a kiss

tw // sudden kiss


Pikirannya sedang kalut. Ini semua karena Jendra. Kenapa pria itu suka sekali membuat mood Rendika anjlok? Nampaknya dia tidak bisa membiarkan Rendika menikmati waktunya sendiri.

Jendra itu egois, dia tidak mau dibantah. Dia ingin Rendika menuruti semua kata-katanya. Jendra mahir sekali membuat kata-kata manis. Jika saja Rendika tidak melabeli pria itu sebagai musuh, mungkin saja Rendika sudah jatuh hati pada Jendra.

Semua kata-katanya, terdengar seperti buaya.

Kakinya melangkah, entah menuju ke mana. Yang terpenting, Rendika tidak bertemu dengan Jendra. Rendika yakin, tunangannya itu pasti sedang mencari di mana keberadaan Rendika. Tentu saja dia ingin menjelaskan semua hal yang dianggapnya benar.

“Kenapa sih gue harus kejebak sama Jendra? Terlebih lagi, sekarang gue udah tunangan sama dia.” Langkahnya terhenti, lalu dia duduk di atas rumput yang berada di taman.

Ternyata Rendika sudah sampai di taman. Pria itu mengambil tempat di bawah sebuah pohon besar. Berharap Jendra tidak akan menemukan keberadaannya. Anggap saja mereka sedang bermain petak umpet.

Tunangan. Tentu saja itu kata sakral, yang tidak bisa dijadikan sebuah mainan. Label itu, cukup membebani Rendika. Mungkin bukan hanya untuk Rendika, berlaku juga untuk semua orang di luar sana.

Rendika tidak bisa bermain-main. Dia tau hubungannya dengan Jendra, bisa terjadi karena permintaan orang tua. Walaupun begitu, Rendika tidak bisa berlaku seenaknya. Sejak dia bertunangan dengan Jendra, hidupnya terasa berubah. Banyak hal yang dilarang Jendra, pria itu suka sekali mengaturnya. Bahkan beban di pundak Rendika kian bertambah karena ucapan sang mamah.

'Kamu harus buat diri kamu pantas bersanding dengan Jendra.'

Itu bukan perkara mudah.

“Theo... Ngapain Lo bawa gue ke sini?”

Suara itu berhasil mengalihkan perhatian Rendika. Dia dapat melihat Theo menarik tangan Yudi, membawanya duduk di salah satu bangku taman yang berada tepat di depan Rendika.

Mungkin dua orang itu tidak menyadari keberadaan Rendika.

“Yud, gue kangen banget sama Lo.” Ucap Theo berbisik.

Perasaan Rendika mendadak tidak enak. Ingin kabur, tapi dia takut merusak suasana. Bagaimana kalau Yudi dan Theo sadar jika Rendika ada di sini? Mungkin keadaan akan berubah jadi canggung. Tapi kalau Rendika tetap di sini.... dia tidak tau apa yang akan terjadi, tapi Rendika tidak menyangkal jika dirinya penasaran.

Tak apa 'kan jika Rendika sedikit mengintip?

Penasaran dengan hubungan dua orang itu.

Tangan Theo bergerak menangkup wajah Yudi. Entah kenapa jantung Rendika justru berdegup dengan kencang. Dengan susah payah dia menelan salivanya saat Theo mengikis jarak.

“Yud, i want to kiss your lips.” Bisik Theo mampu membuat bulu kuduk Rendika berdiri.

Yudi mengangguk, lalu Rendika dapat melihat pria itu menutup mata. Seolah pasrah dan membiarkan dirinya dicium Theo. Apa begini rasanya pacaran? Harus siap dicium kapan saja?

Saat kedua bibir itu hampir menyatu, ada sebuah tangan yang meraih wajah Rendika.

Cup.

Bola mata Rendika membulat sempurna. Dapat dia rasakan ada benda kenyal yang menempel di bibirnya. Hanya sekedar menempel, lalu segera terlepas dalam hitungan detik.

“Bodoh. Ngapain cari tempat sembunyi di sini.” Itu Jendra. Pria itu berjongkok di hadapan Rendika, membuat Rendika tak bisa melihat apa yang sedang dilakukan Theo dan Yudi.

“Jendra?” Balas Rendika berbisik.

Yang dipanggil namanya mengangguk. Lalu membawa Rendika masuk ke dalam pelukannya, menenggelamkan wajah pria itu di dadanya. Rendika tidak bisa menolak, namun dia juga tidak bisa membalas.

Masih bingung dengan apa yang barusan terjadi.

“Jendra...” Rendika berucap, masih berbisik. Sudah tidak perduli lagi dengan Theo dan Yudi yang ada di depan sana. “Kenapa Lo cium gue?” Tanya Rendika.

“Bisa kita bahas masalah ini nanti?” Jendra masih berbisik. Tidak ada niatan melepas pelukan mereka.


“Gue mau ke toilet. Lo tidur aja.” Jendra berucap saat mereka baru saja masuk ke dalam kamar.

Pikiran Rendika kosong. Ini bukan kali pertama dirinya berciuman dengan orang lain. Maksudnya, Rendika sudah sering sekali melakukan hal itu. Mempertemukan bibirnya dengan bibir orang lain, berujung dengan terjadinya lumatan panas yang bergairah. Tapi Rendika bisa melupakan itu dalam sekejap.

Tapi kenapa kali ini rasanya berbeda? Kenapa jantungnya berdetak dengan cepat? Kenapa Rendika tidak bisa melupakan rasa itu dalam sekejap. Bibir Jendra, masih terasa. Hanya menempel, tidak ada lumatan. Tapi efeknya sungguh berlebihan.

“Gue udah suruh Lo tidur.” Jendra keluar dari toilet.

Rendika menatap pria itu. “Why did you kiss me?” Tanya Rendika.

“Sorry, I can't control myself.” Jendra membalas. “Gue liat Yudi hampir ciuman sama Theo, ujungnya gue ngebayangin gimana rasa bibir Lo. Gue emang brengsek. Tapi gue bener-bener minta maaf.” Lanjutnya yang kini berdiri tepat di hadapan Rendika.

“Jendra, gue boleh minta sesuatu sama Lo?”

Satu alis Jendra terangkat. “Apa?” Tanyanya.

“Kiss me again.”

“Ren—”

“Kiss me, Jendra. Please,”

“Shit.”

Jendra segera meraih wajah Rendika, lalu mendekatkan wajahnya dengan pria itu. “Jangan nyesel. Lo sendiri yang minta.” Ucapnya sebelum menyatukan dua bibir berbeda volume itu.

Rendika memejamkan mata, tangannya meremas kaos Jendra. Dapat dia rasakan, Jendra mulai menggerakkan bibirnya. Dunia Rendika serasa melayang, kakinya terasa lemas. Padahal ini hanya sebuah ciuman. Kenapa Rendika bisa selemah ini?

Pusing.

Tautan bibir mereka terlepas. Rendika kurang puas.

“Dika, kita belum cukup umur. Jadi tolong jangan minta lebih.” Bisik Jendra.