Game

Jendra datang membawa nampan yang berisikan 7 gelas kopi. Dia meletakkan nampan itu ditengah-tengah, lalu duduk tepat di samping Rendika. Rendika hanya memutar bola matanya malas saat Jendra menatap jail ke arahnya.

Alis Theo mengernyit. “Lo buatin gue kopi?” Tanyanya yang tentu saja dibalas anggukan oleh Jendra. “Bro, harusnya Lo nanya dulu anjir. Gue gak bisa minum kopi. Jadinya 'kan mubazir.” Lanjut Theo.

“Tadi Rendika nyuruh gue buatin kalian semua kopi, marah sama Rendika aja.” Ucapnya enteng.

“Ngapain lo nyalahin gue anjir? Kan itu salah Lo sendiri. Makannya, nanya dulu sebelum buat kopi.”

“Lo suruh gue buatin tujuh gelas kopi. Jadi, letak kesalahan gue di mana?”

“Udah udah! Ribut anjir jadinya. Kapan kita main?” Itu Hirza yang bicara.

“Kopinya biar gue yang minum, gak usah khawatir.” Tambah Jevan mengambil dua gelas kopi sekaligus.

Raihan menatap Jevan, cukup membuat Jevan gugup. Bagaimana tidak gugup? Raihan begitu tampan. SKSKSK Jevan tambah suka. “Jev, gak baik loh minum kopi banyak-banyak. Perut Lo bisa sakit.” Ucap Raihan tanpa mengalihkan pandangannya.

“Udah sini, biar gue aja yang minum kopinya.” Rendika berucap. Agak kesal, permainan mereka tidak dimulai-mulai.

Kopi yang tadinya berada di tangan Rendika dalam sekejap beralih ke Jendra. “Kalau perut Jevan bisa sakit, perut lo juga bisa sakit. Biar gue aja yang minum.”

“Haduh, dunia serasa milik berdua, gue yang gak ada pasangan cuma bisa planga-plongo.” Rutuk Hirza. Tangannya bergerak mengambil kopi yang ada pada Jendra. “Udah ye, jangan debat lagi. Kopinya gue kasihin ke satpam yang ada di depan vila. Gini aja dibuat repot. Aneh.”


Kini ketujuh orang itu sudah duduk melingkar. Samping kanan kiri Rendika, ada Jevan dan Theo, Raihan berada di samping kanan Theo, lalu disusul Jendra, Hirza dan Yudi yang berada di samping Jevan.

“Oke, gue yang jadi wasit.” Hirza bicara. Mengambil botol yang ada di tengah-tengah lalu memutarnya. Tutup botol berhenti tepat di hadapan Rendika, ada decakan yang keluar dari bibir pemuda itu. “Oke, langsung gue kasih pertanyaan.” Hirza mengambil sebuah kertas lalu membacanya.

“Jawab dalam 10 detik. Kalau lewat dari itu, Lo harus terima hukuman. Siap?” Rendika mengangguk. “Ini pertanyaannya udah gue acak ya, jadi jangan kira gue berbuat curang. Oke, langsung aja. Seratus dikali empat dibagi empat ditambah tujuh, sama dengan???”

Rendika buru-buru menghitung semua angka yang tadi disebutkan Hirza, sedangkan Hirza masih asik menghitung dari satu sampai sepuluh. “107!” Teriak Rendika. Jantungnya berdegup, berharap jawabannya benar.

“BENER!!!” Respon Hirza.

Rendika tersenyum bangga. Tak sengaja matanya menatap Jendra yang menunjukkan senyum miringnya. Cukup membuat Rendika kesal bukan main.

“Jadi, Ren. Lo mau nanya siapa?”

Mata Rendika berkeliling menatap satu persatu orang yang berada di depannya. Semua membuang muka, kecuali satu orang, yaitu Jendra. Kedua alisnya terangkat, seolah sedang mengatakan 'apa?' dengan nada menyebalkan. Cih, kenapa sih pria itu sangat menyebalkan? Batin Rendika kesal.

“Gue mau nanya sama Yudi.” Yang disebut namanya sempat terkejut. Kemudian berdehem.

“Nanya apa?”

“Kenapa Lo jadian sama Theo?”

Pertanyaan yang menjebak. Yudi bukan orang romantis yang bisa merangkai kata-kata. Perasaan Theo jadi tidak enak. Jika sudah begini, ujungnya mereka akan adu bacot lagi. Rendika, sepertinya dia sengaja melakukan ini. Lihatlah senyum remeh yang muncul di wajahnya.

Theo bersumpah akan balas dendam.

“Karena gue capek dikejar-kejar sama dia, makannya gue terima pas dia nyatain perasaanya buat yang ke 9 kali.”

Sudah dibilang, Yudi itu tidak bisa romantis. Theo hanya tersenyum, sambil melontarkan semua umpatan untuk Rendika di dalam hati.

Putaran kedua, berhenti di Raihan. Semua yang ada di sana mendesah kecewa. “Kenapa harus Raihan? Semua pertanyaan bisa dia jawab anjir.” Itu Theo yang mengeluh.

“Sini, biar gue yang pilih pertanyaannya.” Jevan mengambil kertas yang ada di tangan Hirza. Lalu menatap Raihan. “Ibukota Malaysia????”

“Kuala lumpur.”

“Anjir, kenapa Lo cari pertanyaan yang gampang. Yang lebih berbobot kek.” Hirza berucap.

“Ini 'kan materi anak IPS, gue kira Raihan gak tau jawabannya.”

“Dia mah materi anak TKR aja tau.” Yudi menanggapi.

Raihan hanya tersenyum. “Gue mau nanya sama Jevan.” Tak ayal, yang namanya dipanggil gugup. Apakah malam ini Raihan akan menyatakan perasaannya? Apakah dia sadar selama ini Jevan sudah menyimpan rasa untuk pria itu? “Siapa crush Lo?”

Kesal.

Ternyata semuanya tidak sesuai dengan apa yang dia mau. “Jangan kepo.” Jawabnya ketus tanpa mau melihat Raihan.

“Loh, tapikan harus kasih jawaban. Udah ada rulesnya sendiri.” Protes Raihan.

Jevan berdecak kesal. “Crush gue— ya elo!” Jawab Jevan sambil menunjuk Raihan. “Makannya, jangan fokus sama pelajaran terus. Sampe Lo gak sadar gue udah suka sama Lo dari lama.” Lanjutnya mengeluarkan semua kekesalan yang selama ini dia pendam.

Hening.

Alis Jevan terangkat. “Kenapa? Jawaban gue salah?” Tanyanya bingung.

Hirza berdehem. “Enggak kok, ayo lanjut.”


Sudah 11 putaran terlewati, sampai diputar ke 12 botol berhenti tepat di hadapan Theo. Pria itu bergerak kegirangan, akhirnya dia bisa balas dendam pada Rendika.

“Dua puluh lima dikali empat ditambah lima sama dengan???”

“105!!! Gampang banget anjir, soal anak SD.” Jawab Theo bangga. Sekaligus sombong sedikit.

“Wkwk, ya gak tau. Orang munculnya pertanyaan yang ini.” Jawab Hirza. “Langsung aja, Lo mau nanya sama siapa?” Tanyanya.

Mata Theo menatap Rendika, Rendika malah mengangkat alisnya. “Rendika.” Ucap Theo, pria itu bersusah payah mengendalikan raut wajahnya. Sedangkan Rendika terlihat kebingungan, menunggu pertanyaan Theo.

“Lo mau ciuman sama Jendra gak?”

Deg.

Matanya berkedip beberapa kali. “Apaan sih anjir, pertanyaan Lo gak bermutu. Ganti.”

“Gak bisa diganti. Jawab yang jujur, Rendika.” Jendra ikut berpendapat. Cukup membuat Rendika kesal.

Baru ingat, tadi dirinya sengaja mengerjai Theo dan Yudi. Mungkin Theo ingin balas dendam. “Kenapa enggak? Toh, Jendra tunangan gue.” Jawab Rendika santai. Matanya menatap apapun yang ada di ruangan ini, yang penting tidak menatap mata Jendra.

Senyum muncul di wajah Jendra, entah kenapa dirinya bahagia. “Coba deh, kalian ciuman di sini.” Itu Jevan yang bicara.

“Anjir, ngelunjak ya Lo!” Balas Rendika kesal.

“Wkwk, becanda anjing. Serius banget.” Balas Jevan.

Yang lain tertawa melihat pipi Rendika memerah seperti kepiting rebus, tak terkecuali Jendra yang menganggap Rendika lucu.


“Jev, gue mau tidur sama Lo boleh gak? Nanti Theo sama Jendra.”

Permainan sudah selesai, semuanya sudah masuk ke dalam kamar. Kecuali Rendika, Jevan dan Raihan yang mendapatkan hukuman. Mereka kalah suit, jadi ketiganya harus membersihkan ruangan yang dipakai untuk bermain.

“Ngapain Lo ngomong sama gue? Sana ngomong sama Theo. Kalau dia mau tidur sama Jendra, ya Lo boleh tidur sama gue.” Jawab Jevan.

Rendika berdecak kesal. Theo mana mau diajak kerja sama.


Hamparan bintang di langit dijadikan Rendika sebagai objek penglihatan malam ini. Dia tidak perduli dengan angin malam yang sedari tadi menabrak tubuhnya. Mungkin besok dia bisa sakit? Tapi Rendika harap tidak.

Dingin.

Tapi Rendika tidak mau masuk ke dalam kamarnya, Jendra adalah alasan utama. Entah kenapa Rendika tidak mau banyak berinteraksi dengan pria yang berstatus sebagai tunangannya itu. Sudah dibilang, dampaknya besar. Rendika tidak mau sakit hati.

“Ngapain ada di sini? Takut gue cium?”

Suara yang tidak asing, siapa lagi jika bukan Jendra. Pria itu berdiri tepat di belakang Rendika yang duduk di hadapan kolam renang. Tangannya masuk ke dalam kantong celana, lalu ikut menatap objek yang sedang dilihat Rendika.

“Bintangnya emang indah, pantesan Lo betah ada di sini.” Jendra kembali berucap. Nyatanya, bintang malam ini memang bersinar terang. Sangat cantik.

“Gue kira Lo udah tidur.” Rendika berucap. Menumpukan dagunya di kedua tangan. Masih tidak mau berbalik menatap Jendra.

Sebuah jaket tersampir di bahunya, Jendra duduk tepat di samping Rendika. “Gue gak ngelarang Lo liat bintang, tapi pake jaket. Dingin. Jangan sampe Lo sakit.” Jendra berucap.

Tentu saja hal tersebut mampu membuat jantung Rendika berdegup dengan kencang. Untung saja lampu di sekitar mereka tidak terlalu terang, jadi Jendra tidak sadar dengan pipi Rendika yang sudah memerah.

“Lo gak mau tidur karena satu kamar sama gue?”

“Enggak. Gue emang mau liat bintang 'kok.”

“Bohong banget.”

“Keliatan ya?”

“Iya.” Jendra menjawab, “udah sana tidur. Gue tidur di kamar Raihan.” Suruhnya.

Tapi Rendika menggeleng. “Lihat deh, bulannya cantik banget.”

“Iya, cantik banget.” Jawab Jendra, matanya masih asik menatap wajah Rendika. Walaupun lampu di sekitar mereka remang, tapi Jendra dapat melihat seulas senyum yang ada di wajah Rendika. “Mau pergi ke sana sama gue?”

Rendika tersenyum. “Lo kayanya suka bercanda. Tapi sayang, candaan Lo gak lucu.”

“Gue gak lagi bercanda.”

“Jendra,” Rendika memanggil. Pria itu menatap Jendra. “Jangan tidur sama Raihan, tidur sama gue aja.”

“Lo banyak mau ya?”

“Bukan banyak mau, tapi gue berubah pikiran.” Sangkal Rendika. “Gimana kalau kita tidur di sini? Sambil liat bintang?” Usul Rendika.

“Dingin, sayang. Nanti Lo bisa sakit.”

“Siapa yang kasih izin Lo buat manggil gue sayang?” Tanya Rendika.

“Gue sendiri.” Jendra berdiri. “Udah ayo masuk. Nanti kalau gue udah sukses, gue buatin rumah yang atapnya bisa dibuka. Supaya Lo bisa liat bintang setiap hari.” Tangannya terulur, menunggu Rendika menerimanya.

Rendika menerima uluran tangan itu, lalu berdiri. “So sweet banget tunangan guee.”

“Makin sayang nggak?”

“Iya, tapi sedikit. Sedikit banget. Cuma 0,01 dari 100.”

“Sedikit banget, tapi gak papa. Setidaknya ada peningkatan.”

Lalu keduanya tertawa. Menganggap obrolan mereka kelewat lucu dan tidak masuk akal.

Apapun itu, nyatanya malam ini mereka semakin menghilangkan jarak yang ada. Mengobrol, tertawa, bahkan merencanakan masa depan bersama.