kmvdoots


Cemberut, itulah yang Jimin lakukan sekarang. Penyebab utamanya ya tidak lain dan tidak bukan karena Jungkook —mantan kekasihnya—

Seokjin bilang seperti ini, “Ji ada salam dari Jungkook, katanya dia mau mundur aja. Tapi dia masih tetep cinta sama kamu kok.”

“Kak, kan udah aku bilang tadi... Jangan bahas Jungkook.” Ucap Jimin kesal, pipinya menggembung lucu, bibirnya juga mengerucut seperti bebek. Ingin rasanya Seokjin memeluk Jimin sekarang juga.

“Hahaha, iya maaf ya?” Ucapan Seokjin hanya dianggap angin lalu oleh Jimin. “Kakak penasaran deh Ji, kenapa kamu mau ke sini?”

“Aku tuh ga pernah makan dipinggir jalan kaya gini, kak. Selama aku pacaran sama Jungkook, dia selalu aja bawa aku ke restoran mahal. Padahal jujur aku mau banget mampir ke tukang jualan di pinggir jalan. Justru lebih romantis kalo buat pacaran.”

Iya, sekarang mereka berdua sudah ada di tukang bubur pinggir jalan. Tadi ketika Seokjin bertanya mau ke mana, Jimin bilang dia belum sarapan. Maka Seokjin berinisiatif membawa Jimin sarapan di restoran langganannya, tapi ternyata Jimin memintanya membeli bubur. Alhasil di sinilah mereka sekarang.

“Ternyata kamu beda banget sama yang kakak pikirin ya Ji?”

“Emang selama ini kakak mikirnya aku gimana?”

“Kakak pikir kamu tuh suka banget pergi ke tempat mewah, beli barang mahal dan borong banyak baju di mall. Tapi ternyata kamu sederhana banget kaya gini.”

“Aku yang kaya gini bikin kakak makin suka sama aku kan?” Tanya Jimin dengan kedua alis yang dinaik-turunkan, sengaja menggoda Seokjin.

Seokjin hanya menggelengkan kepalanya. “Iya, kakak tuh sukaaa banget sama semua yang ada di diri kamu.” Balasnya sambil mencubit hidung Jimin gemas.

Jimin tentunya mengaduh kesakitan, dia kembali cemberut sementara Seokjin asik tertawa. Ini yang Jimin mau sedari lama, tapi Jungkook tidak pernah peka.

“Ini buburnya mas.”

“Makasih mang.” Ucap Jimin menerima bubur yang diberikan kepadanya.

Baru saja Jimin akan menyantap buburnya, ia terfokus pada cara makan Seokjin.

“Kakak tim bubur diaduk ya?!!” Tanyanya dengan suara melengking.

Alis Seokjin terangkat heran. “Iya, emang kenapa?”

“Harusnya aku ga temenan sama kakak! Karena aku TIM BUBUR GA DIADUK!!”


Suasana yang tenang dan nyaman, sekelebat pemikiran itu muncul ketika Jimin baru saja menapakkan kakinya di tempat ini.

Empang yang berada di tengah-tengah sawah. Ya memang benar Seokjin mengajaknya ke sini. Pria itu bilang ingin memancing, jadilah mereka ke sini. Lagipula ini hari ulang tahun Seokjin, Jimin kan harus menuruti apa mau dia.

Umpan sudah dilemparkan ke tengah Empang, tinggal menunggu ikan datang dan memakannya.

“Kakak hobi mancing sejak kapan?” Tanya Jimin penasaran.

Senyum Seokjin kembali merekah dan Jimin akui Seokjin begitu tampan dengan senyum itu. “Ga lama sih. 2 tahun terakhir ini kakak punya banyak waktu luang, karena ga tau mau ngapain lagi, kakak mutusin buat mancing. Eh, taunya nagih. Jadilah hobi,” Jawab Seokjin yang dibalas tawa manis Jimin.

“Kakak lucu, hehe.”

“Ga salah nih? Kan kamu yang lucu, bukan kakak.”

Pipi Jimin kembali bersemu, tapi kali ini Seokjin tidak kehilangan momen itu. “Haha, jangan malu gitu dong cantik...” Goda Seokjin.

“Ih apaan sih? Aku ga malu, wlee.” Jimin menjulurkan lidahnya.

“Ngapain julurin lidah gitu? Mau kakak tarik lidahnya?” Mata Jimin memicing.

Pemuda itu sudah siap marah. “Ta—”

“Tarik pake bibir kakak, tapi.”

SEOKJINNNNN!!!!!!!

Rasanya Jimin ingin berteriak sekarang jugaaa. Pria ini begitu luar biasa, hebat sekali bisa membuat Jimin bersemu dalam hitungan menit saja.

“Kak jangan gini please! Aku ga mau baperrrr!” Racau Jimin menghentak-hentakkan kakinya di tanah.

“Baper tinggal baper aja, kakak bakalan tanggung jawab kok.”

“UDAHLAH KITA JADIAN SEKARANG AJ— Eh kak! Itu umpan kakak dimakan ikaannnn!” Jimin menunjuk ikan yang sedang menarik diri untuk lepas dari kail pancing milik Seokjin.

“Kakak ngurusin ini dulu ya? Baru setelahnya kita jadian.”

KIM SEOKJINNNNNNNN


“Tahun ini umur kakak 29 tahun ya?” Tanya Jimin buka suara.

Kini keduanya sudah berada dalam mobil milik Seokjin, sesuai rencana mereka akan menghabiskan 24 jam bersama.

“Iya, tua banget ya gue?” Respon Seokjin diiringi tawa renyahnya.

Jimin buru-buru menggeleng, “Ngga kok, umur segitu mah belum terlalu tua kali kak.”

Mobil berhenti ketika lampu merah menyala, Seokjin menatap Jimin yang ada di sampingnya. Rasanya sungguh aneh Jimin kini benar-benar ada di dalam mobilnya, memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Seokjin. Padahal dulu untuk menggapai Jimin saja susah, laki-laki ini begitu menutup diri dengan embel-embel dia tidak mau menyelingkuhi Jungkook.

Jimin balas menatap Seokjin, “Ngapain ngeliatin aku kaya gitu? Tau kok aku cantik, tapi biasa aja dong kak liatnya.” Memang dasarnya Jimin itu suka ceplas-ceplos, kadang dia juga membuat orang lain ilfeel karena kepedeannya.

Tapi kali ini Seokjin berbeda, pria itu justru tertawa. “Sadar ya Ji kalo dirinya cantik, ya emang cantik sih. Gue ga bisa lepasin pandangan mata gue dari Lo.” Respon yang amat mengejutkan. Jimin kira Seokjin akan melontarkan komentar pedas, tapi nyatanya pria itu justru tambah memuji.

Pipinya memerah malu, tapi sayangya orang yang dipanggilnya 'kakak' tidak bisa melihat kejadian itu. Lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau, artinya mereka harus segera berangkat.

“Serius putus sama Jungkook?” Jimin hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu. “Kalian serius ga sih sama hubungan kalian ini?” Seokjin masih penasaran, pasalnya mereka kelihatan serius tapi sekarang tiba-tiba saja mereka putus.

Terdengar helaan nafas dari Jimin, pria itu lebih memilih melihat pemandangan di luar jendela mobil. “Ya gue serius lah kak, dianya aja yang aneh. Coba bayangin deh kak, dia suka banget sewain gue ke orang lain. Setiap temennya bilang mau ketemu sama gue, dia selalu aja setuju. Gimana gue ga kesel coba? Kadang gue sampe insecure sendiri, dia tuh suka sama gue ga sih? Kenapa kaya ga ada beban gitu pas temennya minta gue temenin mereka. Apa dia ga takut kehilangan gue?” Jawab Jimin menggebu-gebu. Rasa kesalnya pada Jungkook bisa dilihat melalui tatapan matanya, agaknya Seokjin kasihan dengan pemuda ini.

Jungkook bukan tipe orang yang suka main-main, tapi dia memang terlalu santai perihal pacarnya. Menurutnya dengan modal kata 'Aku cinta kamu' disertai emot hati merah setiap pagi cukup untuk menerangkan semuanya. Padahal nyatanya manusia juga butuh afeksi. Terlebih lagi Jungkook terlalu hormat pada setiap kawannya, dia terlalu santai untuk bilang 'Ya' pada mereka.

“Sabar ya Ji, Jungkook emang gitu orangnya. Tapi sekarang Lo masih ada rasa buat dia?”

Menggeleng, Jimin menatap Seokjin kembali. “Udah ga ada, udah luntur semua. Jadinya ilfeel banget kak. Sekarang udah ga tahan, jadi ya udah putus aja.” Balas Jimin. “Kak, bisa ga sih kita ga usah bahas Jungkook? Cukup bahas masalah kakak sama aku aja, jangan bawa-bawa Jungkook, oke?” Tanya Jimin.

Seokjin hanya tersenyum, nyatanya Jimin memang menyangkal tapi Seokjin tau masih ada cinta yang tersisa untuk mantannya yang bernama Jeon Jungkook itu.

“Iya, maaf ya? Jadi kita mau pergi ke mana hari ini?”


“Tahun ini umur kakak 29 tahun ya?” Tanya Jimin buka suara.

Kini keduanya sudah berada dalam mobil milik Seokjin, sesuai rencana mereka akan menghabiskan 24 jam bersama.

“Iya, tua banget ya gue?” Respon Seokjin diiringi tawa renyahnya.

Jimin buru-buru menggeleng, “Ngga kok, umur segitu mah belum terlalu tua kali kak.”

Mobil berhenti ketika lampu merah menyala, Seokjin menatap Jimin yang ada di sampingnya. Rasanya sungguh aneh Jimin kini benar-benar ada di dalam mobilnya, memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Seokjin. Padahal dulu untuk menggapai Jimin saja susah, laki-laki ini begitu menutup diri dengan embel-embel dia tidak mau menyelingkuhi Jungkook.

Jimin balas menatap Seokjin, “Ngapain ngeliatin aku kaya gitu? Tau kok aku cantik, tapi biasa aja dong kak liatnya.” Memang dasarnya Jimin itu suka ceplas-ceplos, kadang dia juga membuat orang lain ilfeel karena kepedeannya.

Tapi kali ini Seokjin berbeda, pria itu justru tertawa. “Sadar ya Ji kalo dirinya cantik, ya emang cantik sih. Gue ga bisa lepasin pandangan mata gue dari Lo.” Respon yang amat mengejutkan. Jimin kira Seokjin akan melontarkan komentar pedas, tapi nyatanya pria itu justru tambah memuji.

Pipinya memerah malu, tapi sayangya orang yang dipanggilnya 'kakak' tidak bisa melihat kejadian itu. Lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau, artinya mereka harus segera berangkat.

“Serius putus sama Jungkook?” Jimin hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu. “Kalian serius ga sih sama hubungan kalian ini?” Seokjin masih penasaran, pasalnya mereka kelihatan serius tapi sekarang tiba-tiba saja mereka putus.

Terdengar helaan nafas dari Jimin, pria itu lebih memilih melihat pemandangan di luar jendela mobil. “Ya gue serius lah kak, dianya aja yang aneh. Coba bayangin deh kak, dia suka banget sewain gue ke orang lain. Setiap temennya bilang mau ketemu sama gue, dia selalu aja setuju. Gimana gue ga kesel coba? Kadang gue sampe insecure sendiri, dia tuh suka sama gue ga sih? Kenapa kaya ga ada beban gitu pas temennya minta gue temenin mereka. Apa dia ga takut kehilangan gue?” Jawab Jimin menggebu-gebu. Rasa kesalnya pada Jungkook bisa dilihat melalui tatapan matanya, agaknya Seokjin kasihan dengan pemuda ini.

Jungkook bukan tipe orang yang suka main-main, tapi dia memang terlalu santai perihal pacarnya. Menurutnya dengan modal kata 'Aku cinta kamu' disertai emot hati merah setiap pagi cukup untuk menerangkan semuanya. Padahal nyatanya manusia juga butuh afeksi. Terlebih lagi Jungkook terlalu hormat pada setiap kawannya, dia terlalu santai untuk bilang 'Ya' pada mereka.

“Sabar ya Ji, Jungkook emang gitu orangnya. Tapi sekarang Lo masih ada rasa buat dia?”

Menggeleng, Jimin menatap Seokjin kembali. “Udah ga ada, udah luntur semua. Jadinya ilfeel banget kak. Sekarang udah ga tahan, jadi ya udah putus aja.” Balas Jimin. “Kak, bisa ga sih kita ga usah bahas Jungkook? Cukup bahas masalah kakak sama aku aja, jangan bawa-bawa Jungkook, oke?” Tanya Jimin.

Seokjin hanya tersenyum, nyatanya Jimin memang menyangkal tapi Seokjin tau masih ada cinta yang tersisa untuk mantannya yang bernama Jeon Jungkook itu.

“Iya, maaf ya? Jadi kita mau pergi ke mana hari ini?”


Panik, itulah yang dirasakan Gibran sekarang. Penyebab utamanya adalah reply Harun di tweet Nevan, pria itu menduga jika Zain sudah menyatakan perasaannya pada Nevan. Tentunya Gibran tidak akan bisa membiarkan hal itu terjadi. Sudah dibilang, Nevan begitu berarti baginya.

Anggaplah Gibran tidak konsisten dengan keputusannya, tapi jika diberi kesempatan kedua mungkin Gibran tetap melakukan hal itu. Pasalnya masalah ini memang menyangkut keluarganya sendiri, yaitu mamahnya.

Ya, awalnya Gibran mau pergi dan memperbaiki diri supaya bisa bersama Nevan. Tapi nyatanya baru beberapa hari melihat Nevan bersama orang lain membuatnya tidak tahan, Nevan hanya untuknya dan sifat posesif Gibran ini tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Rumah Nevan adalah tujuan utamanya sekarang, masa bodoh dengan orang tua Nevan yang mungkin saja akan mengusirnya nanti. Yang terpenting Gibran bisa bertemu Nevan dulu sekarang. Banyak hal yang harus mereka bicarakan, banyak maaf yang ingin Gibran sampaikan pada Nevan.

“NEVAN!” Teriaknya kala sampai di rumah Nevan.

Pemuda yang dipanggil namanya menoleh, bersamaan dengan ojek online yang menatap ke arah Gibran. Keberuntungan bagi Gibran karena Nevan sudah ada di luar rumah, nampaknya pria itu baru saja memesan makanan.

“Gibran kenapa kamu ke sini? Kenapa ga kabarin aku dulu?” Ojek online itu pergi setelah Gibran sampai tepat di hadapan Nevan.

“Bisa kita bicara? Aku mau ngomong penting sama kamu,” Bukannya menjawab, Gibran justru mengajak Nevan pergi. “Kita ngobrol di tempat lain, kamu mau?”

Berujung dengan keduanya yang kini berada di taman yang tepat ada di samping rumah keluarga Jadine.

Keduanya masih terdiam, sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Plastik yang Nevan pegang diremas dengan kuat, sepertinya Nevan canggung dengan keadaan ini. Sama halnya dengan Gibran yang melirik Nevan lewat ekor matanya.

Pria itu masih lucu, masih menjadi Nevan yang dulu. Salahkah jika sekarang Gibran tambah jatuh cinta pada Nevan?

“Masalah kemarin, aku minta maaf Van. Aku ga bisa mikir saat itu sampe bikin kamu kesel sama aku,” Gibran buka suara.

Nevan memberanikan diri menatap Gibran. “Aku ga marah soal itu, aku cuma kecewa Gibran. Kenapa kamu kayanya ga bisa banget percaya sama aku, padahal aku udah percaya banget sama kamu. Tau ga sih? Rasanya sakit banget pas tau kamu ternyata ga mau kasih tau aku soal masalah ini.” Nevan menjeda ucapannya. “Kalo aja kamu ngomong soal ini dari awal, kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng.”

“Saat itu aku pikir aku ga pantes buat kamu Nevan. Kamu pinter, baik, sabar, penyayang, apa kamu pantes sama aku yang justru punya sifat berbanding terbalik sama kamu? Aku merasa kurang pantes buat lanjutin hubungan ini.”

“Kalo dari awal aku ga suka sama kamu, ga mau terima kamu apa adanya, aku ga mungkin mau jadi pacar kamu. Harusnya kamu mikirin soal itu,”

“Iya aku tau, sekali lagi aku minta maaf. Hari itu aku ga mikir sampe sana, aku takut banget Van hari itu. Ga ada yang bisa tenangin aku. Ken yang biasanya jadi tempat curhat akupun ga bales pesan aku sama sekali, kamu tau sendiri hal yang paling aku takuti itu kehilangan. Makannya hari itu aku ga bisa kontrol diri aku.”

Nevan menghela nafas. Tangannya bergerak menggenggam tangan Gibran yang jauh lebih besar dari pada tangannya. “Aku ngerti, maaf juga ya karena selama ini aku marah sama kamu?” Keduanya bertatapan.

Grep!

Gibran lebih dulu membawa Nevan ke dalam pelukan, dihirupnya bau tubuh Nevan yang begitu menenangkan. Kadang Gibran heran, semua yang ada didiri Nevan begitu sempurna, seperti tidak ada cela. Apa saat Tuhan menciptakan Nevan Ia sedang bahagia?

“Aku pantes dapetin itu semua, aku buat kamu sakit hati juga hari itu,”

Menenggelamkan kepalanya di dada Gibran, Nevan merasa nyaman. Gibran memang rumahnya. “Jangan diulangi lagi ya? Jangan insecure cuma karena kata orang, percaya aku, percaya kalau aku ini mau sama kamu apa adanya.” Balas Nevan.

Gibran mengeratkan pelukan mereka, “Jadi sekarang kita baikan?”

Nevan menggeleng. “Kita kan udah baikan sejak kemaren. Ngapain baikan lagi?”

Cup.

Satu kecupan berhasil Nevan dapat di keningnya, tentu saja Gibran si pelaku utama. “Maksud aku kita balikan, kan?” Tanyanya penuh harap.

Melepas pelukan mereka, Nevan membawa tangannya menyentuh pipi Gibran. “Pipi kamu dingin banget, kamu ga sakit kan?”

“Jangan alihin topik tolong,”

Nevan tersenyum, Gibrannya masih sama, masih tidak sabaran seperti dulu dan ini memang Gibran yang Nevan suka. “Jangan berubah, tetep jadi Gibran yang aku suka. Ayo kita bahagia sampe seterusnya, kita lewatin semua masalah sama-sama.”

Senyum lebar tak bisa Gibran tahan, kembali dia membawa Nevan ke dalam pelukan erat. “Iya sayang, ayo kita lawan semuanya sama-sama. Aku percaya kamu, kamu percaya aku.”

“Karena aku adalah kamu, kamu adalah aku,” Ucap mereka bersama, diakhiri dengan senyuman bahagia dari keduanya.


Khawatir dan kesal, itulah yang Jimin rasakan sekarang. Ucapan Nyonya Kim memang benar, nyatanya sekarang mantan bos Jimin masih terlelap dengan kondisi yang kurang baik. Badannya panas, mukanya pucat sekali, seperti simulasi mati.

Kadang Jimin bingung, kenapa Taehyung tidak mencari sekertaris baru? Aneh jika dia terus-terusan lupa jika Jimin sudah mengundurkan diri.

“Cepet sembuh pak, jujur gue lebih suka Lo cerewet dari pada diem kaya orang mati gini. Serem anjir!” Ucap Jimin sambil meletakkan kompresan di dahi Taehyung guna menurunkan suhu tubuhnya yang begitu tinggi.

Alasan utama Jimin ingin pindah dari KTH Corp. adalah bosnya. Taehyung terlalu menyayangi Jimin, jatuhnya pria itu tidak memperlakukan Jimin sebagai pekerjanya. Dalam istilah lain, Taehyung memperlakukan Jimin dengan istimewa. Dia bahkan tidak ragu menyuruh karyawan lain ketimbang menyuruh Jimin.

Lalu apa pekerjaan Jimin di kantor? Jawabannya hanya menyiapkan sarapan untuk Taehyung, menemani makan siang dan menemani rapat. Tentunya Jimin tidak enak dengan karyawan lain. Memang tidak ada yang membicarakan Jimin dengan begitu jelas, desas-desus tentang Jiminpun tidak pernah terdengar. Tapi tatapan karyawan lain menunjukkan dengan jelas jika mereka tidak suka dengan apa yang Jimin lakukan, dalam artian lain mereka iri.

Namanya manusia, siapa yang tidak iri?

Itu masalahnya, jadi Jimin lebih memilih mengundurkan diri ketimbang jadi buah bibir karyawan lain.

“Eungh...”

Jimin buru-buru memberikan air minum kepada Taehyung yang baru saja bangun. Matanya masih terpejam, tapi kini dia sudah menyenderkan tubuhnya pada kepala kasur. Segelas air bisa pria itu pegang walaupun nyatanya jari-jari dia masih gemetar. Jimin ingin membantu, tapi pria itu ragu. Takut Taehyung menolak.

“Jimin Lo ada disini sejak kapan? Gue ngerepotin banget ya?” Mata Taehyung mengintip sedikit dan mendapati Jimin ada disana.

Seingatnya malam tadi ia kehujanan saat baru saja pulang dari kantor, mobilnya mogok jadi ia terpaksa menerobos rintik hujan karena saat itu letak apartemennya dekat. Mobil? Biar montirnya yang mengurus.

“Lo ga usah banyak ngomong, istirahat aja udah.” Jimin membawa Taehyung kembali berbaring di ranjangnya.

Pasti pusing, pikir Jimin. Taehyung terlihat begitu lemas, bibirnya kering sekali. Jimin jadi khawatir melihatnya.

“Gue kira ini mimpi tau, hebat banget Lo bisa ada di sini. Nemenin gue yang lagi sakit, gue boleh bersyukur ga sih? Atau gue doa aja ya supaya gue sakit terus.”

Satu pukulan ringan berhasil mampir di lengan Taehyung. “Jangan ngadi-ngadi anjir, serem tau liat kondisi Lo kaya gini. Cepetan sembuh.” Suara Jimin mengecil di kalimat akhirnya tapi karena keadaan apartemen memang sepi, Taehyung bisa mendengar kalimat itu dengan jelas.

“Sayangnya gue perhatian banget, nikah aja lah kita!!” Soraknya gembira, senyum kotak tak lupa singgah di wajahnya.

“Oon!” Jimin menoyor kepala Taehyung kesal. “Bukannya di aminin, masih aja suka gombal. Lagi sakit ini loh!!” Emosi Jimin.

Kadang Jimin suka heran, tabiat mantan bosnya ini tidak pernah berubah di kondisi apapun. Selalu saja menggodanya, apa dia tidak bosan? Jimin saja bosan, bahkan muak mendengar ucapannya yang dipenuhi gombalan.

“Kesempatan ga boleh disia-siain dong sayang, jadi gimana? Mau nikah kapan? Pake konsep apa? Terus mau di mana? Biar nanti gue kontak Mamah gue, suruh dia siapin semuanya.”

“Wah beneran sakit ini orang.”

“Iya, gue emang sakit. Tapi kalo Lo maunya nikah sekarang, gue ayo aja. Ga papa, gue usahain supaya bisa bangun di acara pernikahan kita.”

“KIM TAEHYUNG LO LAGI SAKIT ANJIR, DIEM DULU BISA GA SIH?!!!!”

Kesal, Jimin sungguh kesal. Sedangkan Taehyung hanya tertawa. Taehyung memang benar sakit, aneh rasanya dia bisa tertawa seperti itu. Jimin takut, takut Taehyung terkena penyakit berbahaya.

“Lucu banget, mukanya merah gitu. Ciee salting ya? Jadi mau nikah kapan nih cantik??”

“Bahas soal nikah lagi, gue gebug kepala Lo sampe bunyi deg!”


Ragu dan khawatir, itulah yang Nevan rasakan sekarang. Bertemu dengan Gavin bukanlah pilihannya, jika saja Gibran tidak menyuruhnya untuk pergi, maka kini Nevan tidak ada di taman belakang sekolah. Duduk sendirian menunggu Gavin datang.

Tempatnya begitu sepi karena jarang ada siswa maupun siswi yang pergi ke sini, keadaanya bersih, hanya saja bagi beberapa siswa tempat ini begitu menakutkan. Mungkin jika ada yang memulai, tempat ini akan menjadi favorit para murid.

Gibran dan Gavin sama-sama mengatakan jika hubungan keduanya sedang tidak baik, itu hal yang membuat Nevan khawatir. Selama ini dia meminta Gibran merahasiakan hubungan mereka karena lelaki manis itu takut ada orang yang berniat merusak hubungan mereka, apa sekarang pun niat Gavin seperti itu? Nevan harap pemikiran negatifnya ini salah.

Disamping itu semua, rasa penasarannya jauh lebih besar dari apapun. Nevan ingin tau apa penyebab hubungan mereka renggang, dan apa yang ingin Gavin sampaikan padanya? Terlihat penting, itu sebabnya walaupun ragu Nevan lebih memilih datang.

Matanya bergulir menatap beberapa pohon yang ada di sana, menunggu Gavin. Bukannya Nevan terlalu bersemangat, hanya saja ulangan harian matematika yang diadakan tadi sudah ia selesaikan. Maka dari itu Nevan boleh keluar. Nevan pintar, dia dapat menyelesaikan semua soal dengan cepat. Bukannya Nevan ingin menyombongkan diri, hanya saja kenyataannya memang begitu kan?

Kakinya bergerak acak menendang dedaunan yang gugur dan jatuh tepat di sampingnya. Gugup, itulah yang Nevan rasakan sekarang.

“Name tag lo,” Nevan mendongak, menemukan Gavin ada di sana, tepat di hadapannya. Rupanya pemuda itu sudah datang.

Menggeser posisi duduknya, Nevan mempersilahkan Gavin duduk. “Maaf gue buat lo nunggu lama.” Gavin buka suara, kini dirinya sudah duduk di samping Nevan.

“Apa yang mau kamu sampein ke aku?” Nevan melontarkan pertanyaan yang sedari tadi muncul diotaknya.

“Banyak. Mau mulai darimana? Masalah gue sama Gibran, atau langsung ke inti?”

“Masalah kamu sama Gibran, aku pengen tau.”

“Gue mau bawa Lo pergi Van, itu sebabnya Gibran dan yang lain marah sama gue.”

Kening Nevan mengerut, apa maksud Gavin? Membawanya pergi? Atas dasar apa?

“Lo pasti bingung kan?” Seakan mengerti dengan raut wajah Nevan, Gavin mulai menjelaskan semuanya. “Gue bakal lanjutin, ke masalah inti yang tentu ada hubungannya sama lo Van.”

Bibir Nevan mengering. Gugup. Lagi, rasa khawatir itu muncul.

“Dulu, ada masalah yang dialamin keluarga besar gue. Perebutan warisan. Ini semua salah kakek gue, dia meninggal tanpa ninggalin surat wasiat. Saat itu kita semua mikir kakek udah nyiapin surat wasiat, tapi nyatanya pengacara kakek bilang kakek belum buat surat itu.

Di usia yang udah tua, kakek justru sibuk sama urusan kantornya. Ga mikirin soal surat wasiat, padahal anaknya ada banyak. Ga mikir apa yang bakal terjadi kalo dia tiba-tiba ga ada. Di dunia ini siapa sih yang gamau harta? Orang baik sekalipun, kalo disuguhin harta di depan matanya, apa dia bakal nolak? Itu juga yang dialamin keluarga kita,”

“Kita?” Nevan memotong penjelasan Gavin.

Mengangguk tanpa ragu, Gavin melanjutkan. “Iya, keluarga gue sama lo.”

Nevan semakin bingung, bagian bawah kemeja yang dipakainya pun sudah kusut karena terlalu banyak diremas. Kebiasaannya ketika gugup. Jujur Nevan ingin bertanya, tapi raut wajah Gavin seolah melarang Nevan bertanya.

“Hari itu, pas kakek meninggal, saat itu juga Tante gue ngelahirin anak pertamanya. Gue, Tante dan om bahagia dapet kabar itu. Tapi dibalik itu semua, hari itu juga jadi hari terburuk bagi kita. Bayi yang baru dilahirin tiba-tiba aja hilang, diculik, dibawa pergi dari kita.”

Jantung Nevan berdegup kencang, mukanya mendadak pucat.

“Siapa yang culik bayi itu?” Nevan tidak bisa diam dan menahan rasa penasarannya.

“Kakak dari Tante gue,” Jawab Gavin singkat. “Lo tau kenapa mereka culik sepupu gue?” Nevan menggeleng sebagai respon. “Itu semua karena warisan.”

“Saat itu posisi om gue yang paling tinggi di perusahaan, kakek gue selalu percayain dia. Makannya para pegawai mutusin buat angkat dia jadi CEO di perusahaan utama. Kakak dan adik om gue iri, makannya mereka mutusin buat hancurin om gue, dengan cara buang anaknya supaya dia ga punya pewaris dan ditendang dari keluarga kita. Jahat kan? Emang kaya gitu sifat keluarga kita. Bahkan nyokap dan bokap gue pun punya campur tangan direncana itu.”

“Rencana mereka berhasil, om dan Tante ditendang dari perusahaan sekaligus keluarga kita. Akhirnya perusahaan mereka yang urus, tapi emang namanya manusia, ga akan pernah puas. Mereka terus berebut posisi buat jadi nomor satu, sampe semuanya ketendang barulah mereka berhenti dan pemenangnya adalah orang tua gue.”

“Gue mulai tinggal terpisah dari Tante dan om, nyokap bokap gue bawa gue pergi jauh dari mereka. Tapi nyatanya Tuhan punya rencana lain, kita ketemu lagi pas umur gue udah 7 tahun. Awalnya nyokap gue gatau soal Tante dan Om, tapi lama-lama dia akhirnya tau. Gue mohon sama dia buat jangan ganggu om sama Tante, biarin mereka bahagia. Mereka butuh waktu buat bisa bangkit dari keterpurukan karena hilangnya anak mereka. Nyokap gue setuju. Pas umur gue 12 tahun, kita mutusin buat cari lo. Itupun nyokap gue ngasih syarat supaya keluarga Tante gue ga ambil kekayaan punya dia dan tentunya Tante gue setuju.”

“Siapa nama Tante kamu?” Nevan sungguh penasaran dengan hal itu.

“Tante Hana dan Om Samuel. Gue mutusin buat turun kelas. Umur gue sekarang udah 19 tahun, harusnya gue udah masuk dunia kuliah. Tapi karena bantuin Tante Hana, gue setuju buat tetep stay di SMA. Gue harus samain kelas gue sama anaknya Tante Hana, tujuannya supaya mempermudah gue buat nemuin dia.

Gue udah nyari lama banget, udah 3 tahun gue nyari sepupu gue, tapi hasilnya selalu nihil dan lo tau? Gue bersyukur banget karena sekarang hasilnya ga nihil lagi, gue berhasil nemuin lo. Lo sepupu gue Van, lo adalah anak Tante Hana yang selama ini hilang.”

Bahagia, itulah yang terlihat diwajah Gavin. Apa dia bilang? Nevan sepupunya? Itu artinya, Nevan dibuang oleh keluarga Gavin? Keluarganya yang jahat, bahkan Gavin sendiri yang bercerita jika sepupunya sengaja dibuang agar ayahnya tidak bisa mendapatkan warisan.

Kenapa mereka jahat? Mereka begitu tega membuang bayi kecil yang baru saja lahir demi merebutkan kekayaan. Itu semua membuktikan jika mereka egois, dan Nevan tidak mau tinggal dikeluarga seperti itu.

Apa mereka tidak tau? Apa yang selama ini Nevan rasakan? Bagaimana rasanya tidak punya keluarga di saat orang lain memiliknya?

“Van, om Samuel minta lo buat dateng nanti malem ke rumah kita. Dia bahkan janji buat bawa kita pergi jauh dari sini.”

Bagai tersambar petir, Nevan menatap tak percaya Gavin. Apa katanya? Membawanya pergi dari sini? Saat Nevan baru saja menemukan rumahnya?

“Bawa gue pergi dari sini? Gue gamau.” Nevan berdiri, sudah cukup. Apapun alasannya Nevan tidak mau kembali ke keluarga itu, hatinya sudah cukup sakit.

“Apa maksud lo? Lo gamau ketemu sama keluarga lo sendiri?”

“Iya!” Jawab Nevan lantang. “Kalian pernah ngga mikir apa yang selama ini gue rasain? Sedih, sampe rasanya gue mau hilang dari muka bumi ini. Di saat orang lain punya keluarga, tempat mereka berkeluh kesah, saat itu juga yang gue punya cuma Kavin. Di saat mereka nunjukkin hasil ulangan mereka ke orang tuanya, apa yang bisa gue lakuin? Gue cuma bisa diem. Tanpa punya orang yang bisa kasih gue selamat atas nilai besar yang gue dapet. Keluarga mereka senyum liat nilai anaknya yang besar, tapi siapa yang senyum saat nilai gue besar? Gaada. Cuma ada Kavin, dari kecil cuma Kavin yang ada di samping gue. Kemana kalian? Kenapa baru sekarang muncul di depan gue? Kenapa ga dari dulu?” Air matanya jatuh, dia sangat kecewa. Nevan kecewa dengan berita yang baru datang sekarang. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang?

Jika di film anak yang hilang dapat menerima orang tuanya dengan mudah, tapi itu tidak terjadi bagi Nevan. Dia besar dengan banyak kesulitan, melewati semuanya bersama Kavin. Hanya berdua dan sekarang keluarganya datang mengajaknya bahagia? Tentu itu bukan kabar baik, jangan harap Nevan bisa menerimanya dengan mudah.

Bukannya Nevan tidak rindu ataupun tidak mau memeluk sosok orang tuanya, tapi rasa kecewa itu terlalu besar. Luka dihatinya sudah terlalu lebar, butuh waktu lama untuk disembuhkan.

“Van, bukannya kita gamau cari lo. Tapi emang saat itu susah buat nemuin keberadaan lo. Gue sama om Samuel udah cari ke semua panti yang ada di sini, tapi hasilnya selalu nihil. Jadi gue mohon ngertiin posisi kita, kita juga gamau kehilangan lo. Ini semua bukan kehendak gue, maupun orang tua lo. Tolong ngertiin.” Gavin memohon.

“Gue ga peduli! Yang kalian semua pikirin cuma harta, apa disaat gue tau semuanya kalian pikir gue mau buat balik? Ngga Vin, justru gue bakal nolak karena gue gamau tinggal di keluarga yang egois.” Nevan sudah berniat pergi. Emosinya benar-benar memuncak, rasanya dia butuh tempat untuk menangis. Hanya sendirian, tidak ada orang lain.

Tapi Gavin buru-buru menahan tangan Nevan. “Gue mohon Van, ngertiin posisi kita. Apa lo ga mikir? Seberapa rindunya Tante gue sama lo? Seberapa besar luka dia? Ga cuma Lo disini yang punya luka, tapi Tante Hana juga. Setidaknya temui dia, lo boleh marah sama kita. Tapi jangan jauhin kita.”

Rindu? Nevan juga rindu dengan keluarganya. Air mata itu kembali menetes, bahkan kini mengalir dengan deras.

Grep.

Gibran datang. Rumah yang baru Nevan dapatkan kini datang. Gibran memeluknya dengan sangat erat, seakan mengerti jika hati Nevan sedang bimbang. Maka Nevan pun membalas pelukan Gibran, dia menyembunyikan kepalanya di dada Gibran.

Ini rumahnya, Gibran adalah rumahnya. Rumah yang baru dia temukan. Mana mungkin Nevan meninggalkan rumahnya?

“Nangis. Luapin semuanya sekarang, jangan ragu sayang. Aku bakal peluk kamu sampe kamu tenang.” Gibran berucap. Sedangkan Gavin terdiam di sana.

Rasa bersalah kini muncul di benaknya melihat bagaimana keadaan keduanya. Tangis Nevan pecah begitu saja saat ada Gibran, Apakah lukanya sebesar itu? Apakah sesakit itu? Jahatkah jika sekarang Gavin ingin membawa Nevan pergi dari Gibran?

“Sekarang pikirin baik-baik apa yang kamu mau. Jangan keras kepala Van. Kamu emang sakit hati, tapi jangan egois, pikirin juga gimana keadaan keluarga kamu. Liat dari sudut pandang mereka, gimana jadinya kamu kalo ada diposisi mereka.” Gibran berucap. “Gaada orang tua yang mau kehilangan anaknya, itu juga yang orang tua kamu mau. Tapi siapa yang tau takdir? Papah kamu bukan peramal yang tau saat itu kamu mau hilang, dia gabisa ngehalangin orang yang culik kamu. Harusnya kamu beruntung masih sempet dipertemuin sama mereka.” Lanjutnya.

“Tapi hati aku sakit Gib, sakit banget.... hiks”

“Aku tau, tapi kamu jadiin itu pembelajaran, supaya kamu lebih kuat. Kamu sendiri yang bilang 'kebenaran ga selamanya enak didenger, fakta itu pahit' masa kamu ga bisa terima itu semua? Kamu kuat kan Van? Kamu lupain itu semua, kebahagian kamu ada di mereka. Kalo kamu bisa lupain masa lalu, aku yakin kamu bakalan bahagia.” Gibran kembali memberikan nasehat.

Nevan mendongak, hidungnya memerah karena menangis. Dia menatap Gibran dengan mata berkaca-kaca. “Tapi kebahagiaan aku itu kamu, gimana bisa aku tinggalin kamu.” Nevan berucap.

Tersenyum, hati Gibran begitu senang mendengar ucapan Nevan. “Iya aku ga nyangkal soal itu, karena bahagianya aku juga kamu. Tapi dibalik itu semua, jelas keluarga kamu jauh lebih penting. Mamah kamu yang lahirin kamu Van, dia ngandung kamu selama 9 bulan, terus dia yang udah berusaha nahan sakit buat biarin kamu lahir ke dunia. Apa kamu ga mikirin itu?” Nevan terdiam. “Kamu harus ketemu sama mereka, tinggal bareng mereka oke?”

Menggeleng, Nevan tidak setuju. “Ngga mau. Aku gamau pergi jauh dari kamu.” Nevan merengek.

“Van, setidaknya lo harus mau ketemu sama orang tua lo dulu. Baru setelahnya lo putusin mau ikut kita atau tolak kita.” Gavin memberi saran.


Ragu dan khawatir, itulah yang Nevan rasakan sekarang. Bertemu dengan Gavin bukanlah pilihannya, jika saja Gibran tidak menyuruhnya untuk pergi, maka kini Nevan tidak ada di taman belakang sekolah. Duduk sendirian menunggu Gavin datang.

Tempatnya begitu sepi karena jarang ada siswa maupun siswi yang pergi ke sini, keadaanya bersih, hanya saja bagi beberapa siswa tempat ini begitu menakutkan. Mungkin jika ada yang memulai, tempat ini akan menjadi favorit para murid.

Gibran dan Gavin sama-sama mengatakan jika hubungan keduanya sedang tidak baik, itu hal yang membuat Nevan khawatir. Selama ini dia meminta Gibran merahasiakan hubungan mereka karena lelaki manis itu takut ada orang yang berniat merusak hubungan mereka, apa sekarang pun niat Gavin seperti itu? Nevan harap pemikiran negatifnya ini salah.

Disamping itu semua, rasa penasarannya jauh lebih besar dari apapun. Nevan ingin tau apa penyebab hubungan mereka renggang, dan apa yang ingin Gavin sampaikan padanya? Terlihat penting, itu sebabnya walaupun ragu Nevan lebih memilih datang.

Matanya bergulir menatap beberapa pohon yang ada di sana, menunggu Gavin. Bukannya Nevan terlalu bersemangat, hanya saja ulangan harian matematika yang diadakan tadi sudah ia selesaikan. Maka dari itu Nevan boleh keluar. Nevan pintar, dia dapat menyelesaikan semua soal dengan cepat. Bukannya Nevan ingin menyombongkan diri, hanya saja kenyataannya memang begitu kan?

Kakinya bergerak acak menendang dedaunan yang gugur dan jatuh tepat di sampingnya. Gugup, itulah yang Nevan rasakan sekarang.

“Name tag lo,” Nevan mendongak, menemukan Gavin ada di sana, tepat di hadapannya. Rupanya pemuda itu sudah datang.

Menggeser posisi duduknya, Nevan mempersilahkan Gavin duduk. “Maaf gue buat lo nunggu lama.” Gavin buka suara, kini dirinya sudah duduk di samping Nevan.

“Apa yang mau kamu sampein ke aku?” Nevan melontarkan pertanyaan yang sedari tadi muncul diotaknya.

“Banyak. Mau mulai darimana? Masalah gue sama Gibran, atau langsung ke inti?”

“Masalah kamu sama Gibran, aku pengen tau.”

“Gue mau bawa Lo pergi Van, itu sebabnya Gibran dan yang lain marah sama gue.”

Kening Nevan mengerut, apa maksud Gavin? Membawanya pergi? Atas dasar apa?

“Lo pasti bingung kan?” Seakan mengerti dengan raut wajah Nevan, Gavin mulai menjelaskan semuanya. “Gue bakal lanjutin, ke masalah inti yang tentu ada hubungannya sama lo Van.”

Bibir Nevan mengering. Gugup. Lagi, rasa khawatir itu muncul.

“Dulu, ada masalah yang dialamin keluarga besar gue. Perebutan warisan. Ini semua salah kakek gue, dia meninggal tanpa ninggalin surat wasiat. Saat itu kita semua mikir kakek udah nyiapin surat wasiat, tapi nyatanya pengacara kakek bilang kakek belum buat surat itu.

Di usia yang udah tua, kakek justru sibuk sama urusan kantornya. Ga mikirin soal surat wasiat, padahal anaknya ada banyak. Ga mikir apa yang bakal terjadi kalo dia tiba-tiba ga ada. Di dunia ini siapa sih yang gamau harta? Orang baik sekalipun, kalo disuguhin harta di depan matanya, apa dia bakal nolak? Itu juga yang dialamin keluarga kita,”

“Kita?” Nevan memotong penjelasan Gavin.

Mengangguk tanpa ragu, Gavin melanjutkan. “Iya, keluarga gue sama lo.”

Nevan semakin bingung, bagian bawah kemeja yang dipakainya pun sudah kusut karena terlalu banyak diremas. Kebiasaannya ketika gugup. Jujur Nevan ingin bertanya, tapi raut wajah Gavin seolah melarang Nevan bertanya.

“Hari itu, pas kakek meninggal, saat itu juga Tante gue ngelahirin anak pertamanya. Gue, Tante dan om bahagia dapet kabar itu. Tapi dibalik itu semua, hari itu juga jadi hari terburuk bagi kita. Bayi yang baru dilahirin tiba-tiba aja hilang, diculik, dibawa pergi dari kita.”

Jantung Nevan berdegup kencang, mukanya mendadak pucat.

“Siapa yang culik bayi itu?” Nevan tidak bisa diam dan menahan rasa penasarannya.

“Kakak dari Tante gue,” Jawab Gavin singkat. “Lo tau kenapa mereka culik sepupu gue?” Nevan menggeleng sebagai respon. “Itu semua karena warisan.”

“Saat itu posisi om gue yang paling tinggi di perusahaan, kakek gue selalu percayain dia. Makannya para pegawai mutusin buat angkat dia jadi CEO di perusahaan utama. Kakak dan adik om gue iri, makannya mereka mutusin buat hancurin om gue, dengan cara buang anaknya supaya dia ga punya pewaris dan ditendang dari keluarga kita. Jahat kan? Emang kaya gitu sifat keluarga kita. Bahkan nyokap dan bokap gue pun punya campur tangan direncana itu.”

“Rencana mereka berhasil, om dan Tante ditendang dari perusahaan sekaligus keluarga kita. Akhirnya perusahaan mereka yang urus, tapi emang namanya manusia, ga akan pernah puas. Mereka terus berebut posisi buat jadi nomor satu, sampe semuanya ketendang barulah mereka berhenti dan pemenangnya adalah orang tua gue.”

“Gue mulai tinggal terpisah dari Tante dan om, nyokap bokap gue bawa gue pergi jauh dari mereka. Tapi nyatanya Tuhan punya rencana lain, kita ketemu lagi pas umur gue udah 7 tahun. Awalnya nyokap gue gatau soal Tante dan Om, tapi lama-lama dia akhirnya tau. Gue mohon sama dia buat jangan ganggu om sama Tante, biarin mereka bahagia. Mereka butuh waktu buat bisa bangkit dari keterpurukan karena hilangnya anak mereka. Nyokap gue setuju. Pas umur gue 12 tahun, kita mutusin buat cari lo. Itupun nyokap gue ngasih syarat supaya keluarga Tante gue ga ambil kekayaan punya dia dan tentunya Tante gue setuju.”

“Siapa nama Tante kamu?” Nevan sungguh penasaran dengan hal itu.

“Tante Hana dan Om Samuel. Gue mutusin buat turun kelas. Umur gue sekarang udah 19 tahun, harusnya gue udah masuk dunia kuliah. Tapi karena bantuin Tante Hana, gue setuju buat tetep stay di SMA. Gue harus samain kelas gue sama anaknya Tante Hana, tujuannya supaya mempermudah gue buat nemuin dia.

Gue udah nyari lama banget, udah 3 tahun gue nyari sepupu gue, tapi hasilnya selalu nihil dan lo tau? Gue bersyukur banget karena sekarang hasilnya ga nihil lagi, gue berhasil nemuin lo. Lo sepupu gue Van, lo adalah anak Tante Hana yang selama ini hilang.”

Bahagia, itulah yang terlihat diwajah Gavin. Apa dia bilang? Nevan sepupunya? Itu artinya, Nevan dibuang oleh keluarga Gavin? Keluarganya yang jahat, bahkan Gavin sendiri yang bercerita jika sepupunya sengaja dibuang agar ayahnya tidak bisa mendapatkan warisan.

Kenapa mereka jahat? Mereka begitu tega membuang bayi kecil yang baru saja lahir demi merebutkan kekayaan. Itu semua membuktikan jika mereka egois, dan Nevan tidak mau tinggal dikeluarga seperti itu.

Apa mereka tidak tau? Apa yang selama ini Nevan rasakan? Bagaimana rasanya tidak punya keluarga di saat orang lain memiliknya?

“Van, om Samuel minta lo buat dateng nanti malem ke rumah kita. Dia bahkan janji buat bawa kita pergi jauh dari sini.”

Bagai tersambar petir, Nevan menatap tak percaya Gavin. Apa katanya? Membawanya pergi dari sini? Saat Nevan baru saja menemukan rumahnya?

“Bawa gue pergi dari sini? Gue gamau.” Nevan berdiri, sudah cukup. Apapun alasannya Nevan tidak mau kembali ke keluarga itu, hatinya sudah cukup sakit.

“Apa maksud lo? Lo gamau ketemu sama keluarga lo sendiri?”

“Iya!” Jawab Nevan lantang. “Kalian pernah ngga mikir apa yang selama ini gue rasain? Sedih, sampe rasanya gue mau hilang dari muka bumi ini. Di saat orang lain punya keluarga, tempat mereka berkeluh kesah, saat itu juga yang gue punya cuma Kavin. Di saat mereka nunjukkin hasil ulangan mereka ke orang tuanya, apa yang bisa gue lakuin? Gue cuma bisa diem. Tanpa punya orang yang bisa kasih gue selamat atas nilai besar yang gue dapet. Keluarga mereka senyum liat nilai anaknya yang besar, tapi siapa yang senyum saat nilai gue besar? Gaada. Cuma ada Kavin, dari kecil cuma Kavin yang ada di samping gue. Kemana kalian? Kenapa baru sekarang muncul di depan gue? Kenapa ga dari dulu?” Air matanya jatuh, dia sangat kecewa. Nevan kecewa dengan berita yang baru datang sekarang. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang?

Jika di film anak yang hilang dapat menerima orang tuanya dengan mudah, tapi itu tidak terjadi bagi Nevan. Dia besar dengan banyak kesulitan, melewati semuanya bersama Kavin. Hanya berdua dan sekarang keluarganya datang mengajaknya bahagia? Tentu itu bukan kabar baik, jangan harap Nevan bisa menerimanya dengan mudah.

Bukannya Nevan tidak rindu ataupun tidak mau memeluk sosok orang tuanya, tapi rasa kecewa itu terlalu besar. Luka dihatinya sudah terlalu lebar, butuh waktu lama untuk disembuhkan.

“Van, bukannya kita gamau cari lo. Tapi emang saat itu susah buat nemuin keberadaan lo. Gue sama om Samuel udah cari ke semua panti yang ada di sini, tapi hasilnya selalu nihil. Jadi gue mohon ngertiin posisi kita, kita juga gamau kehilangan lo. Ini semua bukan kehendak gue, maupun orang tua lo. Tolong ngertiin.” Gavin memohon.

“Gue ga peduli! Yang kalian semua pikirin cuma harta, apa disaat gue tau semuanya kalian pikir gue mau buat balik? Ngga Vin, justru gue bakal nolak karena gue gamau tinggal di keluarga yang egois.” Nevan sudah berniat pergi. Emosinya benar-benar memuncak, rasanya dia butuh tempat untuk menangis. Hanya sendirian, tidak ada orang lain.

Tapi Gavin buru-buru menahan tangan Nevan. “Gue mohon Van, ngertiin posisi kita. Apa lo ga mikir? Seberapa rindunya Tante gue sama lo? Seberapa besar luka dia? Ga cuma Lo disini yang punya luka, tapi Tante Hana juga. Setidaknya temui dia, lo boleh marah sama kita. Tapi jangan jauhin kita.”

Rindu? Nevan juga rindu dengan keluarganya. Air mata itu kembali menetes, bahkan kini mengalir dengan deras.

Grep.

Gibran datang. Rumah yang baru Nevan dapatkan kini datang. Gibran memeluknya dengan sangat erat, seakan mengerti jika hati Nevan sedang bimbang. Maka Nevan pun membalas pelukan Gibran, dia menyembunyikan kepalanya di dada Gibran.

Ini rumahnya, Gibran adalah rumahnya. Rumah yang baru dia temukan. Mana mungkin Nevan meninggalkan rumahnya?

“Nangis. Luapin semuanya sekarang, jangan ragu sayang. Aku bakal peluk kamu sampe kamu tenang.” Gibran berucap. Sedangkan Gavin terdiam di sana.

Rasa bersalah kini muncul di benaknya melihat bagaimana keadaan keduanya. Tangis Nevan pecah begitu saja saat ada Gibran, Apakah lukanya sebesar itu? Apakah sesakit itu? Jahatkah jika sekarang Gavin ingin membawa Nevan pergi dari Gibran?

“Sekarang pikirin baik-baik apa yang kamu mau. Jangan keras kepala Van. Kamu emang sakit hati, tapi jangan egois, pikirin juga gimana keadaan keluarga kamu. Liat dari sudut pandang mereka, gimana jadinya kamu kalo ada diposisi mereka.” Gibran berucap. “Gaada orang tua yang mau kehilangan anaknya, itu juga yang orang tua kamu mau. Tapi siapa yang tau takdir? Papah kamu bukan peramal yang tau saat itu kamu mau hilang, dia gabisa ngehalangin orang yang culik kamu. Harusnya kamu beruntung masih sempet dipertemuin sama mereka.” Lanjutnya.

“Tapi hati aku sakit Gib, sakit banget.... hiks”

“Aku tau, tapi kamu jadiin itu pembelajaran, supaya kamu lebih kuat. Kamu sendiri yang bilang 'kebenaran ga selamanya enak didenger, fakta itu pahit' masa kamu ga bisa terima itu semua? Kamu kuat kan Van? Kamu lupain itu semua, kebahagian kamu ada di mereka. Kalo kamu bisa lupain masa lalu, aku yakin kamu bakalan bahagia.” Gibran kembali memberikan nasehat.

Nevan mendongak, hidungnya memerah karena menangis. Dia menatap Gibran dengan mata berkaca-kaca. “Tapi kebahagiaan aku itu kamu, gimana bisa aku tinggalin kamu.” Nevan berucap.

Tersenyum, hati Gibran begitu senang mendengar ucapan Nevan. “Iya aku ga nyangkal soal itu, karena bahagianya aku juga kamu. Tapi dibalik itu semua, jelas keluarga kamu jauh lebih penting. Mamah kamu yang lahirin kamu Van, dia ngandung kamu selama 9 bulan, terus dia yang udah berusaha nahan sakit buat biarin kamu lahir ke dunia. Apa kamu ga mikirin itu?” Nevan terdiam. “Kamu harus ketemu sama mereka, tinggal bareng mereka oke?”

Menggeleng, Nevan tidak setuju. “Ngga mau. Aku gamau pergi jauh dari kamu.” Nevan merengek.

“Van, setidaknya lo harus mau ketemu sama orang tua lo dulu. Baru setelahnya lo putusin mau ikut kita atau tolak kita.” Gavin memberi saran.