengan kepala oleh Jevian.

Jevian kemudian menyalakan mesin mobilnya melaju meninggalkan pelataran rumah Abim. “Gue berasa jadi supir.”

Abim hanya mendengus kesal. “Gue ga minta Lo buat jemput gue kalo Lo lupa.” Balas Abim ketus.

Memang benar kan? Abim tadinya mau dijemput Galang, tapi kenapa yang datang malah Jevian?.

“Masih aja judes ya, gue kan udah bilang kalo gue udah putus dari Dena dan sekarang gue jomblo.”

“Gue ga nanya.”

“Guenya juga enggak mau jawab pertanyaan, gue mau ngasih tau aja.”

“Dan informasi yang Lo kasih ga penting sama sekali.” Abim menekan kata penting, kemudian buang muka.

“Ini yang gue suka dari Lo,” ucapan Jevian tersebut sukses membuat atensi Abim teralihkan. Ia tertarik mendengar kata selanjutnya. “Lo ga sama kaya cewe cowo lain yang ngejar gue. Di saat mereka kejar-kejar gue, Lo justru lebih milih buat menjauh. Di saat mereka bertingkah sok manis di depan gue, Lo justru galak banget pas gue deketin. Bahkan Lo pernah buat gue malu waktu di kantin, haha.” Tawa Jevian mengalun ringan.

Entah kenapa sekarang jantung Abim justru berdegup dengan sangat kencang, pria ini selalu saja punya banyak cara membuat orang lain terpesona dengan dirinya. Tapi jangan pikir Abim sama, Abim sama sekali tidak mau berurusan dengan pria playboy macam Jevian.

Sedari awal, pria itu sudah masuk black list Abim.

“Dasar playboy, bisa aja ngerdusnya.”

Pria yang Abim juluki playboy itu hanya tersenyum. “Gue ga playboy, gue sukanya sama Lo doang.”

“Gi-i gi pliybiy, gi-i sikinyi simi li di-ing. Halah dasar buaya.” Karena sampai kapanpun, di mata Abim, Jevian tetap sama, playboy.

“Gue serius Abim, gue ga pernah bohong sama Lo.”

“Ya kalo Lo suka sama gue, harusnya Lo perjuangin gue. Bukannya malah pacaran sama banyak cewe.” Balas Abim sarkas.

“Gue cuma kasian sama mereka, gue ga mau buat mereka malu karena gue tolak cinta mereka. Jadi gue mutusin buat terima cinta mereka.” Memang benar adanya, Jevian jujur akan hal yang baru saja dia katakan.

Jevian itu terlampau baik, apalagi jika berurusan dengan perempuan. Hati mereka lembut, Jevian tidak mau mereka tersakiti. Tapi tanpa Jevian ketahui, memutuskan mereka secara sepihak, justru sudah termasuk melukai hati mereka.

Aturan yang Jevian punya selama ini adalah jangan melewati batas untuk ikut campur urusan Jevian, jangan menuntut apapun dari Jevian dan jangka hubungan mereka hanya 1 minggu. Setelahnya sudah, selesai. Tidak perlu ada lagi yang mereka bahas.

“Lo anggep mereka mainan kan? Jadi Lo asal jadian sama semua cewe. Bohong ke sana-sini, bilang kalo Lo cinta juga sama mereka. Tau ga sih? Lo tuh brengsek, Mahatma.”

“Tapi mereka sendiri yang minta gue jadi pacar mereka, mereka yang nyatain perasaan mereka lebih dahulu, bahkan mereka yang mohon-mohon minta gue buat terima mereka jadi pacar 1 minggunya. Lo masih tetep salahin gue?”

Kini keduanya sama-sama terdiam, entahlah Abim bingung mau menanggapi seperti apa lagi. Dimatanya, semua yang dilakukan Jevian itu salah, yang dikatakannya adalah kebohongan dan raut wajah pria itu hanya topeng. Jadi apapun yang Jevian lakukan tidak pernah Abim percaya.

“Satu fakta lagi yang harus Lo tau,” Abim mendengarkan ucapan Jevian, dia tidak menyangkal jika dirinya penasaran dengan apa yang akan Jevian katakan. “Lo satu-satunya cowo yang gue suka, yang selama ini gue kejar tanpa berhenti, yang selama ini gue kasih perhatian, dan Lo, satu-satunya cowo yang gue minta buat jadi pacar gue.”

“Karena yang gue mau, cuma Lo Abim. Bukan yang lain.”


Weird. Setau Jimin Taehyung tidak pernah main-main jika menyangkut bisnis. Jimin mengakui kadang Taehyung suka bercanda jika bersama Jimin, tapi dia tidak pernah menyepelekan urusan bisnis. Kali ini kenapa dia terlihat santai?

Dulu, saat klien datang Taehyung buru-buru membawa mereka masuk untuk membahas masalah bisnis. Tapi sekarang?

“Lo belum sarapan kan? Ayo kita beli bubur di depan.”

Kenapa dia malah mengajak Jimin sarapan? Padahal Jimin ke sini bukan untuk bermain, tapi untuk urusan pekerjaan.

“Pak, saya ke sini mau urus masalah bisnis. Bukan mau sarapan.” Protes Jimin kala melihat Taehyung sudah membuka pintu, hendak pergi membeli bubur.

Alis Taehyung terangkat satu. “Gue tau. Tapi Lo belum sarapan, jadi kita urus masalah itu dulu. Atau nantinya Lo bakal sakit.”

Berakhir dengan mereka berdua yang kini duduk dan menunggu bubur pesanan mereka datang.

Jimin hanya menghela nafas, kenapa ujungnya begini? Mood Jimin pagi ini sudah rusak sejak kepulangannya dari rumah Jungkook. Entah kenapa Jimin kesal, karena Jungkook terlihat memaksanya malam itu. Tapi apa bedanya dengan yang sekarang? Nyatanya Taehyung juga memaksa Jimin.

Dan Jimin paling tidak suka dipaksa.

Semangkuk bubur tanpa kacang dan daun bawang Jimin dapatkan, tapi Jimin hanya memandang malas makanan itu. Berbeda dengan Taehyung yang kini sudah mulai menyantap buburnya.

Oke, Jimin memang belum sarapan. Tapi dia sudah minum segelas susu sebelum berangkat. Ia tidak mood makan.

“Kenapa ga makan?” Tanya Taehyung. Pria itu baru sadar jika Jimin sedari tadi belum menyentuh buburnya.

“Ga mood makan.” Balas Jimin singkat.

“Lagi ada masalah?”

“Gatau, cuma lagi kesel aja.”

“Kita bungkus aja buburnya. Mau jalan-jalan naik sepeda sama gue ga? Nanti gue yang izinin ke Jungkook.”

Detik itu juga mata Jimin berbinar. Bersepeda, itulah yang dia mau dari lama. Sejak dia mendapatkan pekerjaan, Jimin jadi jarang bersepeda. Sibuk adalah alasan utama, padahal jika mau Jimin bisa bersepeda setelah pulang kerja.

Keduanya kini sudah naik sepeda masing-masing, melajukan sepedanya berdampingan melewati jalanan yang terlihat tenang. Tempat ini begitu luar biasa indah, bisa membuat Jimin tenang.

Untuk sekejap, ia melupakan masalah kantor.

Lain dengan Jimin yang sibuk menatap pemandangan, Taehyung justru asik menatap Jimin. Senyum pria itu begitu indah, Taehyung merasa dirinya adalah manusia paling beruntung karena bisa melihat pemandangan ini.

“Haah, udah lama banget gue ga jalan-jalan di sungai Han. Rasanya tenang banget, terlebih lagi pake sepeda. Timing-nya juga pas, rasanya beban gue ke angkat semua.” Ucap Jimin sangat senang menatap hamparan sungai Han dan airnya yang begitu tenang.

“Bukan cuma Lo aja Ji, tapi gue juga.” Balas Taehyung.

Keduanya saling bertatapan, lalu tersenyum. Jimin senang sekali, berkat Taehyung ia bisa ke sini.

“Selama ini kita terlalu sibuk, sampe lewatin hal kecil yang bisa buat kita bahagia. Gue seneng banget pokoknyaaaa.” Ucap Jimin bahagia.

“Makasih sama gue ngga nih?” Tanya Taehyung.

Jimin menatap malas Taehyung. “Jadi Lo ga ikhlas ajak gue ke sini?”

“Bukan gitu sayang, tapi apa salahnya ngucap makasih? Setidaknya buat gue mensyukuri kecerdasan otak gue yang udah bawa Lo ke sini dong.”

Jimin tersenyum lebar, “Iya, makasih ya Taehyung ganteng.” Ucapnya dengan nada yang dilebih-lebihkan.

Taehyung hanya menggelengkan kepalanya. “Untung gue suka sama Lo, kalo ngga udah gue ceburin Lo ke sungai.”

“Makannya, jangan suka sama gue.” Jimin menjulurkan lidahnya.

“Mana bisa sih gue ga suka sama orang seindah Lo?” Balas Taehyung membuat Jimin merotasikan bola matanya malas.

“Jangan mulai deh.” Jimin memperingati, pasalnya dia yakin setelah ini Taehyung akan terus menggombal. Padahal Jimin sudah sangat senang karena hari ini Taehyung terlihat normal.

“Mulai apa sayang? Mulai mencintaimu? Asal Lo tau aja ya Ji, gue udah mulai mencintaimu sejak lama.”

Nah kan,.....

“Dih, benerin dulu tuh bahasanya. Campuran gitu, Lo kira keren?” Balas Jimin.

“Ya keren dong, calon pacar Park Jimin mana mungkin ga keren.”

“Dih!”

“Apa sayang? Eh, itu ada toko perhiasan. Mau mampir di sana buat beli cincin pernikahan kita ngga?!”

“I swear to God, stop it Kim Taehyung!!”

Taehyung sibuk menggoda, sedangkan Jimin yang bosan karena mendengar godaan itu lagi.

Mereka menikmati waktu bersama, tentunya sambil menaiki sepeda. Melewati sungai Han yang terlihat sangat indah. Rasanya kencan kali ini cukup membuat keduanya bahagia.


“Kenapa? Kaget baca isi chat saya sama mantan bos kamu?”

Jimin yang tadinya melamun kini kembali tersadar dan menatap Jungkook bingung. Pasalnya dia saja masih mencerna apa maksud obrolan mereka di chatting tadi.

Oke, Jimin tahu Taehyung tidak mungkin suka pada Jungkook. Semua godaan soal kedekatan mereka berdua pun Jimin anggap candaan semata, karena Jimin tau nyatanya Taehyung mengatakan semua itu sebagai candaan.

Tapi, mereka berdua memperebutkan Jimin?

Haha, lucu sekali. Jimin tidak salah baca kan?

Matanya masih berfungsi dengan baik, Jimin yakin itu.

“Ga usah kaget gitu, saya emang saingan sama Taehyung buat dapetin hati kamu.” Jungkook kembali berucap.

Jimin menatap Jungkook heran. “Tapi kenapa?” Tanyanya entah kenapa justru membuat Jungkook tertawa.

Memang benar dirinya sudah jatuh hati pada Jimin, karena dimatanya semua yang Jimin lakukan selalu terlihat indah, terlihat lucu, setau Jungkook itu yang dinamakan bucin.

Dan tentunya Jungkook tidak menyangkal jika dirinya benar bucin pada Jimin.

“Kenapa? Tentunya karena kita suka sama kamu.”

Jimin hanya menghela nafas, masalahnya akan lebih rumit setelah ini. Jimin malas terjebak dengan masalah hati seperti ini.

“Mau dinner sama saya?”

Jimin mendelik tajam ke arah Jungkook. “Pak sadar waktu dong, ini udah mau jam 10 malem dan saya udah makan tadi di apartemen pak Taehyung.” Jawab Jimin sewot.

Mood-nya anjlok sekali sekarang.

“Kamu cuma makan ramyeon di sana, mana kenyang.”

“Tapi saya ga mau gendut pak! Setidaknya ajak saya lain kali, kalo jam segini saya makan nanti saya ga bisa tidur.” Nadanya masih sama, masih ketus. Tapi tak membuat Jungkook takut ataupun ilfeel.

Namanya orang bucin, mana mungkin ilfeel pada gebetannya.

“Saya tetep suka sama kamu walaupun kamu gendut.”

“BISA GA SIH JANGAN GOMBAL?!”

Jungkook tersenyum, pipi Jimin sangat merah. Pria itu malu sekali. “Kenapa? Kan saya lagi coba buat deket sama kamu.”

Jimin menggeser posisi duduknya lebih dekat pada Jungkook. “Ini udah deket belum? Atau mau saya duduk di pangkuan bapak?” Ucap Jimin kesal.

Senyum miring tampak diwajah Jungkook. “Sini, kamu berani?” Jungkook menepuk-nepuk pahanya, menyuruh Jimin duduk di pangkuannya.

Jimin hanya berdecak, kenapa pak Jungkook yang dulunya galak berubah seperti ini? Persis seperti Taehyung, sama-sama modus! Lantas kalau begini, usaha Jimin untuk pindah tempat kerja tidak ada gunanya?

“Dalam mimpimu, pak! Udah anter saya pulang, saya ngantuk banget.”

“Gak, kamu harus dinner sama saya.” Bertepatan dengan kalimat itu, Jungkook membanting setirnya ke arah kiri. Berlawanan dengan arah apartemen Jimin.

“INI PEMAKSAAN NAMANYA!”


Ekhem!

Taehyung berdehem guna menghilangkan rasa canggung diantara keduanya.

Kini di hadapannya ada bos baru Jimin dari Jeon Grup yang bernama Jeon Jungkook. Pria itu terlihat gagah dan tampan, dia juga membuka kaleng sodanya dengan sangat keren. Tapi tetap saja, bagi Taehyung itu terlihat biasa saja jika dibandingkan dengan ketampanan yang ia miliki.

“Jadi Lo bos barunya Jimin?” Taehyung akhirnya buka suara. Tidak suka dengan kondisi canggung seperti tadi.

Sebuah anggukan adalah jawaban yang Taehyung dapatkan. Tapi Taehyung belum puas, masalahnya sedari pria ini datang dia sama sekali tidak bicara. Diam adalah satu-satunya yang ia tunjukkan di sini. Oh satu lagi! Tatapan mematikannya juga, sedari tadi tatapan itu tidak pernah hilang dari wajahnya.

“Gue mantan bosnya Jimin, nama gue Kim Taehyung.”

“Emang gue tanya?”

Jleb!

Rasanya Taehyung sangat malu, ternyata pria ini angkuh juga. Taehyung kembali berdehem guna menghilangkan rasa malunya. “Jimin lagi beli minum di luar, agak lama soalnya minimarket jauh dari apartemen gue.”

Jungkook hanya memutar bola matanya malas. Kenapa pria bermarga Kim ini terlihat sok kenal dengannya, padahal Jungkook sama sekali tidak peduli dengan pria ini. Tujuannya datang kemari hanya untuk melihat sekertarisnya saja, memastikan sekertarisnya itu baik-baik saja.

“Jimin mantan sekertaris Lo kan?” Taehyung mengangguk mengiyakan. “Jadi kenapa sampe sekarang Lo masih nyusahin dia? Setidaknya jangan ganggu dia lagi karena dia udah jadi sekertaris gue sekarang.” Lanjut Jungkook dengan nada datarnya.

Senyum miring Taehyung tunjukkan, “Ahhh, Lo suka sama Jimin ya? Tapi sorry, gue juga suka sama dia.” Balas Taehyung.

Agaknya jawaban yang diberikan Taehyung membuat Jungkook kesal sekaligus bingung. Alisnya terangkat satu, menunggu penjelasan yang akan Taehyung berikan selanjutnya.

Tapi Taehyung justru tertawa. “Gue sengaja masih hubungin dia sampe sekarang, karena gue masih suka sama dia. Gue mau dapetin hati dia, jadi gue lakuin semua ini.”

Tangan Jungkook terkepal erat, mukanya juga mendadak merah. Jadi pria Kim ini sengaja? Batinnya tersenyum remeh. Apa dia juga sedang menantang Jungkook sekarang?

“Gue penasaran gimana reaksi Jimin kalau tau selama ini Lo cuma boongin dia, apa dia bakal marah? Atau tetep biasa aja sama Lo?” Ucapan yang baru saja keluar dari mulut Jungkook meluncur bagai ancaman bagi Taehyung.

“Kita bersaing sehat, Lo inget itu! Jadi Lo ga boleh bocorin rahasia gue ke Jimin kecuali Jimin tau sendiri.”

“Kalo gue tetep mau kasih tau Jimin... Gimana?” Tanya Jungkook main-main.

Taehyung makin gugup. “Itu artinya Lo cupu, karena Lo bongkar aib lawan Lo sendiri. Ga fair nanti persaingan kita.”

Jungkook berdecih. “Oke kalo itu mau Lo, kita bersaing secara sehat. Liat siapa yang bakal dapetin hati Jimin nantinya.”

Keduanya hanya saling tatap. Agaknya Jungkook memang kesal, Taehyung sengaja membuat Jimin kelelahan. Jika begini terus Jungkook tidak bisa diam saja. Tapi apa yang harus Jungkook lalukan? Dia bisa dikira pecundang jika membeberkan semua kebenaran tentang Taehyung pada Jimin. Padahal niat Jungkook benar-benar baik.

Nampaknya pria bermarga Jeon ini benar-benar jatuh cinta pada sekertaris barunya.

Sedangkan Taehyung, ia jelas saja merasa khawatir. Khawatir jika suatu saat Jungkook memilih memberi tahu Jimin soal kebohongan yang sudah dia lakukan. Taehyung tak bisa membayangkan bagaimana respon Jimin nantinya, pria manis itu pasti akan marah besar padanya.

“Kalian lagi ngapain?” Jimin yang baru saja datang membawa tas belanjaan tentu saja bingung melihat dua orang itu saling memandang.

Matanya membulat sempurna,

“Kalian saling suka?!!!!” Tanyanya heboh membuat Taehyung tersenyum dan Jungkook yang kesal.

“Iya, gue suka sama Jungkook.” Balas Taehyung enteng menimbulkan reaksi berbeda diantara Jimin dan Jungkook.

“SERIUS?!! TENANG AJA PAK TAEHYUNG, SEBAGAI MANTAN SEKERTARIS YANG BAIK GUE BAKAL BANTUIN PROSES PDKT KALIAN BERDUA!!”

“Gila Lo!!”


Langit senja ditambah Jimin adalah pemandangan yang luar biasa indah. Seokjin bersyukur bisa diberi kesempatan menikmatinya.

Kini ia sedang asik duduk sambil melihat Jimin bermain basket, rupanya pria mungil itu jago memainkan salah satu cabang olahraga besar. Seokjin baru tau.

“LUCU BANGET, LARINYA KAYA BEBEK!”

“BIBIRNYA JANGAN CEMBERUT TERUS!”

“SERIUS, MAU KAKAK CULIK GA DEK?”

“KIW, MINTA NOMER HAPENYA DONG.”

Jimin berdecak kesal mendengar teriakan Seokjin. Apa katanya? Lari Jimin seperti bebek? Pria itu suka sekali menggodanya. Padahal tadi dia begitu manis, kenapa sekarang menyebalkan? Apa Seokjin punya kepribadian ganda?

“KAKAK MENDING DIEM DEH! AKU KESEL DENGERNYA!”

“Ngapain kesel? Harusnya kamu seneng karena kakak kasih kamu semangat.”

“SEMANGAT APANYA! ORANG KAKAK NGELEDEK AKU TERUS!”

Seokjin tertawa dan Jimin tidak mau ambil pusing akan hal itu, ia masih sibuk memainkan bola di tangannya sampai tidak sadar jika Seokjin pergi entah ke mana.

Bagi Jimin, Seokjin itu sangat hebat. Karena hanya dia yang bisa mengerti apa mau Jimin. Jimin sudah berkali-kali memiliki pacar, dan hubungannya selalu kandas karena alasan yang sama, yaitu mereka yang tidak bisa mengerti Jimin.

Di mata mereka Jimin itu lemah, butuh perlindungan, dan suka berfoya-foya. Nyatanya Jimin tidak seperti itu, ia akui dirinya lemah, tapi bukan berarti harus terus dilindungi seperti hewan peliharaan. Jimin juga manusia, mau merasakan bagaimana berkencan. Bukannya hanya berleha-leha di kamar saja.

Tapi Jungkook juga termasuk tipe yang berbeda dari biasanya, pria itu masih mengajak Jimin kencan walaupun tempatnya harus dia yang memilih. Tapi setidaknya Jimin bisa tau bagaimana rasanya kencan.

Hanya saja.... Pria itu sedikit aneh, dia selalu setuju jika temannya ingin berkencan dengan Jimin. Padahal Jimin berstatus sebagai pacarnya. Aneh bukan?

Sesuatu yang dingin menempel tepat di pipi, pelaku utamanya tentu saja Seokjin. Ternyata pria itu pergi membeli minuman.

“Capek gak?” Tanya Seokjin.

Jimin menyeka keringat di wajahnya, “Capek, tapi suka. Udah lama banget aku ga main basket.” Jawab Jimin.

Seokjin membuka kaleng minuman milik Jimin, dan memberikannya agar Jimin bisa minum. Jimin tersipu, afeksi sekecil ini saja bisa membuat Jimin salah tingkah.

“Makasih kak.”

“Ga usah malu-malu gitu, anggep aja ini latihan sebelum kita pacaran.”

Plak!

“Apasih, emang pacaran butuh latihan?”

“Sakit tau Jim,” Ringis Seokjin sambil mengelus bekas pukulan Jimin. Tapi serius, pukulan Jimin sakit.

“Ya abis kakak main-main terus sih.”

“Ya udah, Kakak minta maaf ya?”

Jimin hanya mengangguk. “Jadi gimana nih? Kamu mau ga jadi pacar kakak?” Tanya Seokjin.

“Kakak mendingan jangan becanda deh, dari tadi ngomongin itu terus tapi kitanya ga jadian-jadian. Kan kesel!”

“Tapi sekarang serius.” Nada bicara Seokjin berubah, Jimin bahkan dibuat merinding.

“Jimin, kakak beneran suka sama kamu. Jadi kamu mau gak jadian sama kakak? Kakak akuin kita emang baru saling mengenal sekarang, tapi kedepannya kita bisa terus saling mengenal. Ceritain satu sama lain, supaya kita ga bosen jalanin hubungan yang monoton. Gimana, kamu mau kan?” Ucap Seokjin panjang lebar. Diraihnya tangan Jimin, lalu dikecup dengan hati-hati. “Kakak ga janji buat ga bikin kamu kecewa, tapi kakak bakal berusaha jadi yang terbaik buat kamu.” Lanjutnya.

Hening, keduanya hanya bertatapan. Entah Jimin yang bingung mau menjawab apa, atau mungkin pria mungil itu malu?

“Ihhhh apaan sih kak? Manis banget huee, mana bisa aku nolak kalo gini caranya..” Rupanya Jimin malu.

Lagi-lagi Seokjin dibuat gemas dengan tingkah Jimin. Maka dia bawa Jimin ke dalam pelukannya, memeluknya dengan erat. Seakan tidak mau kehilangan Jimin.

Jimin pun melakukan hal yang sama, ia peluk Seokjin dengan erat lalu menghirup aroma yang menenangkan dari tubuh Seokjin.

“Jadi sekarang kita resmi pacaran?”

“AKSHDJAJAK GA USAH DITANYA LAGI!!!”


Asap mengepul membuat muka Seokjin tidak terlihat, Jimin jadi cemberut karena itu. Iya Jimin sedang menikmati permen kapasnya sekarang, tapi sembari menatap Seokjin. Pria itu amat tampan, Jimin sampai tidak berkedip melihatnya. Tapi karena asap itu pemandangan indah Jimin terhalangi.

Dia berdiri, meletakkan permen kapasnya sembarang. Seokjin adalah tujuan utamanya sekarang. “Kakak ga marah sama aku kan?” Tanya Jimin ikut berjongkok di samping Seokjin.

“Marah buat apa?” Tangan pria itu masih sibuk menyiapkan api untuk membakar ikan hasil tangkapan mereka berdua.

“Aku dari tadi duduk aja di sana tanpa bantuin kakak bersihin ikan.”

Seokjin melirik Jimin sebentar, lalu kembali pada kegiatan sebelumnya. “Kakak ga marah kok. Kakak akuin kakak ini udah tua, tapi bukan berarti kakak pemarah sayang...”

“ISH DIBILANG KITA BELUM PACARAN!!”

Ikan terkahir berhasil Seokjin letakkan di atas panggangan, kini ia memfokuskan tatapannya pada pria yang selama ini sudah ia sukai. “Kamu mau tau ga kenapa kakak suka kamu?”

“Mauuu!” Balas Jimin cepat.

“Pertama kali kakak ketemu kamu itu di kebun binatang, pas itu kamu lagi liat harimau. Tiba-tiba aja ada kucing yang masuk ke kandang harimau itu, di situ kamu panik dan buru-buru panggil petugas kebun binatang. Sampe akhirnya kucing itu bisa diselamatin dan kamu keliatan lega banget pas itu. Kamu tau ga sih? Kakak langsung suka sama kamu saat itu juga. Kamu perhatian banget, sayang banget sama hewan. Kakak paling lemah sama orang kaya kamu.” Jelas Seokjin panjang membuat Jimin malu.

“Aku kira kakak suka aku karena wajahku, taunya karena sifatku.”

Seokjin membalik ikan yang sedang dia panggang. “Bagi kakak, yang terpenting itu sifat. Kalo masalah wajah ya cuma bonus aja.”

“Halah! Kalo aja bukan aku yang di sana, tapi orang lain yang ga masuk tipe kakak. Kakak ga mungkin jatuh cinta! Untungnya aku yang saat itu kakak temuin.”

Jimin begitu istimewa bagi Seokjin. Pria ini memang begitu percaya diri, dan justru Seokjin suka hal itu. Kepercayaan dirinya membuat Jimin semakin terlihat menarik dimatanya.

“Kalo kamu? Gimana perasaan kamu pas pertama kali liat kakak?”

“Biasa aja.” Jawab Jimin singkat. Selain percaya diri, Jimin juga terlalu jujur. Tapi Seokjin memakluminya.

“Ga ada kesan istimewa gitu?”

“Ada sih, tapi kesannya baru ada sekarang. Dulu aku ketemu kakak pas lagi main sama Jungkook, jadi aku ga bisa kenal kakak lebih jauh. Sekarang beda, kakak keliatan keren banget. Aku langsung jatuh cintaa,” balas Jimin.

“Kalo udah sama-sama jatuh cinta, mau pacaran aja ngga?” Tawar Seokjin.

“Dari tadi aku udah ajak kakaknya jadian, tapi kakak sibuk urusin ikan. Jadinya aku dianggurin.”

“Marah nih ceritanya???” Seokjin menjawil hidung Jimin.

“Omong-omong kak, ini namanya ikan apa? Keliatannya mahal banget tau, ga kaya ikan biasa yang aku makan sama keluargaku.” Tanya Jimin yang matanya fokus menatap ikan di atas pemanggangan.

“Ini namanya ikan tuna,”

“Bohong banget! Di Empang mana mungkin ada ikan tuna!!”

“Tapi ini ikan kan kita beli di supermarket Jimin...”

“Hehe iya lupa, ikan yang kita dapet kan cuma 3 ekor.”

Sehabis mancing tadi, Jimin bilang ingin makan ice cream. Itulah sebabnya Seokjin mengajak Jimin ke supermarket yang kebetulan ada di dekat sana. Ketika sedang membeli keperluan memanggang ikan, Seokjin melihat ada tumpukan ikan segar di sana. Ia pun segera membeli ikan itu, takut nantinya ikan yang mereka tangkap masih kurang mengenyangkan.

“Lupa terus, padahal kakak lebih tua dari pada kamu.”

Jimin hanya bisa meringis. Mata Seokjin tak sengaja mendapati segumpal permen kapas yang sudah mulai mengerut di atas tempat duduk Jimin sebelumnya. “Permen kapasnya ga kamu habisin?”

Mengangguk, “Iya, soalnya aku tadi badmood. Karena asap aku ga bisa liat muka kakak masa,” Balasnya terlampau jujur.

Jika saja Seokjin boleh berteriak, dia akan melakukan itu sekarang. Tapi demi menjaga imagenya di depan Jimin, dia menahan semuanya.

“Ihh telinga kakak merah! Kakak sakit?” Tanya Jimin yang langsung menempelkan telapak tangannya di kening Seokjin.

Seokjin buru-buru bergerak menjauh. BAHAYA! Pikirnya. “Ngga kok, kakak ga sakit.”

“Serius? Kalo sakit kita pulang aja kak, aku gamau kakak kenapa-kenapa.”

“Kakak baik-baik aja sayang...”

“KITA BELUM JADIAN KAKKKK!!”

“Hahahaha, kakak lupa,”