Tentang Nevan


Ragu dan khawatir, itulah yang Nevan rasakan sekarang. Bertemu dengan Gavin bukanlah pilihannya, jika saja Gibran tidak menyuruhnya untuk pergi, maka kini Nevan tidak ada di taman belakang sekolah. Duduk sendirian menunggu Gavin datang.

Tempatnya begitu sepi karena jarang ada siswa maupun siswi yang pergi ke sini, keadaanya bersih, hanya saja bagi beberapa siswa tempat ini begitu menakutkan. Mungkin jika ada yang memulai, tempat ini akan menjadi favorit para murid.

Gibran dan Gavin sama-sama mengatakan jika hubungan keduanya sedang tidak baik, itu hal yang membuat Nevan khawatir. Selama ini dia meminta Gibran merahasiakan hubungan mereka karena lelaki manis itu takut ada orang yang berniat merusak hubungan mereka, apa sekarang pun niat Gavin seperti itu? Nevan harap pemikiran negatifnya ini salah.

Disamping itu semua, rasa penasarannya jauh lebih besar dari apapun. Nevan ingin tau apa penyebab hubungan mereka renggang, dan apa yang ingin Gavin sampaikan padanya? Terlihat penting, itu sebabnya walaupun ragu Nevan lebih memilih datang.

Matanya bergulir menatap beberapa pohon yang ada di sana, menunggu Gavin. Bukannya Nevan terlalu bersemangat, hanya saja ulangan harian matematika yang diadakan tadi sudah ia selesaikan. Maka dari itu Nevan boleh keluar. Nevan pintar, dia dapat menyelesaikan semua soal dengan cepat. Bukannya Nevan ingin menyombongkan diri, hanya saja kenyataannya memang begitu kan?

Kakinya bergerak acak menendang dedaunan yang gugur dan jatuh tepat di sampingnya. Gugup, itulah yang Nevan rasakan sekarang.

“Name tag lo,” Nevan mendongak, menemukan Gavin ada di sana, tepat di hadapannya. Rupanya pemuda itu sudah datang.

Menggeser posisi duduknya, Nevan mempersilahkan Gavin duduk. “Maaf gue buat lo nunggu lama.” Gavin buka suara, kini dirinya sudah duduk di samping Nevan.

“Apa yang mau kamu sampein ke aku?” Nevan melontarkan pertanyaan yang sedari tadi muncul diotaknya.

“Banyak. Mau mulai darimana? Masalah gue sama Gibran, atau langsung ke inti?”

“Masalah kamu sama Gibran, aku pengen tau.”

“Gue mau bawa Lo pergi Van, itu sebabnya Gibran dan yang lain marah sama gue.”

Kening Nevan mengerut, apa maksud Gavin? Membawanya pergi? Atas dasar apa?

“Lo pasti bingung kan?” Seakan mengerti dengan raut wajah Nevan, Gavin mulai menjelaskan semuanya. “Gue bakal lanjutin, ke masalah inti yang tentu ada hubungannya sama lo Van.”

Bibir Nevan mengering. Gugup. Lagi, rasa khawatir itu muncul.

“Dulu, ada masalah yang dialamin keluarga besar gue. Perebutan warisan. Ini semua salah kakek gue, dia meninggal tanpa ninggalin surat wasiat. Saat itu kita semua mikir kakek udah nyiapin surat wasiat, tapi nyatanya pengacara kakek bilang kakek belum buat surat itu.

Di usia yang udah tua, kakek justru sibuk sama urusan kantornya. Ga mikirin soal surat wasiat, padahal anaknya ada banyak. Ga mikir apa yang bakal terjadi kalo dia tiba-tiba ga ada. Di dunia ini siapa sih yang gamau harta? Orang baik sekalipun, kalo disuguhin harta di depan matanya, apa dia bakal nolak? Itu juga yang dialamin keluarga kita,”

“Kita?” Nevan memotong penjelasan Gavin.

Mengangguk tanpa ragu, Gavin melanjutkan. “Iya, keluarga gue sama lo.”

Nevan semakin bingung, bagian bawah kemeja yang dipakainya pun sudah kusut karena terlalu banyak diremas. Kebiasaannya ketika gugup. Jujur Nevan ingin bertanya, tapi raut wajah Gavin seolah melarang Nevan bertanya.

“Hari itu, pas kakek meninggal, saat itu juga Tante gue ngelahirin anak pertamanya. Gue, Tante dan om bahagia dapet kabar itu. Tapi dibalik itu semua, hari itu juga jadi hari terburuk bagi kita. Bayi yang baru dilahirin tiba-tiba aja hilang, diculik, dibawa pergi dari kita.”

Jantung Nevan berdegup kencang, mukanya mendadak pucat.

“Siapa yang culik bayi itu?” Nevan tidak bisa diam dan menahan rasa penasarannya.

“Kakak dari Tante gue,” Jawab Gavin singkat. “Lo tau kenapa mereka culik sepupu gue?” Nevan menggeleng sebagai respon. “Itu semua karena warisan.”

“Saat itu posisi om gue yang paling tinggi di perusahaan, kakek gue selalu percayain dia. Makannya para pegawai mutusin buat angkat dia jadi CEO di perusahaan utama. Kakak dan adik om gue iri, makannya mereka mutusin buat hancurin om gue, dengan cara buang anaknya supaya dia ga punya pewaris dan ditendang dari keluarga kita. Jahat kan? Emang kaya gitu sifat keluarga kita. Bahkan nyokap dan bokap gue pun punya campur tangan direncana itu.”

“Rencana mereka berhasil, om dan Tante ditendang dari perusahaan sekaligus keluarga kita. Akhirnya perusahaan mereka yang urus, tapi emang namanya manusia, ga akan pernah puas. Mereka terus berebut posisi buat jadi nomor satu, sampe semuanya ketendang barulah mereka berhenti dan pemenangnya adalah orang tua gue.”

“Gue mulai tinggal terpisah dari Tante dan om, nyokap bokap gue bawa gue pergi jauh dari mereka. Tapi nyatanya Tuhan punya rencana lain, kita ketemu lagi pas umur gue udah 7 tahun. Awalnya nyokap gue gatau soal Tante dan Om, tapi lama-lama dia akhirnya tau. Gue mohon sama dia buat jangan ganggu om sama Tante, biarin mereka bahagia. Mereka butuh waktu buat bisa bangkit dari keterpurukan karena hilangnya anak mereka. Nyokap gue setuju. Pas umur gue 12 tahun, kita mutusin buat cari lo. Itupun nyokap gue ngasih syarat supaya keluarga Tante gue ga ambil kekayaan punya dia dan tentunya Tante gue setuju.”

“Siapa nama Tante kamu?” Nevan sungguh penasaran dengan hal itu.

“Tante Hana dan Om Samuel. Gue mutusin buat turun kelas. Umur gue sekarang udah 19 tahun, harusnya gue udah masuk dunia kuliah. Tapi karena bantuin Tante Hana, gue setuju buat tetep stay di SMA. Gue harus samain kelas gue sama anaknya Tante Hana, tujuannya supaya mempermudah gue buat nemuin dia.

Gue udah nyari lama banget, udah 3 tahun gue nyari sepupu gue, tapi hasilnya selalu nihil dan lo tau? Gue bersyukur banget karena sekarang hasilnya ga nihil lagi, gue berhasil nemuin lo. Lo sepupu gue Van, lo adalah anak Tante Hana yang selama ini hilang.”

Bahagia, itulah yang terlihat diwajah Gavin. Apa dia bilang? Nevan sepupunya? Itu artinya, Nevan dibuang oleh keluarga Gavin? Keluarganya yang jahat, bahkan Gavin sendiri yang bercerita jika sepupunya sengaja dibuang agar ayahnya tidak bisa mendapatkan warisan.

Kenapa mereka jahat? Mereka begitu tega membuang bayi kecil yang baru saja lahir demi merebutkan kekayaan. Itu semua membuktikan jika mereka egois, dan Nevan tidak mau tinggal dikeluarga seperti itu.

Apa mereka tidak tau? Apa yang selama ini Nevan rasakan? Bagaimana rasanya tidak punya keluarga di saat orang lain memiliknya?

“Van, om Samuel minta lo buat dateng nanti malem ke rumah kita. Dia bahkan janji buat bawa kita pergi jauh dari sini.”

Bagai tersambar petir, Nevan menatap tak percaya Gavin. Apa katanya? Membawanya pergi dari sini? Saat Nevan baru saja menemukan rumahnya?

“Bawa gue pergi dari sini? Gue gamau.” Nevan berdiri, sudah cukup. Apapun alasannya Nevan tidak mau kembali ke keluarga itu, hatinya sudah cukup sakit.

“Apa maksud lo? Lo gamau ketemu sama keluarga lo sendiri?”

“Iya!” Jawab Nevan lantang. “Kalian pernah ngga mikir apa yang selama ini gue rasain? Sedih, sampe rasanya gue mau hilang dari muka bumi ini. Di saat orang lain punya keluarga, tempat mereka berkeluh kesah, saat itu juga yang gue punya cuma Kavin. Di saat mereka nunjukkin hasil ulangan mereka ke orang tuanya, apa yang bisa gue lakuin? Gue cuma bisa diem. Tanpa punya orang yang bisa kasih gue selamat atas nilai besar yang gue dapet. Keluarga mereka senyum liat nilai anaknya yang besar, tapi siapa yang senyum saat nilai gue besar? Gaada. Cuma ada Kavin, dari kecil cuma Kavin yang ada di samping gue. Kemana kalian? Kenapa baru sekarang muncul di depan gue? Kenapa ga dari dulu?” Air matanya jatuh, dia sangat kecewa. Nevan kecewa dengan berita yang baru datang sekarang. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang?

Jika di film anak yang hilang dapat menerima orang tuanya dengan mudah, tapi itu tidak terjadi bagi Nevan. Dia besar dengan banyak kesulitan, melewati semuanya bersama Kavin. Hanya berdua dan sekarang keluarganya datang mengajaknya bahagia? Tentu itu bukan kabar baik, jangan harap Nevan bisa menerimanya dengan mudah.

Bukannya Nevan tidak rindu ataupun tidak mau memeluk sosok orang tuanya, tapi rasa kecewa itu terlalu besar. Luka dihatinya sudah terlalu lebar, butuh waktu lama untuk disembuhkan.

“Van, bukannya kita gamau cari lo. Tapi emang saat itu susah buat nemuin keberadaan lo. Gue sama om Samuel udah cari ke semua panti yang ada di sini, tapi hasilnya selalu nihil. Jadi gue mohon ngertiin posisi kita, kita juga gamau kehilangan lo. Ini semua bukan kehendak gue, maupun orang tua lo. Tolong ngertiin.” Gavin memohon.

“Gue ga peduli! Yang kalian semua pikirin cuma harta, apa disaat gue tau semuanya kalian pikir gue mau buat balik? Ngga Vin, justru gue bakal nolak karena gue gamau tinggal di keluarga yang egois.” Nevan sudah berniat pergi. Emosinya benar-benar memuncak, rasanya dia butuh tempat untuk menangis. Hanya sendirian, tidak ada orang lain.

Tapi Gavin buru-buru menahan tangan Nevan. “Gue mohon Van, ngertiin posisi kita. Apa lo ga mikir? Seberapa rindunya Tante gue sama lo? Seberapa besar luka dia? Ga cuma Lo disini yang punya luka, tapi Tante Hana juga. Setidaknya temui dia, lo boleh marah sama kita. Tapi jangan jauhin kita.”

Rindu? Nevan juga rindu dengan keluarganya. Air mata itu kembali menetes, bahkan kini mengalir dengan deras.

Grep.

Gibran datang. Rumah yang baru Nevan dapatkan kini datang. Gibran memeluknya dengan sangat erat, seakan mengerti jika hati Nevan sedang bimbang. Maka Nevan pun membalas pelukan Gibran, dia menyembunyikan kepalanya di dada Gibran.

Ini rumahnya, Gibran adalah rumahnya. Rumah yang baru dia temukan. Mana mungkin Nevan meninggalkan rumahnya?

“Nangis. Luapin semuanya sekarang, jangan ragu sayang. Aku bakal peluk kamu sampe kamu tenang.” Gibran berucap. Sedangkan Gavin terdiam di sana.

Rasa bersalah kini muncul di benaknya melihat bagaimana keadaan keduanya. Tangis Nevan pecah begitu saja saat ada Gibran, Apakah lukanya sebesar itu? Apakah sesakit itu? Jahatkah jika sekarang Gavin ingin membawa Nevan pergi dari Gibran?

“Sekarang pikirin baik-baik apa yang kamu mau. Jangan keras kepala Van. Kamu emang sakit hati, tapi jangan egois, pikirin juga gimana keadaan keluarga kamu. Liat dari sudut pandang mereka, gimana jadinya kamu kalo ada diposisi mereka.” Gibran berucap. “Gaada orang tua yang mau kehilangan anaknya, itu juga yang orang tua kamu mau. Tapi siapa yang tau takdir? Papah kamu bukan peramal yang tau saat itu kamu mau hilang, dia gabisa ngehalangin orang yang culik kamu. Harusnya kamu beruntung masih sempet dipertemuin sama mereka.” Lanjutnya.

“Tapi hati aku sakit Gib, sakit banget.... hiks”

“Aku tau, tapi kamu jadiin itu pembelajaran, supaya kamu lebih kuat. Kamu sendiri yang bilang 'kebenaran ga selamanya enak didenger, fakta itu pahit' masa kamu ga bisa terima itu semua? Kamu kuat kan Van? Kamu lupain itu semua, kebahagian kamu ada di mereka. Kalo kamu bisa lupain masa lalu, aku yakin kamu bakalan bahagia.” Gibran kembali memberikan nasehat.

Nevan mendongak, hidungnya memerah karena menangis. Dia menatap Gibran dengan mata berkaca-kaca. “Tapi kebahagiaan aku itu kamu, gimana bisa aku tinggalin kamu.” Nevan berucap.

Tersenyum, hati Gibran begitu senang mendengar ucapan Nevan. “Iya aku ga nyangkal soal itu, karena bahagianya aku juga kamu. Tapi dibalik itu semua, jelas keluarga kamu jauh lebih penting. Mamah kamu yang lahirin kamu Van, dia ngandung kamu selama 9 bulan, terus dia yang udah berusaha nahan sakit buat biarin kamu lahir ke dunia. Apa kamu ga mikirin itu?” Nevan terdiam. “Kamu harus ketemu sama mereka, tinggal bareng mereka oke?”

Menggeleng, Nevan tidak setuju. “Ngga mau. Aku gamau pergi jauh dari kamu.” Nevan merengek.

“Van, setidaknya lo harus mau ketemu sama orang tua lo dulu. Baru setelahnya lo putusin mau ikut kita atau tolak kita.” Gavin memberi saran.