Ayo Baikan


Panik, itulah yang dirasakan Gibran sekarang. Penyebab utamanya adalah reply Harun di tweet Nevan, pria itu menduga jika Zain sudah menyatakan perasaannya pada Nevan. Tentunya Gibran tidak akan bisa membiarkan hal itu terjadi. Sudah dibilang, Nevan begitu berarti baginya.

Anggaplah Gibran tidak konsisten dengan keputusannya, tapi jika diberi kesempatan kedua mungkin Gibran tetap melakukan hal itu. Pasalnya masalah ini memang menyangkut keluarganya sendiri, yaitu mamahnya.

Ya, awalnya Gibran mau pergi dan memperbaiki diri supaya bisa bersama Nevan. Tapi nyatanya baru beberapa hari melihat Nevan bersama orang lain membuatnya tidak tahan, Nevan hanya untuknya dan sifat posesif Gibran ini tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Rumah Nevan adalah tujuan utamanya sekarang, masa bodoh dengan orang tua Nevan yang mungkin saja akan mengusirnya nanti. Yang terpenting Gibran bisa bertemu Nevan dulu sekarang. Banyak hal yang harus mereka bicarakan, banyak maaf yang ingin Gibran sampaikan pada Nevan.

“NEVAN!” Teriaknya kala sampai di rumah Nevan.

Pemuda yang dipanggil namanya menoleh, bersamaan dengan ojek online yang menatap ke arah Gibran. Keberuntungan bagi Gibran karena Nevan sudah ada di luar rumah, nampaknya pria itu baru saja memesan makanan.

“Gibran kenapa kamu ke sini? Kenapa ga kabarin aku dulu?” Ojek online itu pergi setelah Gibran sampai tepat di hadapan Nevan.

“Bisa kita bicara? Aku mau ngomong penting sama kamu,” Bukannya menjawab, Gibran justru mengajak Nevan pergi. “Kita ngobrol di tempat lain, kamu mau?”

Berujung dengan keduanya yang kini berada di taman yang tepat ada di samping rumah keluarga Jadine.

Keduanya masih terdiam, sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Plastik yang Nevan pegang diremas dengan kuat, sepertinya Nevan canggung dengan keadaan ini. Sama halnya dengan Gibran yang melirik Nevan lewat ekor matanya.

Pria itu masih lucu, masih menjadi Nevan yang dulu. Salahkah jika sekarang Gibran tambah jatuh cinta pada Nevan?

“Masalah kemarin, aku minta maaf Van. Aku ga bisa mikir saat itu sampe bikin kamu kesel sama aku,” Gibran buka suara.

Nevan memberanikan diri menatap Gibran. “Aku ga marah soal itu, aku cuma kecewa Gibran. Kenapa kamu kayanya ga bisa banget percaya sama aku, padahal aku udah percaya banget sama kamu. Tau ga sih? Rasanya sakit banget pas tau kamu ternyata ga mau kasih tau aku soal masalah ini.” Nevan menjeda ucapannya. “Kalo aja kamu ngomong soal ini dari awal, kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng.”

“Saat itu aku pikir aku ga pantes buat kamu Nevan. Kamu pinter, baik, sabar, penyayang, apa kamu pantes sama aku yang justru punya sifat berbanding terbalik sama kamu? Aku merasa kurang pantes buat lanjutin hubungan ini.”

“Kalo dari awal aku ga suka sama kamu, ga mau terima kamu apa adanya, aku ga mungkin mau jadi pacar kamu. Harusnya kamu mikirin soal itu,”

“Iya aku tau, sekali lagi aku minta maaf. Hari itu aku ga mikir sampe sana, aku takut banget Van hari itu. Ga ada yang bisa tenangin aku. Ken yang biasanya jadi tempat curhat akupun ga bales pesan aku sama sekali, kamu tau sendiri hal yang paling aku takuti itu kehilangan. Makannya hari itu aku ga bisa kontrol diri aku.”

Nevan menghela nafas. Tangannya bergerak menggenggam tangan Gibran yang jauh lebih besar dari pada tangannya. “Aku ngerti, maaf juga ya karena selama ini aku marah sama kamu?” Keduanya bertatapan.

Grep!

Gibran lebih dulu membawa Nevan ke dalam pelukan, dihirupnya bau tubuh Nevan yang begitu menenangkan. Kadang Gibran heran, semua yang ada didiri Nevan begitu sempurna, seperti tidak ada cela. Apa saat Tuhan menciptakan Nevan Ia sedang bahagia?

“Aku pantes dapetin itu semua, aku buat kamu sakit hati juga hari itu,”

Menenggelamkan kepalanya di dada Gibran, Nevan merasa nyaman. Gibran memang rumahnya. “Jangan diulangi lagi ya? Jangan insecure cuma karena kata orang, percaya aku, percaya kalau aku ini mau sama kamu apa adanya.” Balas Nevan.

Gibran mengeratkan pelukan mereka, “Jadi sekarang kita baikan?”

Nevan menggeleng. “Kita kan udah baikan sejak kemaren. Ngapain baikan lagi?”

Cup.

Satu kecupan berhasil Nevan dapat di keningnya, tentu saja Gibran si pelaku utama. “Maksud aku kita balikan, kan?” Tanyanya penuh harap.

Melepas pelukan mereka, Nevan membawa tangannya menyentuh pipi Gibran. “Pipi kamu dingin banget, kamu ga sakit kan?”

“Jangan alihin topik tolong,”

Nevan tersenyum, Gibrannya masih sama, masih tidak sabaran seperti dulu dan ini memang Gibran yang Nevan suka. “Jangan berubah, tetep jadi Gibran yang aku suka. Ayo kita bahagia sampe seterusnya, kita lewatin semua masalah sama-sama.”

Senyum lebar tak bisa Gibran tahan, kembali dia membawa Nevan ke dalam pelukan erat. “Iya sayang, ayo kita lawan semuanya sama-sama. Aku percaya kamu, kamu percaya aku.”

“Karena aku adalah kamu, kamu adalah aku,” Ucap mereka bersama, diakhiri dengan senyuman bahagia dari keduanya.